July 28, 2013

Jelajah Toraja (Part II)

Minggu, 14 Juli 2013. 
Semuanya bangun kesiangan, hahaha.. Padahal rencana awalnya kami ingin bergereja di dekat rumah, kebaktian jam 7 pagi. Apa daya, semuanya bangun jam 7 lewat :') Jelajah Toraja hari kedua pun berlanjut setelah sarapan lezat yang dibuatkan oleh Ibu Bang Adi (ada papeda yang legendaris itu!)

Indahnya Toraja dilihat dari Batutumonga
Destinasi pertama adalah Batutumonga. Batutumonga adalah daerah dataran tinggi di Kab. Toraja dimana kita bisa melihat pemandangan Toraja dari ketinggian! Karena hujan sempat turun beberapa lama, kami memutuskan untuk ngopi-ngopi sejenak di guest house Mentirotiku. Di sinilah kami menemukan selembar brosur tentang objek wisata Toraja yang menginformasikan tentang Loko Mata yang lokasinya tidak begitu jauh. Kami hampir saja melewatkan objek wisata satu ini :(

July 21, 2013

Jelajah Toraja (Part I)

Trip kali ini adalah trip paling mengagetkan dan mengejutkan (halah apa bedanya toh Lin :p) teman-temanku, pasalnya trip ini diadakan saat aku sedang menjalani PKL di Lapangan Banteng! Hehehe... Kesempatan emas ini ditawarkan Bang Adi (lagi-lagi) dan tidak mungkin kutolak, apalagi mengingat rutinitas PKL yang melelahkan sehingga aku sangat butuh refreshing :')

Trip Jelajah Toraja ini berlangsung dari Jumat, 12 Juli 2013 hingga Senin, 15 Juli 2013. Karena aku berangkat langsung selesai PKL dan pulang tepat sejam sebelum PKL dimulai, maka ini juga lah yang disebut teman-temanku sebagai NEKAT! Pulang dari KPPN Jakarta II hari Jumat jam 5 sore, aku pulang ke kos di Jalan Kepu IV untuk mengambil ransel, lalu segera menuju ke Stasiun Gambir untuk naik damri bersama 'para horbo' lain :p Ternyata dari Jalan Kepu (samping Stasiun Senen) menuju Gambir hanya butuh waktu 20 menit jalan kaki lho, percaya ngga?


Peserta Jelajah Toraja adalah Aldo Aribama Siahaan (yang juga dibilang nekat karena sedang PKL di KPP Menteng II), Bang Supriadi, Bang Jonathan Frans Simamora (angkatan 2009 yang tengah menunggu penempatan), dan Bang Tommy Otniel Tobing (idem sama bang Jona); aku yang paling cantik di rombongan ini ;) Dengan naik Damri berangkat pukul 18.30, kami tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 19.25 WIB sehingga sempat bernarsis-narsis ria dulu sebelum take off dengan Air Asia.


Setelah pesawat landing dengan selamat dua jam kemudian, Bang Adi langsung agresif mengajak para kru pesawat untuk foto-foto :3



Tiba di Bandara Sultan Hasanuddin pukul 01.23 WITA (perjalanan 2 jam dengan perbedaan waktu 1 jam antara WIB dan WITA), kami dijemput oleh adik Bang Adi, Alex, yang fresh graduated SMA dan tengah mengurus pendaftaran ulang di kampusnya di Bandung. Masih dengan mata ngantuk berat, perjalanan segera berlanjut dengan mobil sewaan menuju Kabupaten Toraja yang jauhnya sekitar 8 jam dari Kota Makassar. Wow! Pemandangan bukit-bukit hijau dengan lereng melandai yang begitu indah menyejukkan mata kami yang sudah beberapa bulan ini dicekoki pemandangan polusi kota Jakarta. Udaranya pun berhasil membuat kami menggigil kedinginan, untung saja Bang Adi sudah mengingatkan sejak awal agar kami membawa jaket.

Kami pun tiba di Toraja pada pukul 08.54 WITA. Kesempatan emas untuk berfoto-foto di depan Plaza Toraja dan Monumen Pongtiku tidak dilewatkan. Dari sinilah perjalanan Jelajah Toraja dimulai!


Penjelajahan pertama adalah Bukit Lemo, salah satu bukit tempat penguburan orang Toraja yang kini telah dijadikan objek wisata oleh pemerintah setempat. Ya, dimana lagi ada orang mati dikuburkan di dalam bukit batu? Hanya di Toraja!


Hal pertama yang akan menarik perhatian kita adalah kehadiran Tongkonan, yaitu rumah adat Toraja yang berdiri di depan bukit, serta boneka tau-tau yang berjejer rapi di atas bukit. Boneka tau-tau ini dibuat sesuai dengan sosok orang yang meninggal sehingga wajah dan tubuhnya sangat mirip aslinya. Agak merinding ya membayangkan 'orang-orang mati' ini menatap balik ke arah kita? :3


Barang Bukti 1 "Hunting Bule Mission" - at Lemo
(Paragraf berikut ini non-halal, silakan dilewat aja bagi readers yang Muslim :'D)
Pukul 10.19 WITA, kami singgah di Bakso Babi Alang-alang yang tidak begitu jauh dari lokasi Lemo untuk memenuhi tuntutan perut.


Wuih, lezatnya ngga terkatakan deh! Ada dua jenis bakso yang tersedia: bakso kasar dan bakso halus. Perbedaannya adalah teksturnya, tentu saja. Aku pribadi lebih suka bakso kasar karena lebih kerasa sensasi "makan daging"-nya, hehee.. Akhirnya terpuaskan juga hasrat makan 'daging dewa' :')


Dari Lemo kami lanjut ke Londa, another pekuburan di bukit batu yang lebih tinggi dan lebih keren dari Lemo. Kenapa lebih keren? Karena disini kita bisa masuk ke dalam goa dan melihat peti-peti berisi mayat yang hanya digeletakkan begitu saja alih-alih ditanam/dimasukkan dalam lobang. 

Anggota trip Jelajah Toraja lengkap berpose di Londa
Boneka Tau-tau di Londa
Oh ya, tidak kelewatan juga boneka tau-tau yang 'duduk manis' di dinding goa seakan menyambut kita dengan riang-gembira (?) Karena telah digunakan selama ratusan tahun, banyak peti yang sudah rusak sehingga tengkorak dan tulang-belulang di dalamnya terlihat jelas. Bahkan banyak juga tengkorak dan tulang yang bertebaran begitu saja di dalam goa ini! Sensasinya luar biasa, readers, antara merinding karena suasananya memang serem, dan bahagia penuh sukacita karena pertama kalinya kami melihat pemakaman seperti ini.


Hal unik lainnya adalah sesajen dan bekal kubur yang ditinggalkan di atas peti atau didekat tengkorak. Kepercayaan kuno rakyat Indonesia ini ternyata juga berlaku di Toraja, dimana mayat diberikan 'bekal' seperti makanan atau uang untuk kehidupannya di alam baka, serta pemberian sesajen sebagai bentuk penghormatan kepada sang arwah. Bedanya disini aku tidak menemukan makanan atau buah-buahan tersaji rapi, tapi beratus-ratus puntung rokok dan lembaran uang ribuan rupiah! Unik ya?

Romeo & Juliet-nya Toraja
Dua tengkorak yang berdampingan ini adalah salah satu bukti dari legenda romansa Toraja: Romeo dan Juliet. Diceritakan keduanya merupakan pasangan kekasih yang tidak direstui oleh orang tua masing-masing sehingga mereka memutuskan untuk bunuh diri bersama karena tidak mau dipisahkan.

Boneka Tau-tau ukuran asli yang dijual di toko souvenir di Londa
Tour de graveyard belum berakhir disini, readers, masih ada Kete' Kesu' yang menunggu kami! Menjelang tengah hari kami tiba di Kete' Kesu' dan segera melihat tebing kuburannya. Kali ini peti kubur banyak yang digantung di dinding tebing dan bukan di dalam lobang. Di bawah tebing yang menjulang tinggi ini juga berjejer rapi peti-peti kubur yang telah berusia puluhan bahkan ratusan tahun, serta tengkorak dan tulang-belulang yang tergeletak di antara peti-peti.

Hello, Skulls! ^^
Peti-petinya di'gantung' di dinding bukit
Kete' Kesu' bukan hanya terkenal karena pekuburannya, tetapi karena deretan Tongkonan yang berdiri dengan megahnya. Jika readers banyak menemukan posting gambar deretan Tongkonan yang saling berhadapan seperti di bawah ini, pasti lokasinya di Kete' Kesu'.


Sekilas info tentang Tongkonan: di depan rumah ini sering dipajang tanduk kerbau. Tanduk kerbau ini diambil dari kerbau yang disembelih ketika sang tuan rumah mengadakan pesta. FYI, satu kerbau harganya berkisar puluhan juta lho, berarti satu tanduk kerbau nilainya juga segitu. Selama trip Jelajah Toraja, kami melihat tongkonan berhiaskan sepuluh hingga dua puluh tanduk kerbau! Bisa kebayang kan betapa sejahteranya kondisi keuangan tuan rumah? ;)

Di Kete' Kesu' ini kami juga mendapat kesempatan emas bertemu dengan Tedong Bonga' alias kerbau bule' yang bernilai mahal di mata orang-orang Toraja. Kalau satu kerbau biasa bisa berharga puluhan juta, kerbau bule' ini bisa hingga 10 kali lipatnya! *MATI MENDADAK*


Barang Bukti 2 "Hunting Bule Mission" - at Kete Kesu

Setelah (hampir) 20 jam tidak mandi, kami pun memutuskan untuk pulang dulu agar bisa mandi dan beristirahat. Kali ini kami dijamu oleh keluarga Bang Adi yang rumahnya di kota Rantepao. Kami berkenalan dengan Bapak, Ibu, dan kedua adik beliau yang paling kecil. Keluarga yang sangat ramah dan menyenangkan! Apalagi ibunda Bang Adi dengan santai bisa kami ajak bergosip tentang Bang Adi, hohoho :p

Setelah tidur siang dan mandi sore (dan men-charge semua peralatan elektronik - wajib!) Bang Adi mengajak kami jalan kaki ke pusat kota Rantepao. Kami pun memuaskan hasrat belanja oleh-oleh untuk orang-orang terkasih di Jakarta sana. Tidak lupa juga kaos bertulisan "Toraja" untuk properti foto-foto besok hari :3


Dasar Bang Jona, Bang Tommy, dan Aldo para penyanyi profesional yang tidak bisa hidup tanpa menyanyi, mereka ngidam untuk karaoke di malam minggu ini! Waduh! Untung saja keinginan itu bisa tercapai, karena setelah jalan-jalan keliling pasar kami menemukan cafe & karaoke Christo! What a coincidence! Hahaha... jadilah malam minggu kami diisi dengan karaoke gila-gilaan satu jam. Meski letaknya di kota kecil, karaoke ini tak kalah keren lho karena microphone-nya wireless! :3

Berbagai ekspresi saat karaokean :3
to be continued...

PS.
Readers notice nggak ada foto-foto dengan caption "Barang Bukti "Hunting Bule Mission""? Hahaha... itu adalah foto-foto bersama bule-bule yang kami temui selama Jelajah Toraja Trip. Sayang aku lupa dari mana saja asal bule-bule itu, kalau ingat, nanti aku tulis ya :') Miris ya ngeliat antusiasme turis domestik yang kalah dengan turis internasional terhadap objek wisata dalam Indonesia... :(

Escape To Makassar (2)

Pukul 13.14 tibalah kami di Fort RotterdamFort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.

Langitnya lagi indah-indahnya nih :')
Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.

Museum La Galigo adalah museum pertama yang berdiri di Sulawesi Selatan (Celebes Museum) pada tahun 1938, didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota Makassar sebagai ibukota Gouvernment Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya). Museum ini diberi nama ‘La Galigo’ atas saran seorang seniman, dengan pertimbangan nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14.


Tata Pameran Museum La Galigo
Pameran tetap di Museum La Galigo disajikan di Gedung No.10 yang terletak di sebelah selatan danGedung No.2 sebelah utara dalam Kompleks Benteng Ujung Pandang. Dari pintu gerbang Benteng, Gedung No.2 terletak di sebelah kiri.

Gedung No.2, pada masa Hindia Belanda, adalah kediaman Laksamana Cornelis Speelman. Setelah Makassar, Speelman masih memimpin beberapa ekspedisi militer, sebelum kembali ke Batavia pada tahun 1677. Pernah menjabat sebagai Presiden Dewan Kotapraja (1678) sebelum akhirnya menduduki jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1681-1684).
Kapal Phinisi yang terkenal
Ketika kami mengunjungi Fort Rotterdam, saat itu juga diadakan Pameran Benda-benda Pusaka dan Senjata Tajam yang memajang ratusan senjata khas tradisional Sulawesi Selatan dan berbagai benda-benda pusaka.


Sok serius mengamati peta Sulawesi Selatan (dalam hati mengamini dan menghafal letak Wakatobi)




Pukul 14.48 WITA
Museum Karaeng Pattingalloang didirikan pada 1992 dan terletak dalam kawasan Benteng Somba Opu. Nama museum ini diambil daripada nama Karaeng Pattingalloang, yaitu seorang tokoh cendiawan kerajaan Gowa.


Dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 600 m persegi, Museum Karaeng Pattingalloang berdiri kokoh sebagai bangunan dengan konsep rumah panggung dengan gaya atap menarik. Bentuknya sangat khas dengan warna dinding bangunan yang berwarna hijau muda lengkap dengan taman yang asri di halamannya.

Berpose dengan latar Pakaian Adat Khas Suku Toraja dan Bugis
Benda yang unik di sini adalah lukisan Benteng Somba Opu abad ke-15 yang digantung di langit-langit dan bisa dibaca menggunakan cermin yang ada tepat di bawahnya.

Meriam asli di halaman museum dengan roda hasil rekonstruksi
Baruga Somba Opu yang merupakan museum berupa rumah adat Suku Bugis. Sayang objek wisata ini terkesan terlantar karena saat itu dipakai sebagai tempat istirahat para backpacker (terlihat dari ransel-ransel gede dan kompor kecil yang dipakai masak mie instan) atau anak muda setempat yang sekalian berteduh dari hujan rintik-rintik.


Baik Baruga Somba Opu maupun Museum Karaeng Pattingalloang terletak di dalam kawasan Benteng Somba Opu. Sayang sekali, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya sehingga kami tidak sempat menyambangi benteng dan objek wisata lain di kawasan ini.

Akhirnya kami turun di Pantai Losari dan lari-lari kecil ke restoran terdekat untuk menikmati Es Pisang Ijo dan Es Pallubutung yang legendaris itu.

Say "hello" to Es Pisang Ijo! :9
Pukul 16.33 akhirnya hujan reda. Meskipun jalanan masih becek dan tergenang air, kami tetap nekat menuju Pantai Losari untuk foto-foto dengan latar tulisan "Pantai Losari" dan langit senja. Setelah matahari terbenam, kami lanjut foto-foto di tulisan "City of Makassar" dan berlatarkan mesjid berarsitektur indah yang dibangun di atas laut: Masjid Amirul Mukminin.





Dari situ kami kemudian jalan-jalan mencari toko souvenir karena aku, as always, ingin membeli beberapa oleh-oleh. Tak boleh lupa, kaos khas Makassar untuk properti foto-foto! ^^

Kali ini giliran Pisang Epe' dan Saraba' yang akan 'dibantai' :D
Karena lapar kembali menyerang, kami pun bermalam minggu dengan jajan pisang epe' dan saraba', minuman STMJ a la Makassar. Pisang epe'-nya maknyoss! Asal jangan salah pilih rasa, ya, readers. Bang Tommy cukup menyesal karena memilih rasa durian coklat. Hihi...


Dengan selesainya malam minggu di Makassar ini, selesai jugalah rangkaian trip Escape to Makassar kali ini :') Pesawat kembali ke Jakarta berangkat pukul 04.48 WITA dan tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng pukul 05.41 WIB.


Sebelum kembali ke kosan masing-masing, kami bertiga (tanpa Kak Yola) sarapan dulu di Gambir. Tujuan utamanya sih bukan mengisi perut, tapi mau foto-foto dengan kaos bertulisan "Makassar" yang dibeli semalam, ahahahaa :D

Jalan-jalan berempat ke Makassar ini benar-benar moodbooster bagiku dalam menyusun Laporan PKL, ahhh... thanks a lot, kakak dan abang-abang!! :**


July 20, 2013

Escape To Makassar (1)

Melancong ke Sulawesi Selatan berlanjut lagi! Masih dalam rangka refreshing sejenak dari PKL, serta mendapat tiket promo dari AirAsia, aku 'kabur' ke Makassar tanggal 19-20 Juli 2013 yang lalu. ;)
Setelah PKL usai, aku segera berangkat ke Gambir untuk naik Damri ke Bandara bersama Bang Adi dan Bang Tommy. Seorang anggota trip yang lain adalah 'orang baru', yaitu Kak Yolanda Angelina Togatorop (STAN 2009 yang tengah menunggu penempatan). Kak Yola juga tengah dalam perjalanan menuju Bandara. Pukul 19.30 WIB Damri pun 'lepas landas'.

Penerbangan kami ke Makassar dengan AirAsia lepas landas pada pukul 21.00 WIB.


Sebelum turun, wajib banget foto-foto sama kru pesawat :D
Sama seperti trip Jelajah Toraja dua minggu lalu, kami tiba di Makassar pada tengah malam. Kali ini tidak ada yang menjemput di Bandara Sultan Hasanuddin, kami pun menyewa mobil untuk mengantar ke kos David di kompleks Biringkanaya. David adalah adik Bang Adi yang sebaya denganku, saat ini tengah menjalani pendidikan di sekolah pelayaran. Setibanya di tempat kos, tanpa berlama-lama kami langsung masuk kamar dan beristirahat agar pagi hari nanti fit untuk bertualang!

Perjalanan pun dimulai! Dengan menggunakan mobil sewaan dari tour agency setempat, kami berangkat ke Bantimurung. Jam 07.56 WITA kami singgah terlebih dahulu di Toko Roti Maros Setia Kawan 1. Roti Maros ialah salah atau makanan khas yang terbuat dari tepung sama halnya dengan roti pada umumnya cuma yang membedakan ialah ada resep khusus yang digunakan secara turun temurun, yang membuat roti maros rasanya berbeda dengan roti pada umumnya. Salah satu yang membuat rasa roti maros berbeda dengan roti lainnya ialah isian pada roti maros ini adalah dibuat secara khusus, roti maros bercita rasa khas dan berbentuk potongan-potongan kecil yang yang didalamnya terbuat dari selai srikaya, kuning telur, santan dan gula, rasanya manis, gurih, dan enak.


Waktu trip Jelajah Toraja kemarin, Bang Adi sering menyebut-nyebut Roti Maros sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta. Sayangnya tidak kesampaian karena kami baru tiba di Makassar malam hari disaat toko sudah tutup. Sayang sekali Aldo dan Bang Jona tidak mencicipi lezatnya Roti Maros ini.

Sambil menikmati Roti Maros di dalam mobil, perjalanan pun dilanjutkan ke Kabupaten Maros. Jam 7.53 tiba di Taman Nasional Bantimurung. Memasuki kawasan ini kita disambut oleh patung raksasa berbentuk monyet. (Bang Adi sempat nge-joke: "Di pintu masuk nanti kita ketemu patung yang mirip banget sama Tommy!" HUAHAHA PARAH!)

Kenapa ada patung kera? Hal ini erat kaitannya dengan cerita rakyat setempat yaitu legenda Toakala tentang raja kera putih yang dulu memerintah di area hutan Taman Wisata Alam Bantimurung. Ceritanya tentang seorang Raja bangsa kera di Kerajaan Toakala yang jatuh cinta pada Putri Bissudaeng dari Kerajaan Cendrana yang cantik jelita. Ah, another love story is in the air, readers... :') *LALU MELLOW*


 

Langsung pengen nyebur bas baca bagian ***** :3
Tujuan pertama kami adalah Air Terjun Bantimurung yang terkenal itu. Memasuki pintu utama, kami menemukan sebuah kolam di sebelah kiri jalan. Kolam ini adalah kolam Jamala, dimana airnya mengalir keluar sepanjang tahun dari dalam gua yang merupakan sungai bawah tanah. Menurut cerita masyarakat Kolam Jamala merupakan tempat mandi para Bidadari, sehingga kolam ini disebut juga "Telaga Bidadari".


Air Jamala juga dipercaya memiliki khasiat obat yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, enteng jodoh, dan dapat menghindarkan seseorang dari guna-guna atau ilmu sihir.

Sama seperti taman nasional lain, TNBB dikelilingi banyak pohon. Udara sejuk pun menyelimuti seluruh areal kawasan ini. Air terjun Bantimurung tak terlalu jauh dari gerbang masuk taman nasional. Jalan saja sedikit ke dalam, suara gemericik air pun sudah terdengar. Semakin dekat, suara yang terdengar semakin kencang. Aliran airnya terlihat sangat deras menimbulkan kesejukan ke sekitar. Kami beruntung karena saat itu aliran air terjun sedang deras-derasnya dan semakin cantik dipandang mata.

Penampakan air terjun Bantimurung: luar biasa keren!
Karena alirannya juga lumayan deras, kami jadi takut untuk mendekatinya karena batu-batunya yang licin sehingga kami harus berpegangan tangan ketika melintas.

David, yang entah sudah keberapa kalinya main ke Bantimurung, bersenang-senang sendiri rafting di air terjun
Anak-anak yang tinggal di sekitar kawasan TNBB bisa mandi dan main-main di air terjun kapanpun mereka mau :')



Anggota trip ETM lengkap berpose di jembatan dekat air terjun
Keluar dari air terjun, kami masuk ke Butterfly Museum alias Museum Kupu-kupu yang tidak jauh lokasinya dari Kolam Jamala. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada hakekatnya merupakan habitat berbagai macam flora dan fauna dan yang paling menonjol adalah kupu-kupu, setidaknya ada 20 Jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh pemerintah dan berbagai jenis lain atau sekitar 250 Jenis Kupu-kupu yang mendiami tempat ini.



Museum ini menyimpan sekitar 500 ekor kupu-kupu, dimana sekitar 260 jenisnya ditemukan di Sulawesi Selatan. Di antara jenis tersebut, Idea menjadi spesies kupu-kupu yang memiliki struktur sayap yang berbeda. Sayap jenis kupu-kupu ini elastis seperti plastik, hingga jika dilipat maka tidak akan hancur. Untuk memasuki museum kupu-kupu maka seseorang akan dikenakan biaya sebesar Rp. 5.000 per orang. Kasian ya kupu-kupunya :(


Tak perlu lama-lama bersedih mengingat betapa tragisnya makhluk-makhluk indah yang dibunuh untuk diawetkan ini, karena di luar museum ada tempat penangkaran kupu-kupu yang juga dibangun pada tahun 1993.


Pengunjung juga bisa masuk ke dalam dan 'memberi makan' kupu-kupu! Caranya? Kita diberikan bunga kembang sepatu dan nantinya kupu-kupu akan terbang sendiri menghampiri untuk mengisap sari dari bunga yang kita pegang. Perdana nih! :)


Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini memiliki kurang lebih 80 gua alam dan gua prasejarah yang tersebar di kawasan ini, salah satu gua yang paling diminati oleh para wisatawan untuk dikunjungi adalah Gua batu dan gua Mimpi, cukup unik bukan untuk dikunjungi? Objek menarik selain gua dan kupu-kupu serta air terjun yang ada di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini adalah Gugusan pegunungan Karts nya, yang merupakan gugusan pegunungan alami yang sangat indah, salah satu lokasi yang mempunyai gugusan indah pegunungan karts dapat anda baca pada artikel Gugusan pegunungan Karts Rammang-Rammang.

Tidak begitu jauh dari lokasi wisata Bantimurung ada kawasan wisata Leang-leang. Sebelum masuk ke mulut gua, wisatawan akan disuguhkan pemandangan hijau nan asri dan pemandangan bukit-bukit batu karst (kapur) menghampar indah, dengan polesan biru cerah di langit luas. Leang sendiri berarti gua (liang). Sesampainya di Taman Prasejarah Leang-Leang, kita akan dibuat terkesima dengan banyaknya batu-batu besar yang terbentang. Bahkan bisa dibilang, ini seperti Stonehege yang ada di Inggris.
Pukul 11.21 WITA kami tiba di Leang Petta Kere. Leang Petta Kere ditemukan pada tahun 1956 oleh arkeolog Belanda bernama Van Heikeren, dan diresmikan Daud Yussuf (Menteri Pendidikan) pada tahun 1980. Leang ini memiliki 64 anak tangga, dan dilarang naik jika tidak ada penjaga, karena letaknya cukup curam. Kali ini kami beruntung ditemani seorang penjaga yang sangat ramah dan baik dalam memberikan penjelasan.
Menaiki 64 anak tangga, HOSH!
Di dalam goa/liang ini terdapat lukisan purbakala berbentuk babi dengan warna merah. Selain itu ada juga bentuk telapak tangan yang membekas di dinding goa. Diperkirakan lukisan maupun jejak tangan ini berasal dari ribuan tahun yang lalu. Menurut beberapa arkeolog, gua-gua di Leang-leang telah didiami sejak 8000-3000 tahun SM.

Di dalam Leang Petta Kere
Sinopsis "Leang Petta Kere"
Leang Petta Kere berada 300 M di sebelah timur Leang Pettae, pada posisi 4º 58' 43.2" LS - 119º 40' 34.2" BT. Leang ini berada pada ketinggian 45 M dpl dan 10 M dpl (dari permukaan tanah). Meskipun berada pada tebing bukit, pada bagian pintu gua yang menghadap ke sebelah barat, masih terdapat lantai yang menjorok keluar selebar 1-2 m dan berfungsi sebagai pelataran gua. Leang Petta Kere termasuk gua dengan tipe kekar tiang. Suhu udara di dalam gua sekitar 27ºC dengan kelembaban rongga gua sekitar 65% sementara kelembaban pada dinding gua berkisar antara 17%-22%. Tinggalan arkeologi yang ditemukan pada Leang Petta Kere antara lain lukisan dinding gua berupa gambar babi rusa dan gambar telapak tangan, alat batu serpih bilah, dan mata panah.

Di bagian atas goa inilah terdapat lukisan jejak tangan
Leang kedua yang kami sambangi ialah Leang Pettae yang letaknya hanya kira-kira 300 m dari Leang Petta Kere, dan tidak terlalu sulit untuk dimasuki. Di dalam gua, terlihat serpihan-serpihan kerang yang menempel erat di dinding dan tanah. Ini menunjukkan bahwa manusia yang pernah tinggal di sana memakan kerang-kerangan, dan menggunakan cangkangnya untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Leang Pettae, sama seperti Leang Petta Kere, juga merupakan gua yang ada sejak zaman purbakala. Lukisan dinding gua yang dapat kita lihat jelas adalah bentuk telapak-telapak tangan.

Di dalam Leang Pettae
Selain goa purbakala di kawasan Leang-leang ini juga terkenal dengan Gugusan Pegunungan Karts Rammang-Rammang. Menurut catatan dunia, pegunungan karts Kabupaten Maros Sulawesi Selatan ini adalah yang terbesar dan terindah kedua didunia setelah cina.



Rammang-rammang kini semakin disoroti oleh berbagai media, sebagai salah satu objek yang menarik untuk dikunjungi, berbagai komunitas fotograper pun ikut berburu kecantikan alam Rammang-Rammang ini. Disamping untuk menikmati keindahan alam Rammang-Rammang, para wisatawan juga senang berkunjung di dusun ini karena ramahnya interaksi penduduk lokal dalam menjamu tamu, mungkin ini adalah tradisi yang turun temurun yang dimiliki warga di dusun ini sehingga wisatawan yang datang pun tak jenuh dan selalu ingin kembali berkunjung ke dusun ini.


Pukul 12.02 WITA, puas menjelajahi leang-leang dan foto-foto di "stonehenge"-nya Makassar kami pun kembali ke mobil. Tapi ternyata di gerbang masuk kawasan ini berdiri sebuah rumah adat suku Makassar yang difungsikan menjadi museum di lantai dua-nya. Di museum ini lah disimpan berbagai temuan peninggalan sejarah seperti bebatuan dan alat-alat serpih bilah yang ditemukan di situs-situs liang/goa.


Melihat-lihat isi museum yang sederhana
(Paragraf berikut ini non-halal ya, readers :D)
Pukul 13.49 WITA Bang Adi mengajak kami makan siang di RM Aan Ping Lao yang terkenal akan daging babinya. Kali ini David tidak bisa ikut karena ada les bahasa. RM Aan Ping Lao ini menyajikan bubur dan mie dengan daging ayam dan babi. Sayang saat itu stok dagingnya sudah menipis sehingga kami 'terpaksa' makan mie campur dimana dagingnya campuran antara daging ayam dan daging babi. Padahal udah membayangkan bisa makan seporsi mie + daging dewa :(

Penampilan "Mie Campur" khas RM Aan Ping Lao

Itadakimasu! :9
to be continued...