(tulisan ini dibuat penulis dalam rangka tugas pribadi mata kuliah Budaya Nusantara ketika menjalani pendidikan di kampus STAN semester VI)
VERSI LEGENDA
Opo Wailan Wangko (Dewa tertinggi) melihat bahwa tanah Minahasa adalah tanah yang baik, dia mengutus Karema (walian pertama Minahasa) untuk membawa kehidupan ke tanah Minahasa.
Dari Karema, lahirlah Lumimu’ut yang berarti “tanah”. Lumimu'ut adalah prajurit wanita, yang dibentuk dari batu karang, dicuci dalam laut, dipanaskan oleh matahari dan disuburkan oleh Angin Barat. Kecantikannya yang luar biasa mempesonakan dan awet muda yang dianugrahi kepadanya. Kelak Lumimu’ut disebut-sebut orang Minahasa sebagai Dewi Bumi. Kemudian Lumimu’ut memperoleh seorang anak lelaki bernama Toar (matahari) yang dibentuknya dengan cahaya matahari. Toar adalah tona’as pertama Minahasa dan kelak dia disebut sebagai Dewa Matahari.
Proses ‘penciptaan’ anak berhenti karena Toar adalah seorang lelaki yang tidak memiliki kesaktian seperti Karema dan Lumimu’ut. Karema pun melihat bahwa cara untuk memenuhi tanah Minahasa dengan anak-cucu adalah dengan mengawinkan Toar dan Lumimu’ut. Toar yang telah menjadi pemuda disuruh meninggalkan ibunya untuk menjelajahi dunia. Lumimu'ut memiliki sebuat tongkat perjalanan yang panjang dan ketika Karema mengucapkan perpisahan kepada Toar, dia memberikannya sebuah tongkat yang sama panjangnya dan dia memperingatkan nya untuk tidak menikah dengan anggota keluarga; oleh sebab itu dia seharusnya tidak boleh menikahi seorang perempuan yang mempunyai tongkat yang sama panjang seperti miliknya. Bertahun-tahun lamanya dan perjalan panjang kemudian Toar kembali ke kampung halamannya. Disana dia bertemu dengan seorang wanita muda cantik dimana dia jatuh cinta dan ingin menikahinya. Dia tidak mengenal ibunya sendiri yang memang tetap abadi awet muda, dan dari pihak ibunya sendiri tidak mencurigai sama sekali bahwa pemuda dewasa yang ganteng ini adalah anaknya sendiri.
Sebelum mengambil sumpah perkawinan Toar ingat akan permintaan ibunya ketika dia akan meninggalkannya untuk perjalanan panjang. Oleh sebab itu dia meletakkan tongkatnya di samping tongkat calon istrinya untuk membandingkan panjangnya. Tetapi selama perjalanan panjangnya dia sudah memakai banyak tongkatnya, sehingga tongkat tersebut menjadi jauh lebih pendek. Sehingga tidak ada halangan lagi untuk nenek moyang Minahasa ini.
Setelah beberapa waktu kemudian Toar dan Lumimu'ut akhirnya memutuskan untuk pergi ke pantai di benua tersebut. Ketika mereka tiba disana mereka merasa pantai terlalu panas, oleh sebab itu mereka pergi lebih dalam di desa tersebut dan menetap di gunung Tondano dimana iklimnya sejuk dan segar. Disini mereka melahirkan anak-anak mereka dan perlahan mendiami daerah tersebut. Akhirnya tentu saja anak-anak Toar dan Lumimu'ut menginginkan daerah meraka masing-masing. Legenda menceritakan bahwa Toar mengizinkan masing-masing anaknya memilih sebidang daerah dan melemparkan batu-batu di jurusan yang berbeda-beda. Dimana batu-batu tersebut jatuh disitulah muncul kolonisasi baru Tonsea (manusia yang suka air), Tondano (manusia yang suka danau), Tombulu (manusia yang suka bulu), Tombasso, Tontemboan (Tompakewa), Toulour, Tomohon. Di legenda tersebut ke-7 tempat ini adalah ke tujuh daerah Minahasa yang kemudian membuat suku dengan kepala sukunya masing-masing (Kepala Suku, Tonaas, Hukum Tua atau Hukum Besar)
Menurut mitos ini Penciptaan manusia turun temurun adalah dari wanita dan bukan, sebagaimana di agama Kristen, dari laki-laki yang rusuknya diambil untuk menciptakan wanita. Patung Toar dan Lumimu'ut berdiri di lapangan kecil di Manado, dimana bukan ibu kota Minahasa, karena itu adalah Tondano. Manado, bagaimanapun, adalah ibu kota dari Propinsi Sulawesi Utara dan daerah Minahasa secara luas sehubungan dengan administrasi dan masalah ekonomi. Pendiriannya secara resmi dianggap dibuat oleh Dotu Lolong Lasut, yang diperingati dengan sebuah patung di kota. Lokasi patung Toar dan Lumimu’ut di pusat Manado dapat di dianggap sebagai simbol persatuan/penggabungan Manado oleh orang Minahasa.