December 06, 2021

Pasar Baru Pt. 1 - Jakarta Walking Tour Series #3

Benar saja dugaanku, walking tour bersama Jakarta Good Guide itu emang jadi adiksi. Sekali ikut, pasti akan ikut lagi dan lagi alias ga cukup sekali saja 😂 Minggu ini aku kembali mendaftar tur JGG dua kali, hari Sabtu dan Minggu pagi. Kenapa? Karena memang seadiktif itu, readers, serupa main ke museum tapi sekaligus menjelajah. Jika beruntung, bisa menemukan tempat kuliner yang enak dan tempat nongkrong yang asyik. 

Hari ini, Sabtu, 13 November 2021, aku menemukan keduanya dari hasil tur Pasar Baru. Belum lengkap rasanya ikut tur JGG kalau tidak diiringi 'belajar' sejarah dan fun facts baru, salah satunya lokasi kantor berita yang sering muncul di Teka Teki Silang! Wah, kok seru banget? Banyak tempat menarik ya di Pasar Baru, selain jejeran toko sepatu dan lapak barang-barang murah?  Iya dong! Makanya tetap membaca blog ini yaa, simak hasil jelajah kami pagi itu 😁


Ikonnya Pasar Baru

Titik kumpul Tur Pasar Baru adalah Stasiun KRL Juanda, stasiun andalannya para pegawai sekitar Lapangan Banteng yang melaju (commute) dari Bogor dan Bekasi. Untuk tur kali ini, aku kembali dipandu oleh Mas Huans selama 2 jam ke depan. Di depan St. Juanda, Mas Huans menceritakan sejarah singkat tentang Ir. Juanda dan bangunan stasiunnya.

"Teman-teman, siapa sih Juanda itu?" tanya Mas Huans. Aku terdiam sementara beberapa teman mulai melontarkan jawaban. "Betul sekali. Pak Juanda juga adalah Menteri Keuangan ke-11." Hahaha oh iya yaaa, bisa-bisanya aku nge-blank, padahal kan nama beliau terpatri abadi sebagai nama salah satu gedung di lingkungan kantor 😓 

Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja atau yang akrab dikenal sebagai Ir. Juanda adalah pahlawan nasional yang berperan penting bagi Indonesia, melalui deklarasinya yang menyatakan bahwa semua perairan yang menghubungkan pulau-pulau nusantara adalah termasuk wilayah NKRI dan menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia. Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, Indonesia hanya berkuasa atas wilayah laut 3 mil dari garis pantai. Sehingga kapal-kapal asing bebas melakukan penangkapan ikan ataupun kegiatan lain di luar batas tersebut. Ir. Juanda pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-10, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perhubungan Indonesia. Nama Juanda juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Jawa Timur karena jasanya dalam memperjuangkan pembangunan bandara tersebut.

Djuanda Kartawidjaja (sumber: Kemenkeu)

Stasiun Juanda adalah stasiun KRL yang melayani jalur Jakarta Kota-Bogor, dan mulai beroperasi pada tahun 1992. Stasiun ini memiliki tema warna biru yang apik, seperti warna biru langit yang sungguh menyegarkan mata. Menurut Mas Huans, stasiun-stasiun di jalur Manggarai-Jakarta Kota ini memang memiliki ciri khas warna berbeda yang tidak pernah berubah sejak dulu. Stasiun Gondangdia berwarna kuning, Cikini berwarna coklat, dan Sawah besar berwarna ungu muda. Stasiun Juanda adalah stasiun layang, di mana rel kereta apinya berada di atas tanah dengan ketinggian 15 meter dari permukaan. 

Stasiun Juanda (sumber: Capangker)

Setelah membaca-baca blog JGG, aku baru tahu ternyata rute Tur Pasar Baru aslinya melewati Istiqlal, Katedral, dan Gedung Filateli. Tapi sejak pandemi, rutenya diubah agar jaraknya lebih pendek dan durasi turnya lebih singkat. Destinasi kedua kami adalah Jalan Pintu Air yang terletak di ujung Jalan Juanda, seberang Masjid Istiqlal. Sebenarnya ini bukan "destinasi" sih ya, lebih ke titik henti sementara untuk Mas Huans menceritakan lebih banyak kisah zaman kolonial.

Mas Huans memulai ceritanya dengan memperkenalkan Weltevreden yang sekarang dikenal sebagai Kecamatan Sawah Besar. Peta di bawah menunjukkan posisi wilayah Weltevreden yang dekat dengan Senen dan Kwitang. Secara harfiah, weltevreden berarti "dalam suasana tenang dan puas". Kawasan yang mulai dibangun pada tahun 1648 ini dikenal sebagai tempat tinggal orang-orang elite Hindia Belanda. Salah satu rumah yang terkenal megah adalah Paleis van Daendels atau Het Groote Huis, yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1809. Bangunan ini sekarang ditempati Kementerian Keuangan, lokasinya di sudut Jalan Lapangan Banteng Timur.

Peta yang menunjukkan posisi Weltevreden
(sumber: Poestahadepok)

Groote Huis (dulu) dan Kementerian Keuangan (kini)
(sumber: Facebook)

Di masa VOC, terdapat dua lapangan utama di Weltevreden yaitu Waterlooplein (kini Lapangan Banteng) dan Buffelsveld (kini Gambir). Readers tahu Lapangan Banteng kan? Itu lho taman terbuka di seberang Masjid Istiqlal yang sering jadi tempat berolahraga ataupun sekadar duduk-duduk santai. Penasaran kenapa namanya berunsur banteng? Karena dulu memang tempatnya orang-orang Belanda yang tinggal di Kota Tua, untuk berburu hewan banteng. Wah, kebayang yaa kalau dulunya tempat itu adalah hutan belantara dengan pohon-pohon tinggi dan rimbun, ramai dengan hewan liar dan para pemburu.

Koningsplein sendiri saat ini telah menjadi Lapangan Monumen Nasional (Monas). Tempat ini adalah tempat piknik, olahraga, bahkan memiliki stadion di masa kolonial. Dulu diadakan pasar malam untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada tahun 1906. Tahun 1921, pasar malam ini diadakan rutin setiap tahun dan disebut "Pasar Gambir". Inilah yang jadi asal-muasal Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran.

Nah, mari kembali ke Pintu Air Istiqlal. Semenjak dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda, Batavia memang telah diprediksi berpotensi mengalami banjir. Mereka kemudian merencanakan pembangunan Banjir Kanal sejak 1870, tidak lama setelah Batavia dilanda banjir besar, dan baru selesai pada tahun 1920. 

Pintu Air Istiqlal dulu dan kini (sumber: Pinterest)

Jembatan dengan arsitektur khas Belanda
(Lokasi: Jalan Juanda, Pintu Air Istiqlal)

Pintu Air Istiqlal adalah salah satu pintu air yang dibangun untuk mengatur aliran tengah Sungai Ciliwung. Dalam Bahasa Belanda, pintu air disebut 'sluisburg' yang juga menjadi nama jalan saat itu. Sluisburg berfungsi mengendalikan kanal dari Molenvliet (Harmoni) yang dibelokkan ke arah Noordwijk (Juanda), Risjwijk (Veteran), terus menuju Pasar Baru hingga Gunung Sahari. Pintu Air Istiqlal telah resmi menjadi cagar budaya, sebagaimana status Pintu Air Manggarai.

Ngomong-ngomong tentang Masjid Istiqlal, dulunya di lahan tersebut terdapat sebuah taman luas yang jadi tempat wisata para pimpinan VOC. Namanya adalah Taman Wilhelmina, memiliki luas 9,32 hektar dan menjadi taman modern terbesar di Asia kala itu. Nama taman yang dibangun tahun 1834 itu diambil dari nama Ratu Wilhelmina van Orange-Nassau, ratu Belanda tahun 1890-1948. Saat pembangunan terowongan bawah tanah di Istiqlal, konon ditemukan bunker. Itu adalah tempat persembunyian orang-orang Weltevreden dari sini ke Kota Tua atau Sunda Kelapa.

Pembangunan Masjid Istiqlal di atas bekas Taman Wilhelmina
(sumber: Wikipedia)
 
Benteng (Citadel) Prins Federik Hendrik di Taman Wilhelmina
(sumber: Wikipedia)

Pascaserangan Mataram terhadap Batavia tahun 1628, pemerintah VOC membangun empat benteng (fort) untuk mengawal Batavia. Ada Benteng Jacatra (sekitar Mangga Dua), Benteng Angke, Benteng Noordwijk (sekitar Istiqlal) dan Benteng Riswijk (sekitar Veteran). Di Taman Wilhelmina juga terdapat sebuah benteng yang tidak pernah digunakan selama dia berdiri. Namanya adalah Benteng Prins Frederik Hendrik, dibangun pada tahun 1837 dan dihancurkan tahun 1961. Nama benteng diambil dari nama Pangeran Willem Frederik Hendrik, anak dari Raja William II.

Mas Huans menyelipkan cerita ringan tentang dunia perfilman Indonesia, lebih tepatnya tentang gedung bioskop. Bioskop pertama di dunia berdiri tahun 1895 di Paris, Prancis, dan bioskop pertama di Indonesia hanya berjarak beberapa tahun setelahnya. Bioskop ini berdiri tahun 1900 di Tanah Abang - Kebon Jahe, bukan dalam wujud gedung melainkan rumah biasa. Namanya adalah Bioskop Talbot, sesuai nama pengusaha Belanda yang mendirikannya. Harga tiketnya 2 gulden untuk Kelas I dan 0,5 gulden untuk Kelas II. Mahal sekali lho, 0,5 gulden setara dengan beras 10 kg di masa itu.

Warga pribumi di 'kursi' bioskop Kelas III

Klasifikasi kelas dalam bioskop kala itu terbagi 3 kelas. Kelas I adalah untuk warga Belanda, Kelas II untuk warga Arab dan Tionghoa yang punya bisnis, dan Kelas III untuk pribumi dan warga Arab & Tionghoa non-pengusaha. Mirisnya, warga Kelas III tidak punya tempat duduk alias lesehan persis di depan layar atau bahkan di belakang layarnya. Kelas III juga kerap disebut "kelas kambing" karena penontonnya yang suka berisik ngobrol sepanjang film.

Setelah Bioskop Talbot, mulailah bermunculan bioskop-bioskop lain. Ada Schwarz, bioskop kedua di Tanah Abang, lalu ada bioskop milik De Calonne tahun 1903 di Deca Park (kini Gambir). Bioskop Deca Park disebut "misbar" alias gerimis bubar karena tanpa atap. De Calonne pun pindah ke bangunan permanen di Pintu Air dan diberi nama Capitol. Bioskop ini hanya untuk warga kulit putih dan terlarang untuk pribumi, kecuali pejabat dan anggota Volksraad (DPR). Kemudian ada Elite di Pasar Baru, didirikan oleh pedagang Tionghoa bernama Tio Tek Hong. Sejumlah bioskop lain di Jakarta adalah Rex di Kramat, Rialto di Senen & Tanah Abang, serta Centraal di Jatinegara. Selain terbagi berdasarkan ras, bioskop juga terbagi berdasarkan jenis film yang diputar, misalnya Astoria yang khusus memutar film kungfu berbahasa mandarin. Bioskop pertama di Jakarta yang memutar film berbahasa Indonesia adalah Megaria alias Metropole. Adapun film berbahasa Indonesia yang paling pertama dibuat adalah Loetoeng Kasaroeng (1926).

Bioskop Rex di Kramat Bunder

Itulah kisah tentang Weltevreden dan sekitarnya, mari kita lanjutkan Tur Pasar Baru ini. Kami berbelok ke Jalan Pintu Air Raya dan langsung disambut oleh pemandangan jejeran ruko di kiri dan kanannya. Salah satu gedung yang menarik perhatian adalah gedung tua di bagian kanan, sebelum belokan Jalan Antara. Di bawah aku meng-embbed peta bangunan yang kumaksud.

Menurut Mas Huans, gedung ini tidak berubah dari pertama kali dibangun di zaman Belanda. Tegel keramik di lantai dan di tembok pun masih sama, tidak berubah. Sayangnya bangunan ini tidak terpakai lagi. Kala itu kami menemukan satu-dua orang tidur menggelandang di sini, sekadar berlindung dari teriknya matahari. Di dindingnya bisa kita lihat ada stiker bertuliskan "Photo Studio Melati Indah". Rupanya dulu bangunan ini pernah dipakai untuk studio foto, tapi sudah lama tidak beroperasi, entah karena tutup atau hanya pindah dari lokasi ini saja. Di Google pun tidak bisa kutemukan informasi tentang studio foto Melati Indah ini.


Setelah 100 meter, kami berbelok ke Jalan Antara. Jalanan ini sering aku lihat tiap kali melintasi Jalan Raya Pos di seberang, tapi baru sekarang aku tahu bahwa namanya adalah Jalan Antara. Namanya familiar ya, apalagi buat generasi 70-an atau generasi di atasnya yang suka mengisi Teka-Teki Silang/TTS.

Plang Jalan Antara dilihat dari arah Pasar Baru

Deretan ruko di Jalan Antara

Rumah salah satu pedagang Arab

Sebelum tiba di destinasi ketiga, kami berhenti sebentar di depan sebuah rumah yang tampak menarik. Info dari Mas Huans, ini adalah salah satu rumah tertua warga keturunan Arab tertua di Pasar Baru. Sebagaimana tadi sudah diceritakan, warga Pasar Baru memang didominasi oleh pedagang keturunan Arab dan Tionghoa yang menempati lahannya sejak zaman kolonial.

Gedung Filateli/Pos Bloc di seberang Jalan Antara

Nah ini dia destinasi ketiga kita: Gedung Antara. Dulunya gedung ini ditempati Kantor Berita Antara dan menjadi penyebaran berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia. Pada masa kolonial Belanda, gedung ini adalah kantor berita ANETA (Algemeen Niews en Telegraaf Agentschaap). Di masa penjajahan Jepang, gedung ini ditempati dua kantor berita, Yashima dan DOMEI. Yashima sendiri adalah Antara, yang oleh Jepang diharuskan mengganti nama berbahasa Jepang. Kantor pusat Antara kerap mengalami perpindahan, dari Raden Saleh, Yogyakarta, dan Pinangsia. Namun gedung di Jalan Antara ini tetap dipertahankan sebagai kantor cabang.

Pembentukan Antara sendiri didorong oleh rasa ketidakpuasan terhadap pemberitaan ANETA yang hanya berpusat pada kehidupan warga Eropa di Hindia Belanda. Pemberitaannya condong berat sebelah, dan tidak pernah mewartakan peristiwa politik masyarakat pribumi. Tahun 1937, Antara dibentuk oleh sejumlah pendiri, antara lain wartawan Albert Sipahutar dan mahasiswa ilmu hukum Mr. Soemanang. Antara berperan sangat penting selama masa perjuangan kemerdekaan, dan masa agresi militer Belanda tahun 1948. Mas Huans juga tak lupa bercerita tentang kronologis pewartaan berita Proklamasi yang dilakukan dengan penuh keberanian oleh Pangulu Lubis, Soegiri, dan Wua dengan cara menyelipkannya dalam morse-cast Domei di antara berita-berita lain agar tidak ketahuan pihak Jepang. 

Bangunan gedung terlihat sekali bernuansa kolonial dengan jendela-jendela tinggi di sisi depan. Gedung terdiri dari tiga lantai, dengan menara jam di bagian kiri gedung. Tidak ada yang tahu pasti tahun berdirinya gedung, namun kantor berita ANETA menempati gedung ini pada tahun 1917-1918. Dari foto berikut bisa dilihat, terdapat plang "Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara" dan tulisan "Gestetner" (merek mesin fotokopi) di depan gedung. Selain kantor berita, Antara juga memang memiliki percetakan/publishing sendiri.

Gedung Antara

Gedung Antara tahun 1971

Hanya berjarak satu ruko dari Gedung Antara, terdapat Galeri Foto Jurnalistik Antara. Hah, ada galeri foto di Pasar Baru? Aku pun baru tahu, padahal galeri/museum ini sudah diresmikan sejak tahun 1992. Menurut blog Aroengbinang, banyak koleksi dipamerkan di dalam mulai dari foto, buku, dan benda-benda bersejarah seperti mesin tik dan sepeda. Di fasad gedung, sebuah kalimat menarik perhatian. Tulisan ini dicat berderet pada sepanjang lis putih, dengan bacaan: "Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dipancarkan ke seluruh penjuru dunia dari gedung bersejarah ini." Di bagian jendela-jendelanya, terpajang foto-foto tokoh jurnalisme Indonesia seperti Adam Malik, Albert Sipahoetar, Soemanang Soerjowinoto, dan Pandu Kartawigoena.

Hari itu sedang ada Pameran "Pandemonium" di mana terdapat 120 karya foto yang mendokumentasikan pandemi Covid-19 dipamerkan di tempat ini. Kata Mas Huans, kita bisa berkunjung kapan saja ke tempat ini.

Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto bareng di depan Galeri Antara



Bersambung ke Part 2
-----------------------

Sumber cerita:
  1. Sejarah Area MONAS; Bukan Lapangan Kerbau, Kebun Gambir di Buffelsveld (Lahan Milik Keluarga Buffels) dari Poestahadepok

0 testimonial:

Post a Comment