Jumat, 8 Februari 2013
Rencana untuk hari ketiga di Bandar Lampung tidak berjalan mulus. Bangun jam tujuh pagi menjadi wacana semata :D Apalagi telah bertambah satu orang dalam antrian kamar mandi, Arga Abdilah, yang baru tiba di Bandar Lampung dini hari tadi.Bandar Lampung Trip hari ketiga dimulai dari Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (ada juga yang nyebut "Taman Hutan Rakyat Wan Abdurahman, hmm...) pukul 09.52 WIB. Taman Hutan ini merupakan kawasan hutan kota yang terletak 5 Km arah barat pusat kota Bandar Lampung yaitu pada sebuah lembah di Gunung Betung dengan ketinggian 700 M diatas permukaan laut dikelilingi oleh bukit-bukit yang hijau. Taman ini adalah lokasi youth camp (perkemahan muda-mudi) yang sering menjadi spot lintas alam dan berkemah oleh siswa-siswi SMP/SMA maupun mahasiswa. Saat kami datang, taman sedang digunakan sebagai tempat berkemah oleh guru dan siswa/i dari salah satu MTs (Madrasah Tsanawiyah).
Tujuan utama kami bukanlah untuk berkemah ataupun lintas alam, melainkan untuk 'menaklukkan' Air Terjun Hanura, yaitu rangkaian air terjun yang terdiri dari 7 buah air terjun.
Sebenarnya perjalanan mencari sang air terjun tidak terlalu berat. Yang paling berat adalah mendaki! Ya, memang harus mendaki sih untuk melihat air terjun ketujuh alias yang tertinggi dari rangkaian Air Terjun Hanura. Tapi bagi kami, mahasiswa/i perkotaan yang biasanya hanya ditantang oleh kemacetan jalanan, mendaki gunung yang masih dipenuhi semak belukar terasa melelahkan.
Ayuni yang biasanya cantik dan penuh keceriaan sempat dibuat 'tumbang' oleh pendakian ini :p
Selama mendaki gunung menuju air terjun ketujuh, kami telah bertemu dengan enam air terjun yang indah dan menawan hati. Air terjun pertama tidak jauh lokasinya dari tempat perkemahan di Taman Hutan dibawah tadi. Nah, air terjun ketujuh ini yang letaknya paling puncak dan jalurnya sulit terlihat, karena tersembunyi pohon-pohon besar dan semak belukar. Untunglah kami dituntun oleh coretan berbentuk panah merah yang sepertinya dibuat oleh tracker yang sebelumnya juga menuju ke air terjun ketujuh ini.
And finally, this is it!! Air terjun Hanura tingkat ke-7!! Semua rasa capek dan lelah hilang demi melihat si cantik ini... :')
Setelah puas main air, berfoto-foto, dan saling 'mem-bully' satu dengan yang lain, kami memutuskan turun untuk menyantap bekal makan siang, mencari masjid terdekat untuk Sholat Dzuhur, kemudian melanjutkan petualangan ke Pulau Mutun.
Perjalanan turun gunung memang lebih ringan, apalagi sudah hapal jalur tracking-nya, tapi tetap tidak boleh lengah!
Sayang sekali pihak guru dari MTs yang sedang berkemah tidak memperketat pengawasan terhadap anak didiknya. Buktinya di lokasi air terjun pertama kami menemukan dua orang ini berduaan, jauh dari teman-teman lain yang sedang heboh memasang tenda. Ckck, anak muda zaman sekarang ya... -_- *lalu merasa tua*
Makan siang!! Makan siang sederhana namun mengenyangkan ini dibungkuskan oleh Mama Fakhri yang paham bahwa kami akan sangat kelaparan setelah pulang dari Air Terjun Hanura. Lumayan, bisa menghemat beberapa ribu karena bekal yang nikmat ini. Hahaha, dasar mahasiswa! :p
Setelah sholat dan istirahat sejenak, perjalanan berlanjut ke Pantai Mutun. Kami tiba disana pukul 16.20 WIB. Lokasinya tak jauh dari kota Bandar Lampung, sekitar 10 Km dari pusat kota, menuju ke arah kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Mutun merupakan pantai teluk dengan ombak yang tidak terlalu tinggi, sehingga anak kecil cukup aman bermain disini. Di pintu masuk, pengunjung dikenai biaya retribusi Rp2.000,- per kendaraan dan Rp10.000,- per orang. (Bener nggak ya, udah agak lupa sih...)
Destinasi utama bukan pantainya, tapii... PULAU TANGKIL! Hanya berjarak +/- 10 menit dari Pantai Mutun menggunakan perahu yang harga sewanya bervariatif tergantung musim ramai-tidaknya pengunjung. Kalau tidak salah, kemarin kami dapat seharga Rp50.000,- (maafkan saya yang pelupa ini ya, readers!)
Foto Pulau Tangkil dari udara
Tiba di Pulau Tangkil kita dikenai biaya lagi (duh!) Rp3.000,- (sekali lagi, ini kalau tidak salah ingat ya, hahaha...) dan biaya tambahan jika menggunakan fasilitas saung untuk bersantai. Kami pada akhirnya menggunakan saung untuk menaruh barang-barang, tapi tidak kena biaya sih, mungkin karena saat itu sudah sore dan penjaga pulaunya sedang sibuk melayani pengunjung lain :p
Sayang sekali, Pulau Tangkil ini penuh sampah :( Tipikal orang Indonesia yang masih tidak bisa menjaga kebersihan di tempat pariwisata ya. Pihak pengelola Pulau Tangkil pun seharusnya bisa lebih aktif berperan dalam menjaga kebersihan. Biaya retribusi Rp3.000,- per orang seharusnya cukup untuk membeli tempat sampah yang dipasang di sekitar pulau, serta memasang spanduk/plang "Jagalah Kebersihan". Pengenaan denda bagi pengunjung yang membuang sampah sembarangan juga sebaiknya diterapkan.
Kami berencana melihat sunset di Pulau Tangkil, jadi sambil menunggu matahari terbenam, kami melakukan banyak kegiatan. Ada yang bermain bola, ada yang main pasir, ada yang foto-foto, dan ada yang (minta diajari) berenang :p (Iya, iya, itu aku...)
Air laut disini warnanya hijau dan rasanya asin sekali, readers. Aku jadi sok-sokan menciptakan sebuah teori tentang wilayah perairan Indonesia: semakin ke barat, semakin hijau warnanya dan semakin asin rasa air laut wilayah Indonesia. Sebaliknya, semakin ke timur, semakin biru warnanya dan semakin manis rasa air lautnya. Benar nggak ya?
Nopri menjadi korban 'kebiadaban' Fakhri, Arga, Raka, dan Ayuni kali ini. Hahaha... Proses 'penguburan' ini berlangsung cukup lama, aku sampai bosan memotret mereka, dan malah pergi bermain-main dengan anjing-anjing milik penjaga pulau yang lucu dan imut.
Halo, doggy! |
Lucu kaaaaan? :3 |
Puas rasanya jika rencana yang dibuat di awal perjalanan dapat tercapai semuanya! Sampai jumpa lagi Pulau Tangkil! Semoga nanti semakin terawat ya, dan semoga pengunjung yang mendatangimu bisa semakin sadar diri untuk menjaga kebersihan :(
Pukul 20.30 WIB, aku, Fakhri, Ayuni, Nopri, dan Arga (sekali lagi tanpa Raka) memutuskan untuk keliling-keliling kota dan mengabadikan beberapa sudut kota agar nanti bisa dipamerkan ke followers twitter, huahaha..
Berikut ini hasil narsisme kami. The man behind camera is Fakhri Rizki Saputra. Keren ya hasil fotonya? :3
Tulisan "Kota Bandar Lampung" di Pertigaan Tugu Pengantin |
Tugu Pengantin Pepadun |
Minta tolong seorang "mas-mas" yang lagi nongkrong untuk memotret kami berlima :p |
Kali ini bersama Arga, foto berlatarkan Masjid Agung Al-Furqon |
Butuh ekstra urat-tidak-tahu-malu nih untuk berfoto disini, banyak kendaraan yang lewat dan tidak sedikit yang tertawa melihat kami foto-foto dengan PD-nya.. Hmm... |
Mungkin ada yang notice bahwa kami dua kali berfoto di "Tugu Pengantin". Yang pertama yaitu monumen pengantin adat "Pepadun" yang terletak di taman kota pertigaan Jl. DR. Soesilo dan Jl. Pangeran Diponogoro, tepat didepan masjid Al-Furqon, sedangkan monumen kedua yaitu monumen pengantin adat "Sai Batin" yang dibangun sebagai sumbangsih Bank Lampung di pertigaan Jl. Ahmad Yani, Jl. W. Monginsidi, dan Jalan Kartini. Nah untuk kisah lengkap tentang perbedaan dua jenis baju pengantin ini dapat dibaca disini ya, readers!
|
Tugu Pengantin Sai Batin |
Di Bundaran Tugu Gajah (Monumen Adipura). Lampung terkenal dengan gajahnya di Way Kambas |
Ngangkring di Angkringan Museum Lampung |
Tinggal dua hari tersisa untuk bertualang di Bandar Lampung, time flies so fast...
aakkk... asyikkkk..ke kilauan juga krmn dek?
ReplyDelete"Kiluan" mungkin maksud abang? :D enggak bang, butuh extra money dan extra time soalnya hahaa..
ReplyDeletenanti lah, Teluk Kiluan, Krakatau, sama Way Kambas semua dicicil biar bisa sering2 ke Lampung :)