February 26, 2020

Kedinginan di Bondi Beach - Sydney Trip Pt. 2

Cerita hari ini tidak akan terbatas pada pusat kota Sydney juga, tapi lebih jauh mengeksplor New South Wales hingga 16 kilometer ke selatan. Aku, Mama, dan Kakak main ke pusat perbelanjaan, pesisir laut (samudera!), kampus, dan banyak makan enak. Hari ini pun semakin seru karena kami bertiga ditemani peserta trip baru! Yeay! Siapa tuuuh?

Kali ini bukan difotoin orang asing yang lagi jalan-jalan di pantai, BUKAN!


Day 3 - Senin, 9 September 2019

Kami bertiga meninggalkan apartemen jam 11 pagi. "Kok lama banget?" Ya namanya juga tiga orang wanita nge-trip bareng, what do you expect? Hahaha. Toh tidak ada itinerary yang harus kami kejar di hari Senin ini, yang penting semuanya bahagia.

Foto-foto sekelak di peron Martin Place




Readers yang berencana ke Sydney dan suka menggunakan transportasi publik (ya kalo bisa nyewa private van buat keliling-keliling, why not kan? Hahaha) wajib menggunakan Opal Card selama di kota ini. Opal Card berfungsi serupa kartu elektronik (e-money, Flazz, BRIZZI, dll) di Indonesia tapi tidak diterbitkan oleh bank. Kartu ini bisa diperoleh di beberapa stasiun atau toko kelontong khusus. Harusnya aku membeli kartu ini sejak masih di bandara alih-alih ribet keliling lingkungan sekitar apartemen nyari toko kelontong yang menyediakan Opal Card.

Nah, kalau mendesak banget harus naik subway/bus tapi belum beli Opal Card, kalian bisa pakai... Jenius Debit Card! Hahaha ih si Erlin promosi mulu! Tentu saja, wong Jenius ini emang lifesaver card di segala kondisi. Tarik tunai bisa, bayar di merchant bisa, bayar angkutan umum pun bisa. Tapi kalau Opal Card tentunya ada sejumlah keuntungan ya, misalnya ada saat-saat di mana si Opal tidak dikenai biaya.

Di-photobomb oleh petugas keamanan stasiun
Hahaha untung ganteng lu, bang!

Satu hal penting yang selalu kusiapkan saat nge-trip dengan Mama adalah: harus ada minimal satu destinasi setiap hari yang 'instagrammable' alias cantik untuk dipakai foto-foto. Hari ini, destinasi tersebut adalah Queen Victoria Building a.k.a QVB. Dari apartemen cukup 15 menit naik subway menuju pusat kota Sydney. QVB adalah sebuah bangunan kuno yang berdiri sejak tahun 1890 dan dipugar 90 tahun kemudian dengan kemewahan dan kemegahan arsitektur bergaya kolonial. Di bangunan tiga lantai ini berjejer rapi toko pakaian, perhiasan, suvenir, serta kafe dan restoran.


Kiri: Mama bergerilya di toko-toko 
Kanan: Sesi pemotretan dimulai!


Menuju ke lokasi berfoto di lantai paling atas, kami tentunya sambil melirik butik-butik di kiri dan kanan koridor. "ADOH! Apa-apaan ini blus biasa doang harganya Rp1 juta!" rutukku dalam hati. Pantas saja QVB tampak sepi, rupanya hanya high-end boutique yang tersedia di sini. Toh label-label harga itu tidak menyurutkan Mama untuk singgah di satu-dua toko. Beliau iseng mengintipi harga sepatu-sepatu boots cantik yang tampak mewah di etalase. Hasilnya? Tentu saja tidak ada yang dibeli 😋





Nah, inilah instagrammable spot yang kusebutkan sebelumnya, cantik kaaan? Wajib main ke sini deh kalo readers suka foto-foto dengan latar bangunan klasik. Kakak juga berhasil menemukan spot lain yang sama apiknya. Mama memutuskan untuk nongkrong dulu di kafe, mengusir rasa dingin dengan segelas coklat hangat. Siang itu kafe diramaikan bapak-bapak bule (lokal) yang menikmati kopi dengan selembar koran di tangan.

Having tea with an elegant background

Nah, Readers, dari QVB ini aku sudah kehabisan ide destinasi hahaha. Emang sulit yah menjadi tour guide andal dan berdedikasi :') *lah kok curcol* 😆 Puji Tuhan, datanglah sesosok penyelamat dalam wujud... abangku! Hahaha. Perkenalkan, pria ganteng ini namanya Bryan Sondakh, dia sedang kuliah sambil bekerja di Australia dan kebetulan sekali ber-homebase di Sydney. Jujur, aku lupa (atau emang tidak tahu) bahwa Bryan tinggal di Sydney. Pernah sih, Mama mengungkit-ungkit soal ini beberapa kali sebelum kami berangkat. Kakak dan Bryan sudah kontak-kontakan sejak kemarin dan memutuskan bahwa kami akan meet-up hari ini.

Bryan menjemput kami di Market Street, tak jauh dari Sydney Tower Eye kemarin, yang rupanya memang lingkungan apartemennya. Woah, gimana rasanya hidup di keramaian pusat kota Sydney. Setelah perundingan singkat, diputuskanlah bahwa hari ini kami akan ke pesisir Laut Tasmania alias main ke pantai! Ya ampun, padahal baru semalam aku sibuk mencari rute kendaraan umum terbaik untuk menuju Bondi Beach, eh sekarang justru naik mobil pribadi menuju sana. Puji Tuhan! Anyway, kalau mau pakai transportasi publik bisa banget lho. Caranya naik bus dari Circular Quay yang tersedia tiap jam. Bisa langsung beli tiket round-trip juga jika tidak ingin bermalam di Bondi.


Pantai Bondi (baca: Bonday)!

Mobil melaju hingga 8 kilometer ke arah timur, hingga 30 menit kemudian tibalah kami di Bondi Beach. Pantai ini serupa Pantai Kuta di Bali: punya pasir putih yang lembut, ombak menantang  bagi para peselancar, selalu ramai pengunjung, dan dikelilingi area komersial di sekitarnya.

Sebelum turun ke pantai, kami makan siang terlebih dulu di Macelleria yang terletak antara jalan Curlewis dan Campbell Parade. Siang ini kami menikmati steak n fries yang lezat sekali, setara dengan harganya 😅 Sebelas-dua belas dengan restoran di Botanic Gardens kemarin, porsi di sini pun dua kali porsi normal orang Indonesia, aku langsung kenyang hanya dalam beberapa suapan.

Lagi-lagi ketemu porsi jumbo ala orang Australia

Salah satu pertanyaan yang muncul di otakku saat mendengar nama Bondi Beach: "James Bond pernah syuting di sini?" 😝 Rupanya "Bondi" berasal dari kata "Boondi" yang dalam Bahasa Aborigin berarti "suara debur ombak di pantai". Kalau ditanya lebih cantik mana pantai Bondi dengan pantai di Indonesia... tentu aku akan menjawab Indonesia yah hahaha. Karena lebih kerasa suasana mantai-nya lengkap dengan deretan pohon kelapa, hamparan batu dan kulit kerang di pasir pantai, dan satu-dua pedagang es degan standby tak jauh dari garis laut. Paham nggak sih, readers, maksudku? Hahaha. Intinya sih dua-duanya punya pesona tersendiri: Indonesia lebih ke natural dan alami, Sydney lebih ke pusat hiburan yang serba-ada.

Cuma berani lepas kancing mantel selama 3 detik 🙊

Rambut acakadul? Bodo amat!




"Ada juga nih pantai yang cantik banget!" kata Bryan setelah kami duduk menghangatkan diri dalam mobil. Waduh, Bondi Beach aja udah cakep, gimana yang satu ini. "Tapi... masih mau nggak?" Tawaran bersambut positif, masih pada excited pengen jalan-jalan. Kami pun diajak ke arah selatan, menuju peninsula La Perouse.

Sepi bangeeet, kayak milik sendiri

Bare Island di kejauhan

Begitu turun di tanah lapang hijau tepian La Perouse mulailah terdengar seruan "YA AMPUUUN DINGIN BANGET!" yang langsung menggema hingga ke tengah Samudera Pasifik; siapa lagi kalau bukan mamaku tersayang 😂 Dari yang awalnya masih kuat melepas mantel, kali ini Mama melingkarkan syal erat-erat di leher. Masih belum afdol kalau tidak disertai pekikan: "ADUH, DINGINNYA!" Hahaha kocak banget kalau mengingat-ingat lagi momen itu. Walaupun dingin, kecentilan diri untuk berfoto-foto tetap tak terbendung. Kami bertiga lari-lari ke tengah area bukit demi mendapatkan background cantik. Bryan geleng-geleng kepala saja dari dekat mobil melihat kelakuan Ibu dan saudara-saudaranya.




Makin ga jelas lagi bentukan rambut di sini hahaha

Peninsula La Perouse adalah tempat bersejarah bagi negara Australia. Di sinilah pendaratan Armada Pertama Capt. Arthur Philipp terjadi di tahun 1788. Namun demikian nama "La Perouse" justru diambil dari nama penjelajah Prancis yang juga mendarat di lokasi ini, tak lama setelah The First Fleet. Kalau readers ingin datang ke sini dengan kendaraan umum, bisa naik bus no. 94 dari Sydney.

Di lokasi ini, kami cukup berfoto dari peninsula saja, tak berani ke tepian atau bahkan menyeberang ke Bare Island yang memang terhubung dengan jembatan kecil. Kebayang sih betapa menyenangkan duduk-duduk di sini saat cuaca hangat; melihat laut lepas dengan burung-burung camar berterbangan di atas tebing curam. Padahal ada Museum La Perouse dan Benteng Bare Island yang pernah muncul di film Mission Impossible 2.

Jembatan kayu menuju Bare Island
Sumber: Sydney.com

Dalam perjalanan ke destinasi selanjutnya, Bryan kembali mencetuskan ide brilian, "Yuk kita lihat kampus di Sydney," tentunya lagi-lagi tanpa pertentangan. Kami pun singgah di University of Sydney, kampus pertama di Australia yang berdiri sejak zaman kolonial pra-PD 1 tahun 1850. Trus di sana ngapain aja, tur kampus gitu-gitu nggak? Enggak dong hahaha. Kami parkir sebentar, Bryan pergi membeli kopi di kafetaria kampus, dan sambil menunggu aku, Mama, dan Kakak saling memfotokan diri di depan bangunan utama yang disebut The Main Quadrangle.

Cantik banget gak sih, readers? Oleh media Daily Telegraph dan HuffPost asal Inggris, Universitas Sydney diakui sebagai satu dari sepuluh universitas terindah di dunia bersaing dengan Oxford dan Cambridge. Apik banget ya poseku di sini. Mungkinkah suatu pertanda bahwa kuliah S2 aku dan/atau Kakak adalah di kampus tertua Australia ini? 😍




"Destinasi selanjutnya" yang kumaksud dalam dua paragraf di atas adalah sebuah pusat perbelanjaan. Waktu pagi tadi ngobrol dengan Bryan, kuutarakan bahwa Mama pengen belanja tapi di sejenis factory outlet yang menawarkan barang labelan tapi dengan harga miring. Aku juga menyampaikan beberapa opsi toko, dan Bryan sepakat dengan salah satu opsiku yaitu Birkenhead Point. Hanya saja, kami tak bisa berlama-lama karena tokonya tutup jam 6 sore. "Tak apa, biar Mama nggak kebanyakan borong," aku nyengir puas.

Namanya wanita, hasrat belanja emang suka muncul begitu saja. Tapi kalau lagi di Sydney, jangan belanja di area CBD yang penuh toko-toko berlabel besar. Pergilah ke Birkenhead Point di Port Jackson, 6 kilometer dari pusat kota Sydney. Di lokasi ini tersedia lebih dari 140 premium outlet di mana barang-barang branded dijual dengan diskon mencapai 80%.

Dulunya gedung Birkenhead Point ini adalah kawasan industrial, salah satunya jadi pabrik produksi ban Dunlop. Tapi saat ini telah menjadi waterfront shopping complex lengkap dengan deretan apartemen. Jika pengunjung lelah berbelanja, bisa istirahat santai di area restoran atau jalan-jalan melihat harbour views. Oh ya, menuju ke sini bisa dengan transportasi umum lho, salah satunya naik kapal feri dari Darling Harbour!

Birkenhead Point bisa diakses dengan jalur air
Sumber: Australia51.com

Jejeran toko dan butik di Birkenhead Point
Sumber: Australia51.com

Penampakan Birkenhead Point di siang hari
Sumber: Mimoki.com


Karena kalap belanja, tentu tidak ada foto-foto yang bisa kutampilkan dari destinasi yang ini hihihi. Jadi kukasih foto dari persinggahan selanjutnya saja yaa: Bryan mengajak aku dan Kakak mampir sebentar di bawah Sydney Harbour Bridge di Hickson Road, tak jauh dari Hotel Park Hyatt. Pemandangannya indah bangeeeeet, aku bisa menghabiskan 2 jam duduk di sini kalau saja cuacanya sedang bersahabat hahaha. Mama juga ikut turun 5 menit, tapi langsung masuk mobil lagi mencari kehangatan car heater setelah mendapatkan foto ciamik.

Di bawah jembatan Sydney Harbour

Halo, Opera House!

Tujuan terakhir "Wisata Sydney bersama Bryan" hari ini adalah makan malam. Dia ingin mengajak kami ke restoran Asia favoritnya. Sepanjang perjalanan Bryan terus memuji-muji restoran ini, semakin lapar lah perut-perut kosong kami. "Pokoknya kalo di Sydney trus rindu nasi, paling pas ya nyari Thai Food." Siap, Kapten! Restoran yang dimaksud abangku itu adalah Holy Basil dengan spesialisasi makanan khas Thailand dan Laos.


Holy Basil ada di area lobi Shark Hotel, Liverpool St., tak jauh dari apartemen Bryan. Mobil kami parkir terlebih dulu di apartemennya baru jalan kaki ke The Shark. Kerepotan ini dilakukan untuk menghindar dari sulitnya mencari tempat parkir dan mahalnya harga parkir di kawasan CBD ini. Kami bertiga sepeda Cuaca yang dingin malam itu membuatku semakin mengeratkan ikatan mantel. Duh, yang kayak gini mau tinggal di Reykjavik? Hahaha!

All hail Bryan, makanan di Holy Basil terbukti enak dan lezat. Favorit kami adalah Roast Pork Belly dan tentunya kuah Tom Yum. Kakak dan Bryan berkolaborasi dengan apik untuk menandaskan sajian di meja kami. Mama adalah anggota pertama yang menyerah kekenyangan, "Udah udah, Mama nggak sanggup lagi." Hahaha kami memang seperti 'pesta' besar malam itu.




Selesailah sudah trip review hari kedua di Sydney. Aku mengakhiri malam ini dengan... Tidur? Bukan. Nonton drakor? Enggaklah. Telponan sama pacar? Iya sih, tapi sebelumnya aku ngerjain tugas kuliah dulu 😅 Baru di trip ini aku membawa laptop demi kepentingan kampus. Emang harus banget dikerjain, Lin? Berhubung aku ketua kelompok, dan tugasnya hitung-hitungan lumayan rumit... kubela-belain bawa laptop ke Sydney dan begadang malam itu untuk merampungkan tugas.

Anyway! Besok kami masih akan ditemani Bryan, yeay! Selain makin ramai karena makin banyak 'muncung' yang berisik saat perjalanan, tentunya jadi ada fotografer handal dooong. Serasa book fotografer dari SweetEs*cape gitu deeeh hihihi. Makasih buat hari ini, Yen, besok lagi yah!

Minggu depan mampir lagi yaa, Readers. Dadaaaah! 💃

February 07, 2020

The Girls Trip Begins! - Sydney Trip Pt. 1

Sesuai judulnya, trip ini merupakan Girls Trip karena beranggotakan tiga wanita Manado cantik👊 Aku memiliki yearly goal mengajak Mama traveling ke negara baru yang belum pernah dia kunjungi, tapi di 2019 ini agenda tahunan kami jadi sangat spesial karena akhirnya kakak perempuanku satu-satunya, Fissheal a.ka. Fie, mau turut serta. Seneng banget! Mama pun memilih Sydney sebagai tujuan, meski sebelumnya beliau sudah pernah ke kota ini untuk perjalanan dinas. Tentu beda sensasinya dooong antara dinas sama pesiar, apalagi sama anak-anak tersayang, dan apalagi sama Erlinel yang ga suka pake agensi tur 😆

Girls Trip Begin!

Tiket sudah dibeli sejak 23 Mei, hotel sudah dipesan tanggal 23 Juli, dan visa sudah terbit per 29 Agustus, semua persiapan yang penting-penting sudah aman terkendali. Sekarang... tinggal perintilan-perintilan kecil seperti SIM Card Australia (IDR 320K via Shopee) hingga tiga botol collapsible tumbler, jaga-jaga siapa tahu harga air mineral di Sydney semahal Swiss yakaaan.