December 10, 2015

(Literally) Get Lost in Cirebon-Majalengka

Pertama-tama, marilah kita semua, para PNS di seluruh pelosok Tanah Air, menghaturkan sembah sujud kepada pemerintah pusat yang telah begitu 'kreatif' menjadikan tanggal 9 Desember sebagai Hari Libur Nasional dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Yeay!!!

Begitu mengetahui bahwa 9 Desember 2015 dijadikan tanggal merah, aku dan the Barbi(e)tch *nama grup WhatsApp kami which consists of Nopriyanto Hady Suhanda dan Agung Hari Nugroho* langsung mencetuskan untuk... jalan-jalan ke Cirebon! 

Pembagian tugas berjalan mudah saja: Nopri mencari hotel, Agung mem-booking tiket KA, dan aku, tentunya, mencari lokasi wisata. Berhubung aku sudah cukup muak selalu bersama dua orang ini setiap hari - yes they are my office-mates - jadilah aku juga menyeret Septiyan Andy Prasetya.

Get-lost partners kali ini

Selasa, 8 Desember 2015
Kami menempuh perjalanan St. Gambir-St. Cirebon selama 3 jam bermodalkan tiket seharga Rp82.500,- untuk kelas bisnis KA Tegal Bahari. Murah kan? Hehehe... God blessed our trip! Sedangkan untuk hotel kami memesan Wisma Bahtera yang berjarak 15 menit jalan kaki dari stasiun. Kenapa hotel ini? Well, meskipun sekarang udah berstatus pegawai dan sudah bergaji cukup untuk menempati kamar sekelas Aston Hotel, tapi apa daya mentalnya masih "mahasiswa super-perhitungan" hahaha~ Menurutku sih kamarnya cukup baik dan nyaman, lengkap dengan fasilitas sarapan, toiletries, handuk, air mineral, mie instan, serta TV kabel! Nyaman kok, recommended lah buat backpacker.

November 30, 2015

Bunaken, Finally We Met!

Pas nulis cerita trip terakhir, aku baru nyadar bahwa bulan November 2015 aku belum menulis laporan/cerita/trip review apapun. Hahaha~ Seorang Erlin bisa tahan nggak nge-trip saat tidak ada kewajiban kerjaan apa-apa, itu mustahil! So, here I am to tell you the story of what happened in November 2015... azeg banget bahasanya ya, padahal intinya ini "late post" kok :p

Perjalananku di bulan November 2015 bisa jadi merupakan trip paling berkesan sepanjang 2015 karena empat alasan berikut: 
  1. Sudah 4-5 tahun menjalani passion dan hobi sebagai tukang jalan-jalan, tapi aku malah belum pernah mencicipi keindahan Bunaken National Marine Park a.k.a Taman Bawah Laut Nasional Bunaken yang letaknya di kampung halamanku sendiri itu. Ke Bunaken pun hanya pernah sekali di tahun 2008 dalam rangka jalan-jalan sekaligus retreat gereja, dan hanya sempat melihat cantiknya underwater view Bunaken lewat perahu fiber glass.
  2. Selama 22 tahun 1 bulan menyandang gelar "orang Manado asli", baru kali ini aku mendapat kesempatan menjadi tour guide keliling Manado hahaha! Ada rasa bangga sekaligus cemas karena kesuksesan trip ini ada di tanganku seorang. Wooo-hooo~ 
  3. Pertama kalinya aku memakai jatah cuti tahunan yang menjadi hak setiap PNS di Tanah Air. Puji Tuhan, aku punya atasan-atasan yang pengertian sehingga izin cuti 3 hariku lolos dengan mudahnya... hihihi. Sesuai dengan amanat agung Bang Adi, hak cuti ini harus bisa di-manage dengan sebaik-baiknya, karena satu hal berharga yang tidak dimiliki PNS untuk jalan-jalan adalah waktu, beda dengan semasa aku mahasiswa kemarin yang punya waktu melimpah tapi terhambat masalah finansial.
  4. Partner jalan-jalan kali ini. Iya. Bagi yang udah sering membaca blog ini, pasti nyadar kan betapa penting rekan perjalanan itu dibandingkan destinasi wisatanya? :) Ya, intinya sih partner kali ini "orang penting" makanya aku langsung mengiyakan permintaan beliau untuk jadi guide di trip-berdua-doang ini hahaha.

Please take a deep breath, guys, cause the story is about to start...


The highlight of the story: BUNAKEN!

October 14, 2015

What's Been Said in Belitung, Stayed in Belitung

"Lho, Erlin ke Belitung lagi? Kan udah pernah!"

Aku menerima banyak chat dan ucapan lisan bernada serupa, sepersekian detik setelah Path-ku menunjukkan lokasi "Tanjung Pandan" beberapa jam setelah aku check-in di bandara Cengkareng.
  • Iya, aku memang sudah pernah ke Belitung.
  • Iya, aku memang pernah berkata lebih baik mengunjungi kota/provinsi baru daripada mengunjunginya dua kali.
  • Iya, aku menarik lagi kata-kata barusan di atas. Hahaha.
Maafkan aku, kawan, nyatanya benar bahwa:
It is not about the destination, it is about the companion you take the trip with.
Meet the team!

Bangka Belitung, sebuah provinsi yang superindah yang bisa dijangkau dari Jakarta dengan satu jam berpesawat, cukup dengan tiket sekitar Rp800.000,- round way. Hmmm, dua faktor itu saja belum cukup sih untuk membuat aku mengiyakan trip ke Belitung lagi. Tapi... dua orang kawan seperjalanan bernama Putri Marina Debora dan Niko Marpaung-lah yang menjadi trigger bagiku untuk bilang "Ya" tanpa berpikir panjang. Wacana ini dimulai sekitar pertengahan Juli lalu, saat kami bertiga makan malam di Bakmi Cong Sim Mangga Dua. Wacana yang hanya berlangsung 14 jam, karena keesokannya aku dan Kak Putri segera membeli tiket Jakarta-Belitung itu! Luar biasa. Emang beda sih ya nge-trip dengan makhluk single berpenghasilan yang berkeinginan kuat! :)

Rencana (bukan "wacana" doang) akhirnya semakin seru ketika satu makhluk halus lagi ikut meramaikan: Agung Hari Nugroho, rekan sekantor yang pernah nongol di trip Pangandaran. Aku, Kak Putri, dan Agung sama-sama memulai perjalanan di hari Sabtu, 10 Oktober 2015 jam setengah 11 pagi, sementara Bang Niko dari Padang transit dulu ke Jakarta dan baru menyusul kami pada pukul 16.00.

Aku tidak akan banyak bercerita tentang destinasi di posting kali ini, karena sesungguhnya aku benar-benar meng-copy-paste dari itinerary perjalananku tahun lalu (read the story here).

September 30, 2015

Khob Khun Kha, Bangkok!

Next destination: Ayutthaya Province 

Puas menjelajah situs-situs candi di sekitaran Bangkok, kini saatnya... LANJUT LAGI! Hahaha! Yeah, di Day 3 ini aku dan Kak Yola akan kembali sungkem melihat berbagai candi, arca, dan patung Buddha. Bedanya, kami kali ini menuju ke Provinsi Ayutthaya!

Bangkok Railway Station / Hua Lamphong St.
Perjalanan pergi ke Ayutthaya kami tempuh via jalur kereta, yang sebenarnya cukup berputar-putar dan tidak praktis. Huhuhu... hal ini baru kami sadari kemudian setelah tiba di Ayutthaya, karena menurut tour guide di sana, ada rute yang jauh lebih ringkas dan hanya butuh waktu sekitar satu jam.

Rute kereta: On Nut St. ke Asok St. (31 baht), lanjut ke Hua Lamphong St. (28 baht), ke Ayutthaya dengan kereta Special Express jam 10.50 (345 baht one way).



Setibanya di Ayutthaya kami sempat bengong selama beberapa saat karena tidak tahu harus menggunakan kendaraan apa untuk melanjutkan perjalanan. Alhasil, kami baru mulai googling setelah mendaratkan bokong ke kursi stasiunnya. Metode termurah untuk keliling Ayutthaya adalah dengan menyewa sepeda. What?! Aku menyerah dengan opsi ini; nggak sanggup sepedaan di bawah terik matahari yang membara. In the end, kami lebih memilih naik tuktuk dan merelakan 1.000 baht untuk keliling sampai jam 3 sore. Bye bye, money :(

September 29, 2015

Sawasdee Kha, Bangkok!


Alkisah, pada suatu sore yang cerah, terjadilah sebuah percakapan via WhatsApp antara tokoh utama cerita ini dengan Yolanda Angelina Togatorop...
Y: "Info: CGK-Bangkok penerbangan langsung tgl 24-27 September harga promo 1.600.000 yol"
Y: yukk linn :3
E: Yokkk
...
Y: kalo berdua doang agak gimana ya wkwkwk
E: Iya kak wkwkwk mana Thailand pulak yakan, mirip2 Indonesia aja dia kan
Y: Iyaaa T.T gausahlah dulu?
E: Iyaa kaaak :') Kita harus beramai2 biar ga capek selfiee
Y: yasudahlah next destination aja yaaww :3
Percakapan pun ditutup dengan keputusan: tidak membeli tiket tersebut. Keesokan harinya, beberapa menit setelah sang tokoh utama tiba di kantor dan siap mulai mengabdi bagi bangsa... chat dari Bang Supriadi menyeruak di tengah keheningan (?)
A: Erlin yakin gak mau ambil yg bangkok itu? :)
...
E: Hiks godaan kali loh abang ini hahahah. Yaudah belik laaaaah
...
A: tiket sudah di email. yang jam 6 pagi habis, jadinya ambil siang

E: luar biasaaaa wkwkwk
... jadi demikianlah ceritanya mengapa Bangkok Trip ini kusebut "impulsif". Jika HK dan Kamboja Trip yang lalu direncanakan selama hampir setahun, trip kali ini benar-benar spontan, nyaris tanpa rencana. Penyusunan itinerary pun baru benar-benar dimulai 1 minggu 2 hari sebelum keberangkatan ^^

Ekspresi bahagia punya banyak 'kenalan baru': candi di negeri tetangga :')

Ada beberapa versi imajinasi yang akan terlintas di pikiran orang jika mendengar kata "Bangkok". Versi 1: pecinta sejarah, pasti akan membayangkan candi-candi Buddha lengkap dengan Grand Palace yang kesemuanya berarsitektur khas Thailand dengan warna emas-perak cerah ceria. Versi 2: penggila shopping, yang langsung membayangkan pusat belanja yang tersebar di seluruh Bangkok, siapa sih yang tidak tahu pakaian impor Bangkok yang terkenal dengan model-model lucu dan harga murah? Versi 3... apa hayooo? Ah, nggak usah sok polos gitu deeeeehh... "Ladyboy" pasti juga terlintas di benak saat mendengar "Bangkok" disebut. "Menonton ladyboy show" masuk dalam to-do-list kami, lho, sayangnya tidak bisa terpenuhi karena keterbatasan dana. Jadi mohon dimaafkan kalau aku tidak bisa banyak bercerita tentang sisi Bangkok yang satu itu ;)

August 30, 2015

Hello Cambodia: Enjoying Siem Reap

Perjalanan darat menggunakan Mekong Express dari Phnom Penh ke Siem Reap memakan waktu sekitar 8 (delapan) jam. Karena sudah order dari jauh-jauh hari secara online, kami sukses mendapat tempat duduk paling depan, dan bisa menonton TV dengan nyaman. Yah… ujung-ujungnya sih malah ngakak kegelian karena film tentang makhluk mutant yang diputar itu super duper gak jelas. Latarnya di Hong Kong, jadi aku sesekali nostalgia melihat gedung-gedung pencakar langit yang muncul di film.

SUNRISE AT ANGKOR WAT. Ah... no caption needed, actually :')

Selain nonton, makan complimentary snack, dan pastinya tidur, kami sempat berhenti sekali untuk having early dinner di sebuah rumah makan. Karena biaya makan dibayar masing-masing, aku dan Aldo memutuskan untuk hunting makanan pinggir jalan aja. Di seberang restoran terdapat jejeran kios yang nampak baru 'digelar' oleh sang owner. Sepertinya jam bukanya memang jam 5 sore, layaknya warung dan angkringan tepi jalan di Indonesia sih. Makanan yang paling umum? "Num pang"! Sekilas mirip sandwich sih, roti baguette dibelah horizontal, lalu ditaruh pork meat, pickles, sejenis baso, mentimun, tomat, selada, lalu saus mayo yang rasanya a little bit aneh. Aldo nggak kuat makan sandwich ini, langsung menyerah setelah dua-tiga gigitan. Aku? Aku yang bukan pencinta kuliner, apalagi sayuran, justru malah tertantang untuk menghabiskannya! Hahaha. In the end, sayuran juga yang membuat aku tidak menghabiskan roti itu.

Hello again, tuktuk!

Ada satu cerita kocak nih, readers. Masih ingat dong sama tuktuk driver yang sudah ‘mengincar’ kami sejak baru tiba di Royal Palace hingga akhirnya mengantar sampai Mekong Express? Nah, driver ini meminta nama kami untuk diberikan ke temannya, driver tuktuk di Siem Reap, yang siap stand by disana untuk mengantar dari bus stop ke hostel. Waduh! Pusing kepala Barbie memikirkan gimana caranya menolak dengan halus. Ujung-ujungnya sih emang ada pria yang berdiri di bus stop Siem Reap dengan kertas bertuliskan “Aldo & Erlin” hahaha, sayangnya kami keburu dijemput oleh driver utusan dari Bou Savy Guesthouse. Readers, kalo ingin nginap di Bou Savy dan memanfaatkan fasilitas free pick-up nya, jangan lupa mencantumkan jumlah tamu yang akan datang. Jangan kayak aku ini: tamunya cuma dua, eh tuktuk yang menjemput pun sampai dua juga. Mereka mengira kami datang berombongan enam-delapan orang hahaha.

Mr. Houem, tuktuk driver kami selama di Siem Reap. He's studying English in college, jadi sepertinya sih masih berumur 18-19 tahun. A very nice driver with nice driving and speaking skill!

Siem Reap! Kota ini lebih mungil dan sederhana lagi dibanding Phnom Penh. Kalau Phnom Penh ini ibaratnya Semarang, berarti Siem Reap kayak Solo lah, masih tetap panas dan berdebu juga. Siem Reap is much more fun comparing to Phnom Penh. So now... let me suggest you a few things on “How to Enjoy Siem Reap”! ;)
  • Cari hostel yang berdekatan dengan kawasan Central Market. Wah, kawasan ini adalah surga bagi turis mancanegara! Belanja, makan, ngebir, diskotik, hingga pijat refleksi ada di kawasan ini. Tinggal pilih! Dari hostel tinggal berjalan kaki saja ke sini, begitu juga sebaliknya untuk pulang ke hostel. Rata-rata pasar ditutup pukul 12 malam, jadi it’s okay kalo kamu baru sadar belum beli oleh-oleh dan ingin hunting gelang giok pukul 10 malam. Just make sure you bring enough dollars ;)
Kamarku di Bou Savy Guesthouse. See? I am the owner of these three beds! Hahaha.

The inside of Central Market. Surga belanja banget!
  • Where to go? Angkor Wat, for sure. Untuk hunting oleh-oleh, pergi ke Phsar Cas alias Old Market atau Central Market yang sama luasnya kayak komplek Monas. Kalau ingin nonton pertunjukkan sirkus, bisa ke Phare Circus Cambodian dengan harga tiket sekitar US$20. Some people said it's worthy, tapi aku nggak kesana sih hehehe... Buat yang tertarik sama sejarah, make sure to visit War Museum Siem Reap tempat kamu bisa lihat kendaraan tempur dan senjata sisa perang dari tragedi Khmer dan landmine. Cambodian Cultural Village juga bisa jadi tempat yang bagus untuk mengenal Cambodians, para masyarakat lokal yang fokus mengembangkan industri sutranya. 
Belajar sejarah di War Museum Siem Reap

Jalan-jalan malam di Angkor Night Market yang terkenal dengan deretan tempat nongkrong (bar, pub, dll)
  • What should I skip? Aku pribadi sangat tidak menyarankan untuk pergi ke Tonle Sap Lake. Letaknya jauh banget dari pusat kota Siem Reap, sekitar 1 jam perjalanan naik tuktuk. Begitu di sana, kamu pasti kaget mengetahui atraksi seharga US$20 ini tidak menyajikan apa-apa selain berperahu di danau kecokelatan penuh eceng gondok, dan 'dipaksa' jatuh kasihan melihat kehidupan rakyat yang bermukim di Rumah Danau. Kenapa aku menggunakan kata "dipaksa"? Karena pada akhir wisata danau ini kamu akan 'dimintai' donasi berbentuk sekarung beras dengan harga sekitar US$100 dengan rayuan tingkat mahadewa, disertai berbagai dongeng menyentuh hati tentang kehidupan mereka yang begitu mengibakan. Bukannya aku tak berperasaan, readers, tapi jika membuka mata lebar-lebar, kita pasti sadar bahwa bukan beras yang sedang mereka jual melainkan kemiskinan warganya. Indonesia masih butuh uang US$100, bahkan sekeping rupiah pun masih sangat berarti. Just think wisely :)
Rumah Terapung di Tonle Sap Lake. Sebenarnya menarik juga sih melihat kehidupan-di-permukaan-air ini.

Awalnya Abang Tour Guide ini baik-baik aja lho, tapi langsung cemberut begitu tahu kami tidak mau memberi donasi beras, dan langsung berbaring leyeh-leyeh ketika perjalanan balik ke pier. DUH!

  • The main attraction? Angkor Wat adalah atraksi utama selain Angkot Thom, Bayon, Banteay Srei, Preah Khan, dll. Bangunlah pagi-pagi untuk mengejar sunrise, cari spot terbaik. Biasanya dua danau depan Angkor Wat akan jadi spot favorit, tapi ya terserah kamu ingin stand by di titik mana. Keindahannya breathtaking banget lho. Setelah momen sunrise berakhir, masuklah ke dalam bangunan dan puas-puaskan berfoto. Sudah puas? Yuk, mari kembali ke hostel atau menuju restoran terdekat untuk cari sarapan! Tenang saja, tiket seharga US$20 tersebut adalah tiket untuk sehari bebas keluar-masuk wilayah Angkor Wat sampai pukul 17.00 nanti kok. Satu tips dariku: ganti bajulah setelah sarapan! Angkor Wat yang begitu luas ini punya banyak spot foto menarik, nggak ada salahnya kan kamu pakai outfit berbeda di lokasi yang berbeda? ;) Hahahaha.
Angkor Thom terkenal dengan candi-candi yang 'memiliki' banyak wajah Buddha di permukaannya

Me, talking to a tree. Just a weird habit of mine which appeared just recently :)

Salah satu spot favorit kami
  • Khmer cuisine? Favoritku adalah Lok lak (Stir-fried beef in brown sauce). Sajian khas Kamboja biasanya terdiri dari sup, salad, menu utama ikan, sayuran, dan nasi. Sedangkan sajian yang lebih modern sudah mengandung daging sebagai menu utama. Aku dan Aldo tentunya memanfaatkan kesempatan emas ini untuk mencoba pork dengan bumbu khas Kamboja. Berbagai kuliner lainnya bisa dibaca di sini ya, readers, berhubung kami kurang mengeksplor sisi kuliner Kamboja kemarin.
Lok Lak! Served with french fries, nikmatnya tiada tertara pokoknya!

Sepertinya curry (warna kuning) dan pumpkin pancake (mangkuk yang di tengah)
which didn't taste so good to be eaten together.

Bakpau isi daging (We chose the pork one, of course) salah satu jajanan pinggir jalan khas di Siem Reap
  • What to buy for souvenir? Kamboja terkenal akan sutra dan batu mulianya, so make sure you buy silk fabrics/clothes and jewelry. Aku menghabiskan seperempat budget untuk beli oleh-oleh doang! Hahaha. Kaos dan gantungan kunci adalah souvenir wajib bagiku. Ditambah "tempelan magnet" juga semenjak jalan bareng Aldo yang penggila magnet itu.
Di Tonle Sap Lake, atau bahkan kios-kios souvenir lain, ular dan seluruh bagian tubuhnya jadi komoditas menarik untuk oleh-oleh khas Kamboja: tas dan sepatu kulit ular, serta ular yang diawetkan dalam botol, contohnya.
  • On your last day on abroad vacation, collect all your pennies alias recehan, and give it to locals: beggar (pengemis), cadger (asongan), atau tour guide kamu selama di negara itu. Uang receh kan nggak bisa ditukar lagi ke Rupiah, jadi nggak ada gunanya juga mengendap di dompet kita. Yah, kecuali kamu seorang kolektor uang sih... 
  • Final tip? Nikmatilah waktumu sebaik-baiknya di Kamboja, negara penuh kenangan manis-pahit ini! :) Jika ada kesempatan, aku mau banget balik lagi ke Kamboja, menyambangi Phnom Penh dan Siem Reap lagi. Biaya hidup disini murah meskipun menggunakan dolar sebagai mata uangnya. Emang sih mataharinya nyengat banget, tapi bisalah diatasi dengan kacamata hitam, sunblock, dan topi keren/cantik. Jangan sekali-kali pake payung di tempat wisata ya, readers, kalian tahu kan gimana rasanya dipotret/selfie dan ada photobombing payung di latar belakang foto kita? Hahaha.


Nah, readers, aku sengaja meramu cerita Cambodia Trip ini dengan bentuk berbeda, karena sudah banyak bentuk cerita narasi tentang jalan-jalan di Kamboja, tinggal ketik "cerita backpacking di Kamboja" and.... voila! ratusan cerita akan muncul. :) Aku ingin memberi deskripsi dan argumentasi singkat saja tentang kebahagiaanku selama di Kamboja kemarin, dan tentunya aku juga meng-encourage kalian semua untuk mulai melangkah mencari kebahagiaan itu. See you on next trip yaaa, thanks for reading! *kisses*


ITINERARY + EXPENSE LIST

Day 0:
Rp 1,65 juta = tiket CGK-KUL-PNH dan REP-KUL-CGK
$36 = hostel 2 hari + free tuktuk pick up (seharusnya bisa lebih murah kalo share cost, hiks)
$12 = bus Mekong Express PNH-REP
Day 1: 
$5.5 = makan di BBQ Chicken, Phnom Penh airport
$4.5 = tuktuk bandara (share cost)
$6.5 = tiket Royal Palace 
$3 = tiket Museum Genosida
$0.5 = beli air mineral
$6 = tuktuk ke Mekong Express (plus tip)
$57 = belanja di Russian Market PNH 
$5.82 = share cost jajan di minimarket
Day 2:
$20 = tiket one day Angkor Wat
$5 = tiket ke Lady Temple
$8.15 = makan siang
$9.5 = belanja di Angkor Wat + tip tuktuk
$9 = makan malam
$32 = belanja di Angkor Night Market REP
Day 3:
$5 = tiket War Museum
$23 = tiket Tonle Sap Lake (20) + foto sama ular (1) + tip guide (2)
$7.5 = makan siang
$8 = share cost tuktuk + tip
RM 17 = makan di Burger King, KLIA2 airport

TOTAL SPENDING = Rp5.208.397,25 
--- kurs US$ = Rp13,525; kurs RM = Rp3,500 ---

August 24, 2015

Hello Cambodia: Surviving in Phnom Penh

Sudah seminggu berlalu sejak kepergianku ke Kamboja, dan ternyata cukup banyak yang menagih cerita (dan oleh-oleh) tentang Kamboja. Oleh sebab itu, tanpa berlama-lama lagi mari kita langsung memulai cerita Kamboja trip!


SABTU, 15 AGUSTUS 2015

Aku dan Aldo Aribama Siahaan (travelmate semasa di Toraja, Belitung, Lombok, Bromo, and many more) tiba di Phnom Penh International Airport pada pukul 07.35 waktu setempat, alias GMT + 7 alias sama saja dengan WIB. Hal pertama yang kami lakukan? Mencari tempat makan tentunya! Hahaha, berhubung aku tidak punya ringgit, kami pun tidak sarapan dulu di KLIA dan sekarang baru terasa perut berbunyi keroncongan. Setelah mencoret nama-nama restoran dengan menu yang bisa ditemukan di Indonesia, diputuskanlah untuk makan di BBQ Chicken dan menghabiskan $5,5 untuk Olive Luxury Chicken Set yang cukup mengenyangkan. Kami tidak memesan minuman demi penghematan, hahaha, maklum Kamboja menggunakan dollar Amerika yang saat ini harganya hampir mendekati Rp14.000,- Di sini kami sekalian bertanya tentang transportasi ke pusat kota, dan para pegawainya menyarankan untuk menyewa tuktuk saja dengan ongkos $7, daripada taksi yang seharga $12.

Phnom Penh (yang dibelah Sungai Mekong) dilihat dari angkasa

Setelah makan dan cuci muka sekelak, kami langsung mencari tuktuk yang katanya banyak bertebaran di bandara. Benar saja, kami diserbu beberapa driver yang heboh menyodorkan secarik kertas bertuliskan "airport tuktuk" yang membuat kami berkesimpulan mereka adalah tuktuk resmi dengan harga yang resmi. Alhasil, kami tidak menawar mati-matian untuk harganya yang sebesar $9 itu (which we regretted so much later on). Kami memang sempat menawar $7 kok, sesuai yang disarankan tadi, tapi mereka tetap menunjuk-nunjuk lembaran kertas itu, saying that it was the official price for tuktuk to town center. Lagipula tidak ada lagi tuktuk selain rombongan tadi, apa boleh buat. Mari kita cussss!

First time riding the tuktuk!

Kerajaan Kamboja (Kingdom of Cambodia) adalah negara berbentuk monarki konstitusional yang merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah berkuasa di abad 11 dan 14. Negara ini dipimpin oleh Raja Norodom Sihamoni yang baru saja berulang tahun bulan lalu. Di sekitar istana dapat ditemukan berbagai karangan bunga dalam rangka perayaan ulang tahun Raja. Mereka menggunakan bahasa lisan dan tulisan Khmer yang sepintas sangat mirip dengan Thai. Yah, kira-kira seperti bahasa Melayu antara orang Malaysia dan Indonesia lah. Mayoritas penduduk Kamboja memeluk agama Buddha Theravada yang sekilas seperti perpaduan agama Buddha dan Hindu, serta mengandalkan sektor agrikultur, pariwisata, dan industri tekstil untuk perekonomiannya.

Kamboja adalah negara-berlaju-kemudi-sebelah-kiri pertamaku, yeay!

Berdasarkan itinerary, kami pun menyambangi Royal Palace straight from the airport. Alasannya, istana ini akan tutup pada pukul 10, lagipula semakin pagi semakin baik mengingat panasnya matahari di Kamboja. *Benar sekali, readers! Kurang dari 6 jam berada di Phnom Penh, kulitku sudah menghitam.* Baru saja menginjakkan kaki, yeah literally menapakkan kaki ke tanah dari tuktuk, kami sudah dihampiri driver tuktuk lain yang menawarkan mengantar ke tempat tujuan berikutnya. Astaga. Aku maklum sih, kedua driver ini pasti sudah berkongsi setiap kali yang satu tiba mengantar turis dari bandara ke Royal Palace. Aku dan Aldo tetap pasang muka besi alias bergeming mendengar penawarannya. Pokoknya mari melihat istana terlebih dahulu! Tiket masuk ke Royal Palace adalah $6,5 for each person.

Salah satu bangunan yang akan menyambut kita memasuki area Royal Palace
Royal Palace adalah sebuah kompleks kerajaan yang berwarna keemasan dan dihuni raja-raja Kamboja sejak tahun 1860. Dalam bahasa Khmer, istana ini disebut Preah Barum Reachea Veang Chaktomuk. Pengunjung dapat menikmati keindahan kompleks istana raja dengan arsitektur bangunan megah khas Kamboja yang bersih dan terawat. Royal Palace mempunyai beberapa bangunan yang masing-masing mempunyai karakteristik yang khas dan mempunyai desain yang sangat indah. Salah satu objek andalannya adalah Throne Hall yang digunakan raja saat menerima tamu dan menggelar upacara keagamaan. Hall ini dihiasi singgasana dan perabot berlapis emas. Sayangnya, kami tidak dibolehkan mengambil gambar bagian dalam hall, jadi harus kalian sendiri yang menyaksikan keindahannya di Kamboja ya hehehe.


Silver Pagoda, memiliki ubin yang terbuat dari perak berjumlah 5329 buah. Mengagumkan.

Sarana ibadah ini tidak pernah absen terlihat di depan rumah setiap umat Buddha Kamboja

Banyak orang yang membanding-bandingkan istana ini dengan Grand Palace-nya Thailand, dan katanya sih masih kalah mewah. Aku yang belum pernah melihat istana selain Istana Negara di Jakarta Pusat itu sudah terkagum-kagum melihat Royal Palace, wah, semewah apa Grand Palace itu ya?


Tentu saja selfie adalah agenda wajib jalan-jalan bersama Erlin!

Seperti Thailand dan Laos, Kamboja mengandalkan "gajah" sebagai salah satu simbol pariwisatanya

10 bulan nggak ketemu, sahabat yang satu ini ternyata nggak banyak berubah :p

Satu hal yang sejak tadi mengganjal adalah... kami belum menenggak air sejak dari KLIA! Astaga. Kami pun buru-buru menemui seorang pedagang di dekat taman, yang ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Jreng~ pelajaran pertama yang kami temukan: $1 senilai dengan 4000 riel! Selanjutnya, aku akan menuliskannya dengan "KHR" yah. Jadi untuk dua botol air minum, si ibu pedagang mengembalikan KHR 2000 untuk $1 yang kami berikan.

Di taman diluar istana terdapat beberapa papan bunga raksasa dalam rangka perayaan ulang tahun sang Raja

Entah jodoh atau gimana, eh kami bertemu lagi dengan driver gigih yang tadi! Ckckck. Karena baik dan cantik cukup terkesan melihat kegigihannya, aku pun memutuskan untuk menyewa driver itu untuk kelanjutan perjalanan. Ya sudahlah, kadangkala Tuhan memang bekerja dengan cara yang tidak terselami kan? Siapa tahu driver ini memang butuh uang kami hahaha. Kok jadi khotbah, Lin -_-

Setelah berpanas-panas di istana, saatnya memasuki tempat yang adem: Tuol Sleng Genocide Museum. Bukan hanya adem, kami bahkan dibuat merinding di tempat ber-HTM $3 ini. Dari yang awalnya penuh tawa dan selfie selama di Royal Palace, kali ini kami bahkan ga berani berbicara keras karena terlalu hanyut melihat-lihat koleksi museum. Maafkan aku yang tidak banyak mengambil gambar ya, readers. Museum ini dulunya merupakan sebuah Kamp Konsentrasi pada masa rezim Khmer Merah yang berkuasa di Kamboja pada tahun 1975-1979. Nama "Tuol Sleng" sendiri berarti "Bukit Pohon Beracun" dalam Bahasa Khmer. Begitu banyak saksi bisu sejarah berdarah Kamboja di tempat ini: tempat tidur yang dialiri arus listrik, tiang gantung untuk interogasi, bak air untuk membenamkan terdakwa yang jatuh pingsan, bahkan kumpulan tengkorak manusia yang tidak pernah dikuburkan secara manusiawi! Aduh... untunglah aku masih bisa menahan air mata :(




Sebelumnya kami sempat iseng menanyai si driver apa makanan khas di Phnom Penh. Dia malah mengajak kami ke suatu kios makan dekat museum yang menurutnya memiliki makanan khas terenak yang layak dicoba. Ternyata owner tempat itu adalah temannya! Hahaha, another perkongsian terjadi. Untung saja Aldo bisa mencegahku mengiyakan ajakan itu. Kami pun menolak dengan alasan belum lapar, ya, jangan sampai uang kami dikuras oleh mereka deh.

Kalau readers pernah googling tentang Phnom Penh pasti tahu bahwa selain Museum Genosida ini ada suatu tempat lain yang menjadi tourism spot, yaitu Killing Fields. Aku juga sangat tertarik mengunjunginya. Sayang sekali lokasi itu berada di luar pusat kota, tidak cukup waktu bagi kami yang harus naik bus ke Siem Reap jam 2 siang nanti. Semoga masih ada kesempatan selanjutnya deh.

Lebih dikenal dengan nama "Russian Market"

Sesuai kesepakatan dengan Aldo, yang tidak begitu suka mengunjungi museum (HAHA!), next destination kami adalah Russian Market alih-alih National Museum. Bukan berarti museum kedua ini tidak menarik lho ya, hanya saja kami lebih tertarik melihat oleh-oleh khas Kamboja di pasar ini.
So... aku menghabiskan total $57 (sekitar IDR 770ribu) untuk belanja! Waduh, padahal aku yang sok-sokan menomorduakan tempat ini lho hahaha. Nyatanya jiwa perempuan ini tidak bisa dibohongi. Aldo sendiri hanya menghabiskan setengah dari total belanjaku :p

Saat awal menyusun itinerary aku diberitahu bahwa pasar ini mirip-mirip Mangga Dua dan Tanah Abang. Waduh! Sudah terbayang di kepalaku betapa crowded dan standar. Hampir saja aku melewatkan lokasi ini. Ternyata pasar ini jauh lebih rapi dan bersih dari bayanganku, meski tetap saja panas dan gerah. Hahaha. What to buy here? Kamboja terkenal dengan kualitas tekstilnya, jadi pastikan kalian membeli kaos, celana, atau selendang khasnya. Dijamin kalap sih melihat betapa murah-murahnya harga barang di sini.




Bagi readers yang kurang suka belanja, aku sarankan untuk mempersingkat waktu kunjungan ke pasar ini (tapi tentu saja tetap harus dikunjungi!) dan lanjut ke next destination: Sisowath Quay. Lokasi satu ini adalah boulevard sepanjang kurang lebih 1 kilometer dengan view utama Mekong River yang berwarna cokelat susu. Strolling on a riverside under the shining sunshine... sounds romantic, eh? Enggak sama sekali, readers, hahaha... unless you bring an umbrella and two bottles of cold soda, maybe it would work. Selain jalan-jalan di tepi sungai, bisa juga berpose sejenak di depan Independence Monument. Atau sekalian mengunjungi National Museum yang kusebutkan di atas, letaknya tidak begitu jauh dari istana kok. Atau, seperti keinginan Aldo awalnya, mengunjungi pagoda untuk sekadar mencuri beberapa candid dari para biksu yang 'berkeliaran' di sana. Kalau sudah merasa capek, jangan khawatir karena di seberang Sisowath Quay ada jejeran kios, cafe, restoran tempat nongkrong para turis yang menawarkan berbagai pilihan menu.


Sisowath Quay di sisi kanan jalan. Jejeran pohon palemnya indah juga ya?

Independence Monument

Biksu di luar pagoda dekat Royal Palace

Akhirnya, tiba saatnya untuk berpisah dengan Phnom Penh. Fiuh!! It was really hard to survive in this capital city of Cambodia, bisa jadi karena kesan pertama yang kami dapat tentangnya terlanjur negatif: everyone's trying to get money from you, as much as possible. Sebagai mantan turis yang setidaknya sudah mengalami 'perjuangan' ini, let me suggest you few things of how to survive in Phnom Penh as a one-day tourist:
  1. Make sure that "$1 = KHR 4000" is planted on your mind, so you won't get confused when someone sells you something in Riel. When you pay dollars for something in Riel, count your change properly. You don't need to change your currency to Riel, it's okay to only have dollar, because it'll be accepted anywhere in Cambodia. They use the combination of dollar and Riel.
  2. Do bargain hard! My first time buying in Russian Market is also the last time I bargained easy. When they say $2, ask for $1. They say $10, ask for $5. Yeah, it's usually half the price. But don't be surprised to know that $45 can be $10 after ten minutes bargaining.
  3. Sunglasses is a must. No need to ask why.
  4. Sunblock is a must. Or not, depends on how bad you want to sustain your skin color. Or you can just wear longsleeves, it's all up to you.
  5. Don't answer any tuktuk driver who offers his ride. Just don't. Because if they know that you can speak English, or simply the fact that you understand what they said, they'll never step back until you said "Okay". Put on straight face. Go straight to the driver you already booked, or you wanted to book, and just moved to another tuktuk if you don't get the deal with the first one.
  6. If you don't mind to spend additional $1-2, please buy drink or snacks from local. Cambodia is a developing country, which I believe is poorer than Indonesia. Buying from local merchant and cadger means we're supporting their economy too.
Kami memang hanya menghabiskan setengah hari saja di Phnom Penh, karena tujuan utama ke Kamboja ini tidak lain dan tidak bukan tentunya Angkor Wat! Dari hasil penyusunan itinerary dan googling kesana-kemari, kuputuskan untuk naik bus Mekong Express yang berangkat pukul 14.45 dengan harga tiket $13 (puji Tuhan kami dapat diskon $1 saat beli online dua minggu lalu). Perjalanan akan memakan waktu 7 jam menuju Siem Reap

Leaving Phnom Penh. This is a view of Mekong River, taken from the bus

Well, thank you for the good and bad memories, Phnom Penh! Kami banyak belajar hari ini. Satu hal utama, belajar bersyukur memiliki ibukota seperti Jakarta yang masih lebih rapi dan membanggakan dari segi infrastruktur. Phnom Penh ini lebih mirip Surabaya atau Semarang sih di mataku. Semoga bisa segera menyelesaikan pembangunannya deh.

Now, let's move on to next blogpost about Siem Reap, readers! :)

July 31, 2015

The Marbabo Goes To: Shenzhen

Menutup rangkaian kisah "The Marbabo Goes To Hong Kong", kali ini aku menghadirkan review perjalanan sehari di Shenzhen. Pun dibilang "Shenzhen trip" rasanya kok kurang pas, karena kami hanya 3-4 jam saja di sini, bahkan tidak menginjak lokasi lain diluar Windows of the World dan, jelas, stasiun kereta.

The exit of WOTW train station
Source: Rancupid Blog


DAY 5. JULY 20. SHENZHEN, CHINA.
Seperti yang sudah pernah kusampaikan di post satu ini, Shenzhen adalah kota yang menjadi acuan dasar bagi bea cukai tentang pengelolaan pelabuhan dan dukungan industri. Shenzhen juga kota basis produksi komponen bahkan gadget yang diekspor ke seluruh dunia lho. iPad dan iPhone , salah satunya, diproduksi oleh perusahaan Foxconn yang berpabrik tidak jauh dari kota ini. Tapi sayangnya kehebatan itu tidak tercermin dari perangai warganya yang akhirnya juga berdampak pada kebersihan kota. Toilet terjorok yang pernah kutemui? Di Shenzhen letaknya. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk menggambarkannya, takut kalau ada reader yang sembari mengunyah malah jadi 'geli-geli sedap' kalau kulanjutkan.



Shenzhen terletak di kawasan daratan Republik Rakyat Tiongkok/China, beda dengan Hong Kong dan Macau, sehingga untuk masuk ke Shenzhen kita membutuhkan visa China yang bisa diperoleh on arrival. Nah jika ingin puas pesiar di Shenzhen, readers sebaiknya datang sepagi mungkin karena proses pembuatan visa memakan waktu 30-60 menit. Soal harga visa sendiri... aku masih menyesali keputusan untuk menghabiskan RMB 168 (sekitar 300ribu rupiah) hanya untuk VOA Shenzhen, apalagi setelah tahu 'wujud asli' kota ini. Ah. Harusnya uang itu bisa untuk belanja asik di Ladies Market~ VOA ini diurus di Lo Wu, stasiun di ujung perbatasan Hong Kong yang dapat dicapai dengan naik kereta (MTR) dari St. Hung Hom Hong Kong. Nah, kita sudah resmi menginjak mainland of China! ^^



July 30, 2015

The Marbabo Goes To: Macao

What is the Zonk of Day 4*? Banyak! Hahaha... tapi satu hal paling kocak: ada lah seseorang yang lepas sol sepatunya dan ga punya permen menthos (apalagi lem alteco) jadi nggak bisa sok cool dan malah berujung mencopot sendiri sol sepatu yang sebelah! HAHAHA. 

*Zonk of Day 1: The Not-So-Spectaculer Symphony of Lights
Zonk of Day 2: The $5 Future-Teller Machine
Zonk of Day 3: The Whole Day!


DAY 4. JULY 19. MACAO.
Kata orang, ke Hong Kong nggak afdhol kalau nggak ke Macau. So, we went there.

Macau (Macao) dan Hong Kong adalah dua daerah administratif khusus (special administrative region) yang masih termasuk wilayah kedaulatan Republik Rakyat China. Macau ini pernah lama dijajah oleh Bangsa Portugis, jadi sekilas terlihat lebih Italia daripada China-nya. Bangunan-bangunannya bergaya art deco seperti bangunan Portugal pada umumnya. Mereka menerima dollar Hong Kong (HKD) dan yuan China, tapi Macau juga punya mata uang sendiri yaitu Macaunese Pataca (MOP).

Highlight: reruntuhan gereja Santo Paul

Another highlight: lokasi syuting drama Korea populer "Boys Before Flowers"

Hal utama yang paling atraktif dari Macau adalah kasino dan hotelnya. Macau menjadi "mega-resort and casino center" dan tercatat menjadi new gambling resort capital of the world karena memiliki 5 dari 10 casino resorts terbesar di dunia. Backpacker macam kami ini manalah mungkin sanggup duduk berhadapan dengan para kaum berduit di kasino itu, jadi jangan lagi tanyakan apa kami menyempatkan diri berjudi di Macau.



Hanya Macau yang mampu mengalahkan Las Vegas dalam hal luas area kasino

Macau dapat ditempuh dengan ber-ferry dari HK-Macau Terminal atau China Ferry Terminal. Kami memilih opsi yang pertama, ditempuh dengan MTR menuju Shueng Wan St. lalu exit ke IFC Towers untuk membeli tiket ferry di lantai 3. Menurut banyak sumber, harga tiketnya bervariasi tergantung waktu (pagi-malam) dan hari (weekday/weekend) pembelian. Nyatanya memang tidak ada harga yang pasti untuk tiket ferry ini, puji Tuhan sih kami diberikan diskon dari harga yang tertera di tiket.

Mengantri menuju feri penyeberangan HK-MCO

Dari terminal feri Macau, kami langsung kebingungan. Kenapa? Pertama, karena kami tidak mengaktifkan free roaming lebih dulu sewaktu masih di Hong Kong sehingga tidak bisa internetan! Terminal feri kan jelas berbeda dengan bandara yang wi-fi-nya maknyus. Beneran lho readers, aku kali ini sangat menyarankan teman-teman untuk selalu menyusun itinerary sematang mungkin, jangan seperti kami yang seketika jadi 'bodoh' setibanya (dan selama) di Macau. Awalnya kami berencana menuju ke Fisherman's Market karena melihat lokasinya yang dekat dari terminal feri. Tapi karena tidak tahu harus menggunakan transportasi apa, atau harus berjalan kaki ke arah mana, kami pun batal kesana. Sayang sekali, padahal Bang Jona ingin sekali ke tempat wisata yang berbentuk mirip Colosseum ini. Setelah bertanya kesana-kemari, kami akhirnya tahu bagaimana cara menuju The Venetian.

July 29, 2015

The Marbabo Goes to: Hong Kong (Day 3)




We started Day 3 of this Hong Kong trip by waking up late! Yeay! Senangnya yah bisa bangun di atas jam 9 pagi, ini baru namanya liburaaaaan :3 (Setelah membeli sandal baru karena kaki yang sudah tidak kuat jalan-jalan dengan sepatu,) Aku dan Kak Yola bergegas kali ini mencoba sarapan di Yoshinoya yang tidak jauh dari hostel. Kenapa Yoshinoya? Karena kami rindu nasi, Jenderal! Susah juga menemukan menu nasi di Hong Kong ini. Readers, di Yoshinoya ini ada menu porky-nya lho, sekadar FYI aja buat teman-teman muslim dan berpantang babi kalau ingin ke Hong Kong :) Setelah puas memamah biak, kami bergabung dengan horbo lainnya: Bang Iman, Bang Jona, dan Bang Rapro, menuju Tsim Sha Tsui St. untuk memulai perjalanan hari ini. Jadi begini ceritanya...


DAY 3. JULY 18. HONG KONG

Hampir sebagian besar tourism attractions yang kami kunjungi di Hong Kong sudah diamankan sejak awal dengan membeli tiket masuk online (terima kasih, Bang Adi!) agar tidak perlu mengantri lagi di Hari H. Hal ini sangat sangat aku syukuri di hari ketiga ini, ketika melihat begitu panjang antrian menaiki Ngong Ping cable car! Ini juga masukan ya readers, belilah attraction ticket via internet dari jauh-jauh hari. Selain efisiensi waktu, praktis tinggal transfer/charged Kartu Kredit, seringkali juga ada promo lho hihihi, lumayan kan ;)



Ngong Ping 360 adalah situs pariwisata di Pulau Lantau di Hong Kong. Untuk menuju ke pulau ini, kita akan menaiki gondola lift yang sering disebut cable car, atau lebih kita kenal sebagai "kereta gantung", menghubungkan kawasan pusat Hong Kong dengan Tung Chung, bagian utara Lantau. Desa Ngong Ping sendiri terletak di atas bukit dan menjadi rumah bagi Po Lin Monastery dan Tian Tan Buddha


Gondola diisi 8 orang, alhasil aku sebangku dengan keluarga kecil asli Hong Kong yang,
sudah pernah ke Indonesia: Jogja dan Bali, namun baru kali ini mengunjungi Ngong Ping. Waduh! 

No caption needed!

Meninggalkan second station.
Dari perjalanan 20 menitan ini kita akan melewati, namun tidak berhenti, di station ini

Menurutku pribadi, center attention dari situs ini ya kereta gantungnya! Menikmati berkendara di udara dengan panorama laut, pegunungan, dan bangunan-bangunan pencakar langit, yang seindah ini memang tidak ada di Indonesia! Kami hanya menggunakan Standard Cabin, maklumlah namanya juga backpacker, tidak terbayangkan betapa lebih indah lagi jika menggunakan Crystal Cabin yang lantainya tembus pandang. Uuuuhh~ 

Gerbang yang menandai masuknya kita ke kawasan Po Lin Monastery dan Sang Buddha Raksasa nampak dari kejauhan

Selfie dengan Tian Tan Buddha dan puluhan umat dari berbagai penjuru dunia hahaha

Turun dari gondola, rombongan kami segera berjalan kaki menuju The Giant Buddha, sebuah patung perunggu raksasa berwujud Sakyamuni Buddha yang selesai dibangun pada tahun 1993. Patung ini adalah satu sekaligus yang terunik dari lima patung raksasa di seluruh China, karena patung ini menghadap ke Utara di saat yang lainnya menghadap Selatan. Selain patung setinggi 34 meter ini, di sekelilingnya terdapat enam patung lebih kecil yang disebut "The Offering of the Six Devas" alias enam persembahan kepada Buddha, terdiri dari bunga, dupa, lampu, ramuan, buah, dan musik.

The 3 of 6 offerings around the Buddha

Puncak yang teratas bisa dimasuki jika kawan-kawan bersedia mengeluarkan uang tambahan lagi untuk melihat isi museum (menceritakan sejarah Tian Tan Buddha) atau melihat benda-benda peninggalan Gautama Buddha. Untuk yang terakhir ini kita harus membawa offering ke dalam, yah intinya sih teman-teman beragama Buddha saja yang bisa masuk hehehe.

Puas berjemur di Tian Tan Buddha, kami lanjut berjalan-jalan di kawasan Po Lin Monastery untuk melihat atraksi utama: Wisdom Path! Anehnya sepanjang perjalanan pergi maupun pulang dari sana, kami kok nggak bertambah-tambah ya kebijaksanaannya (wisdom = kebijaksanaan)? :(

Flawless Pose di depan Wisdom Path. Kapan bertambah bijaknya ya :(

Wisdom Path menampilkan susunan 38 papan kayu raksasa berukuran tinggi 8-10 meter dan lebar 1 meter. Di setiap papan terdapat tulisan kaligrafi China oleh Professor Jao Tsung-I, seorang Master of Chinese studies, yang disadur dari tulisan klasik Buddhist bernama "The heart Sutra". Papan-papan ini disusun membentuk lambang infinity lho, readers, alias angka "8" terbalik. Keren ya.




Itu doang? Enggak dong~ Desa Ngong Ping ini super duper luas dan menyajikan berbagai macam atraksi menarik. Sayangnya kami masih memiliki schedule lain untuk dikejar jadi tidak bisa berlama-lama di sini. Readers yang tertarik dengan kebudayaan dan sejarah wajib banget lho menjadikan Ngong Ping 360 sebagai one day trip, karena dijamin baru akan puas kalau sudah mengunjungi setiap sudutnya. Psstt, di sini juga banyak yang trekking naik-turun gunung lho! Kita bisa melihat pemandangan orang-orang trekking di antara hutan dari cable car. Kalau ada kesempatan lagi, aku ingin sekali trekking seperti itu juga, apalagi di antara hutan-hutan itu banyak air terjun alami yang sangat cantik dan sepi. Such a nice place to meditate!

Pas lagi galau enak kali ya menyendiri kesini :')
*kemudian tersesat dan tak tahu arah jalan pulang layaknya butiran debu hiks*

Kembali menggunakan metro yang selalu tepat waktu, kami menuju tempat wisata selanjutnya: Sky100. Jika ingin kesini, dari stasiun carilah petunjuk arah menuju "ICC". Bukan, bukannya "IL Cantante Choir"... tapi International Commerce Centre. Gedung setinggi 484 meter ini adalah gabungan mall dan business-purposed tower. Sky100 terletak di lantai ke-100 dan harus ditempuh dengan naik lift, ya iyalah masa naik tangga, gempor nanti hehehe. Liftnya akan mengantar kita ke lantai 100 hanya dalam 60 detik, readers, luar biasa kan?


Hong Kong view before the sunset

Hong Kong view when sun was setting down 

The amazing view of Victoria Harbour, kayaknya Symphony of Lights belum dimulai saat itu hahaha

Apa perbedaan Sky100 dengan SkyTerrace kemarin? 1) SkyTerrace lebih tinggi yakni 428 mdpl, mengalahkan Sky100 yang hanya 393 mdpl; 2) Sky100 dihalangi oleh kaca, karena lokasinya yang memang berada di dalam gedung, membuat pengambilan gambar jadi susah karena ada bayangan dalam ruang yang terpantul. Harus pintar-pintar mencari posisi dengan lighting terbaik. Karena hal ini juga, kami jadi tidak bisa selfie, hiks. Tapi ada juga kok positifnya, kita jadi terhindar dari masuk angin dan tersengat matahari langsung! Hahahaa; 3) Di SkyTerrace hanya ada The Peak I Love You sebagai fitur tambahan, sedangkan di Sky100 ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam ruangannya, contoh: MAKAN! Iya, ada cafe di dalamnya, tapi ya siap-siap aja merogoh kocek yang lumayan dalam. Banyak spot foto menarik juga disini, keren deh pokoknya. Dua-duanya punya keunggulan masing-masing, jadi jangan lewatkan keduanya ya.

Kalau nggak sabaran ya pasti menghasilkan foto seperti ini, readers, berbayang!

Untuk mengobati rasa kecewa karena tidak bisa selfie *duileh Lin penting banget yak* kami memutuskan untuk pergi ke Ladies Market! Kami naik metro menuju Mong Kok St. lalu keluar di Exit E2 dan jalan kaki sepanjang Nelson Street yang sangat ramai karena kehadiran artis-artis jalanan. Menyambangi tempat ini, jangan mencari tulisan "Ladies Market" di setiap penunjuk arah, readers, tapi carilah "Tung Choi Street"! Pasar ini biasanya beroperasi dari pukul 4 sore hingga tengah malam. Saat kami pulang sekitar jam 11, beberapa kios sudah mulai tutup. 


Aku yang penggila gantungan kunci ini tentu tidak membuang waktu. Berkat Kak Yola, aku sukses mendapat 6 keychains dengan harga HK$ 50 alias sekitar seratus ribu rupiah. Waduh, mahal juga ya. Itu pun nawarnya mati-matian lho. Barangkali ada teman-yang-tidak-kebagian-oleh-oleh yang tengah membaca posting ini, mohon maafkan aku yang frugal ini hehehe. Aku juga membeli kaos seharga HK$20 dan USB lucu seharga HK$50. Pasar ini sejenis dengan Mangga Dua, readers, jadi jangan terlalu berharap menemukan kaos "I Love HK" original di sana *ehem* Oh ya, aku ini bukan orang yang jago dalam bargain, jadi tidak bisa memberi saran berapa banyak harus menawar jika kalian ingin kesana. Tapi sepertinya harga aslinya memang hanya setengah harga yang disebut si pedagang kok. Semangat nawar-nya, ya! :)

Cici yang satu ini jago berbahasa Melayu, kami pun sukses dirayunya untuk beli kaos disini :(

Di Ladies Market ini sekali lagi kami terpisah dengan Bang Iman! Waduh, memang sepertinya abang yang satu itu punya keahlian khusus dalam hal "memisahkan diri dari rombongan". Karena sudah terbiasa, kami tidak begitu ambil pusing dan tetap berbelanja hahaha. Kali ini Bang Iman menyeret Bang Jona untuk turut serta "memisahkan diri". Aku, Kak Yola, dan Bang Rapro segera kembali ke hostel setelah puas menghamburkan uang di Ladies Market.




Aaahh, another great day has passed! Besok kami akan melebarkan sayap *cie* lagi karena akan melintasi laut menuju Macau! Asik asik, Kak Yola pasti sudah nggak sabar mau 'napak tilas' syuting serial Boys Before Flowers hihihi. See you soon, Macao!



click the link below to read the trip review of: