November 19, 2021

Matraman - Jakarta Walking Tour Series #2

Puas dengan walking tour bersama Jakarta Good Guide sebelumnya, aku putuskan untuk ikut tur lagi di minggu ini. Dari seluruh rute yang diumumkan, aku memilih untuk ikut Tur Matraman. Kenapa? Karena lokasinya yang dekat dari tempat tinggalku, hahaha. Selain itu aku penasaran juga, emang ada apa di Matraman, kok sampai diadakan tur? Seumur-umur di Jakarta, aku hanya tahu flyover dan toko buku Gramedia di Matraman.

Ada apa sih di Matraman selain Gramedia?

Minggu, 7 November 2021 jam 09.00 pagi kami bertemu di meeting point, tidak jauh dari Halte Transjakarta Kebon Pala. Jumlah peserta tur pagi ini ada 12 orang, dibagi ke dalam dua grup. Kali ini aku berkenalan dengan guide lain di JGG, Mas Huans, yang ternyata akan terus kutemui selama dua tur ke depan hahaha.

Dari meeting point, kami naik ke jembatan penyeberangan untuk mendapat view jalan Matraman-Jatinegara yang lebih luas. Mas Huans menceritakan sejarah wilayah kecamatan ini. Nama Matraman berasal dari "Mataram", negara kesultanan yang berdiri sejak pertengahan abad ke-16. Kesultanan Mataram adalah kesultanan terbesar terakhir di Jawa yang akhirnya terpecah menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran, dan Pakualaman. Pasukan Mataram pernah membangun parit pertahanan untuk pasukannya di daerah ini pada tahun 1628-1629.

Jalan Raya Matraman dilihat dari jembatan penyeberangan Kesatrian

Jalan Matraman, dulunya disebut Matramanweg, merupakan bagian Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan rute Anyer (Banten) - Panarukan (Jawa Timur). Daendels  mulai menjabat pada tahun 1807 dan pembangunan Jalan Raya Pos berlangsung tahun 1808-1809. Jalan sepanjang 1.000 km ini dimanfaatkan sebagai sarana mengangkut hasil bumi dan pos komunikasi, namun rakyat pribumi sendiri baru diperbolehkan melewati jalan ini pada tahun 1853. Jalan raya ini adalah saksi sejarah kelam penjajahan Belanda di Indonesia; tidak terhitung jumlah pekerja yang tewas karena sakit malaria dan kecapekan bekerja rodi tanpa diupah.


Wilayah Meester Cornelis, di tengah terdapat stasiun (kini St. Jatinegara)
(sumber: Wikipedia)

Matraman adalah bagian dari wilayah Meester Cornelis (kini: Jatinegara). Daendels sempat memindahkan pusat pertahanannya dari Batavia ke Meester Cornelis pada tahun 1813 demi menangkal serbuan tentara Inggris. Nama "Meester Cornelis" diambil dari seorang tuan tanah keturunan Portugis, Cornelis Senen. Ia adalah pengkhotbah dan guru asal Pulau Lontar, Banda yang diasingkan ke Batavia pada tahun 1621. Pemerintah memberikannya sebuah private estate di Ciliwung yang digunakan untuk perkebunan kelapa dan tebu serta pertanian sawah. Cornelis meninggal pada tahun 1661 dan namanya diabadikan menjadi nama kecamatan "Senen" di Jakarta Pusat.

Selama abad ke-18, Meester Cornelis adalah wilayah militer dengan karakter pedesaan yang terdiri dari area perumahan, perkebunan, dan memiliki jalanan lebar. Jika readers tahu nama-nama wilayah Jakarta yang berunsur tanaman seperti Kebon Pala dan Kebon Kacang, itu karena Jakarta ini dulunya memang kawasan perkebunan, persawahan, dan perhutanan yang subur berkat aliran Sungai Ciliwung. Bayangkan sekarang hanya tersisa 'hutan beton' alias gedung-gedung doang 😅 Oh ya, Matraman juga dulu dilalui oleh trem yang menghubungkan Batavia dengan Kampung Melayu. Jalur trem ini sepanjang 14,3 km dan termasuk yang terpanjang dibanding jalur lainnya. 


Trem Matraman dengan latar viaduct
(sumber: Facebook)

Setelah menjelaskan tentang sejarah Matramanweg dan Meester Cornelis, kami bergeser ke arah tengah jembatan untuk melihat destinasi pertama tur Matraman. Destinasi ini adalah GPIB Koinonia Jatinegara yang terlihat jelas dari atas jembatan penyeberangan Kebon Pala. Gereja protestan ini berada di ujung persimpangan Jalan Matraman Raya dan Jalan Raya Jatinegara. Secara geografis, GPIB Koinonia memang sudah berada di wilayah Jatinegara. 

GPIB Koinonia dilihat dari jembatan Kebon Pala

Gereja Bethel, cikal bakal GPIB Koinonia

Gereja ini dibangun sekitar tahun 1889 dan mengalami renovasi pertama kali pada tahun 1911. Mulanya gereja diberi nama Bethelkerk atau lebih dikenal dengan Indische Kerk. Gereja kemudian beralih kepemilikan ke GPIB di tahun 1948 dan berganti nama menjadi GPIB Jemaat Bethel. Mulai 1 Januari 1961, nama gereja berubah jadi GPIB Koinonia yang berarti "persekutuan".

Gedung gereja ini asli sejak dulu dan tidak pernah mengalami perubahan. Desainnya sederhana saja, bangunan utamanya berbentuk persegi dengan atap limas segi empat. Bangunan gereja terdiri dari tiga lantai, di mana lantai 1-2 untuk ruang ibadah dan lantai 3 untuk ruang doa. Halaman gereja memang tidak luas, dan hanya dibatasi pagar dengan jalan raya yang mengapitnya. Menurut Mas Huans, gereja ini sudah didaftarkan sebagai cagar budaya pada tahun 2018 lalu. Readers yang ingin membaca sejarah lengkapnya bisa langsung ke situs resmi gereja yah. Mas Huans juga bercerita bahwa saat Idul Fitri sebelum pandemi, salat ied digelar di jalan raya yang mengapit GPIB Koinonia. Benar-benar perwujudan toleransi antarumat beragama yaa 💕

Shalat Ied yang berlangsung di jalan sekitar GPIB Koinonia
(sumber: Suara)

Tepat di depan GPIB Koinonia, terdapat patung seorang pria dan seorang anak kecil. Ini adalah Monumen Perjuangan Jatinegara yang dibangun untuk memperingati perjuangan warga Jatinegara melawan penjajah. Monumen setinggi 3 meter ini diprakarsai oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1982. Kedua tokoh ini tidak memiliki nama, namun dipastikan keduanya adalah toko nyata: seorang pemuda dengan senapan, pistol, dan granat, serta anak kecil dengan ketapel yang hanya mengenakan celana pendek. Menurut Mas Huans, anak kecil itu juga ikut berjuang dengan caranya sendiri yaitu menjadi mata-mata.

Sumber: Kompas

Sumber: Streetdirectory

Setelah lebih dari 15 menit 'nongkrong' di atas jembatan penyeberangan, akhirnya kami turun ke trotoar di sisi Jalan Matraman. Kami sepintas melihat rumah-rumah bergaya kolonial yang dulu ditempati oleh perwira militer Belanda. Sekarang rumah-rumah ini adalah bagian dari perumahan Komando Daerah Militer (Kodam) di Jalan Jend. Urip Sumoharjo.  

Rumah ex-militer Belanda yang kini jadi perumahan Kodam (sumber: Pakansi)

Kami berjalan kaki sekitar 150 meter menuju perhentian kedua, Viaduct Matraman. Lokasi ini ditandai dengan adanya jembatan beton yang berdiri kokoh, bernama Jembatan Gunung Antang. Di baliknya terdapat jalur kereta api yang sudah tidak berfungsi lagi, disebut Viaduct Meester Cornelis. Viaduk ini dibangun pada masa kolonial tahun 1918 bersamaan dengan operasional jalur kereta api dari Manggarai ke Jatinegara. "Viaduct" sendiri adalah Bahasa Latin yang berarti "melalui jalan" atau "menuju suatu arah". Ciri khas jembatan viaduk adalah tiang-tiang atau kolom-kolom penyangganya yang berjarak dekat satu dengan yang lain.

Cerita Mas Hans, jembatan ini bentuknya tidak berubah sejak pertama kali dibangun. Terbukti ya jika dibandingkan dengan foto di bawah ini. Karena tinggi pilarnya yang cukup rendah, beberapa kali truk molen atau kendaraan besar menabrak viaduct dan menyumbat lalu lintas karena tidak memperkirakan jarak mobil dengan jarak jembatan.

Viaduct Matraman

Viaduct Meester Cornelis (sumber: Kompasiana)

Viaduct Meester Cornelis (sumber: Twitter)

Perhentian ketiga adalah Gereja Katolik Santo Yoseph, salah satu gereja tua di Jakarta. Pembangunannya dimulai dengan pembelian lahan di tepi Matramanweg pada tahun 1906. Kala itu, gereja ini adalah stasi dari Paroki Katedral, dan baru berdiri sendiri tiga tahun kemudian. Tanggal 22 Juni 1909, gejera melayani pemandian/baptis perdana kepada Christina Wilhelmina, seorang anak keturunan Belanda. Tanggal pemandian tersebut pun menjadi tanggal kelahiran Paroki Matraman yang bentuknya masih sederhana.

Gedung sebagaimana saat ini baru dibangun pada tahun 1923. Hingga saat ini, gedung gereja tidak mengalami perubahan besar. Hal yang paling mudah dikenali dari gereja ini adalah tiga menaranya: satu menara utama dengan mahkota bersalib di puncaknya, serta dua menara pendamping yang lebih pendek. Di sisi kanan-kiri terdapat dua menara yang lebih pendek. Di bagian depan, di atas pintu masuk utama, terdapat patung Santo Yoseph setinggi +- 5 meter. Untuk mengakomodasi jumlah umat yang semakin banyak, bangunan gereja ditambahkan di bagian samping. Oleh karena itu, altar juga dimodifikasi agak menyerong dari posisi semula yang lurus, untuk mengakomodasi bagian sayap kiri atau "gereja samping". Gedung gereja dibangun oleh Ir. Frans Johans Lauwrens Ghijsels, arsitek yang sama yang membangun Stasiun Kota serta Gedung Bappenas di Menteng. 

Gereja St. Yoseph dulu dan sekarang (sumber: Pakansi)

Sayang sekali, kami hanya bisa menikmati kemegahan ereja dari luar pagar. Hari Minggu pagi ini gereja ramai dengan jemaat yang sudah diperbolehkan beribadah offline atau hadir fisik secara langsung. Beberapa satpam berjaga ketat di depan pintu-pintu masuk gereja. Mas Huans bercerita bahwa sebelum pandemi kita diizinkan untuk masuk ke dalam gereja. Bahkan peserta tur JGG pernah diajak melihat ruang bawah tanah yang dulu dipergunakan sebagai tempat persembunyian By the way, tahukah readers bahwa baik GPIB Koinonia dan Gereja St. Yoseph ini pernah menjadi target pengeboman saat Natal tahun 2000 silam?

Patung Santo Yoseph di depan gereja

Mas Huans tiba-tiba berhenti di ujung gang yang tampak ramai dengan pedagang. Wah ada apa ini? Aku tidak melihat ada gedung yang sekiranya menjadi objek tur di sini. Rupanya, destinasi keempat tur Matraman memang adalah gang atau jalan ini sendiri, yaitu Jalan Palmeriam. "Ada yang tahu artinya 'Pal'?" tanya Mas Huans. Oh jelas aku tahu, artinya adalah palang yang menjadi pembatas. Di Manado ada juga nama wilayah dengan kata "Pal", yaitu Paal Dua dan Paal Empat, jadi aku tahu sejak dulu hehehe.

Dulu di jalan ini terdapat batas atau patok jalan berbentuk meriam, sehingga oleh warga dikenal dengan "Palmeriam". Versi lainnya menyebutkan bahwa di tempat ini pernah dibangun gudang persenjataan dan amunisi oleh tentara Inggris. Ketika bertempur melawan Belanda-Prancis, meriam ditembakkan dari tempat ini ke arah Batavia. Mana versi yang tepat, tidak ada yang tahu. 

Jalan Palmeriam

Mas Huans juga bercerita tentang Kampung Berland yang ada di seberang jalan. Kampung ini 'terkenal' karena sering melakukan kerusuhan di kawasan ini. Dulunya wilayah Berland adalah benteng Kesultanan Mataram yang kemudian dikuasai oleh tentara Belanda, lalu digunakan sebagai benteng kavaleri, posko pasukan berkuda, serta kantor dinas pemadam kebakaran.


Restoran Munik

Perjalanan berlanjut lagi dengan menyeberangi jembatan untuk menuju Restoran Munik. Dari atas jembatan, restoran ini sudah terlihat jelas berkat plangnya yang besar dan eye-catching. Sebelum pandemi ketika sering diadakan rapat di kantor, Munik adalah salah satu pilihan untuk konsumsi makan siang. Menunya adalah makanan tradisional Indonesia dengan cita rasa yang menggoyang lidah. Tak heran, Munik memang berspesialisasi pada bumbu makanan siap masak, jadi rasa makanan restorannya juga sedap sekali. Awal berdiri di tahun 1994, Munik hanya membuat bumbu siap pakai untuk sayur asam. Semakin berkembang usaha, semakin banyak juga jenis bumbu dasar yang dijual, bahkan merambah ke makanan siap santap. Readers tahu apa arti nama "Munik"? Hanyalah akronim dari "mudah dan nikmat"! 😋

Tukang parkir di Munik Resto sedang asyik mengobrol

Mas Huans juga bercerita sekilas tentang Panti Asuhan Pa van der Steur yang terletak di seberang Munik. Johannes van der Steur adalah orang Belanda yang datang ke Magelang tahun 1892 untuk mengurus rumah para tentara. Hatinya terbeban ketika mendengar bahwa teman dari salah satu tentara meninggal dunia dan meninggalkan istri serta empat orang anak dalam kondisi yang sangat miskin. Van der Steur lalu membawa keempat anak tersebut ke sebuah rumah bambu yang dibangunnya dan diberi nama Oranje Nassau. Lambat laun jumlah anak yang diurusnya menjadi semakin banyak, hingga mencapai 7.000 orang. Satu waktu ketika Bapa/Papa van der Steur pulang kampung, dia berhasil memperoleh sumbangan dari warga Belanda dan Ratu Emma sebesar 20 ribu gulden. Uang ini kemudian dipakai untuk membeli rumah tinggal yang lebih besar di Magelang, menjadi kompleks panti asuhan Yayasan Oranje Nassau. Van der Steur tutup usia pada tahun 1945 karena sakit yang dideritanya. Pada tahun 1949, panti asuhan dipindahkan dari Magelang ke Jakarta dan berganti nama menjadi Yayasan Pa van der Steur. 

Panti Asuhan Pa van der Steur (sumber: Mapio)

Maksud hati sih ingin langsung singgah di Munik, mengisi perut yang keroncongan karena lupa sarapan. "Tenang, habis ini kita jajan cantik ya," kata Mas Huans. Wah, apa nih kok ada sesi jajan? Rupanya destinasi selanjutnya adalah bakery yaitu Toko Roti Tegal, hanya beberapa ratus meter dari Munik. Di sini kami rehat sekitar 15 menit sambil jajan, eh bukan, sambil "memberdayakan UMKM" kalau meminjam istilah Mas Huans. Kue yang paling populer adalah roti nanas dan kue amandel. Yang terakhir itu adalah puff pastry dengan isian coklat padat. Rasanya tidak terlalu manis, tapi padatnya coklat bisa bikin aku kenyang hingga jam makan siang nanti.

Toko Roti & Kue "Tegal"

Roti dan kue tradisional

Interior toko masih memiliki kesan tahun 70-an, dengan meja, kursi, rak display, bahkan timbangan jadul. Toko Tegal berada di lokasi ini sejak tahun 1968, namun usaha rotinya sudah ada sejak tahun 1948 dengan nama "Insulinde" di Matraman Raya 21 (sekarang Grand Menteng Hotel). Penggantian nama menjadi "Tegal" karena instruksi pemerintah pasca kemerdekaan yang menghapuskan nama-nama tempat bernama Belanda -- salah satu alasan juga kenapa trem dan relnya dimusnahkan. Konsep penamaan Tegal, menurut Mas Huans ada dua jenis. Pertama, karena pemiliknya memang berasal dari Tegal. Kedua, karena lokasi ini dulunya adalah tegal atau ladang, makanya ada Jalan Tegalan di sekitar sini.

Timbangan jadul


Perjalanan Tur Matraman berakhir di destinasi selanjutnya. Inilah satu-satunya tempat di Matraman yang familiar bagiku: toko buku Gramedia Matraman. Berdiri sejak tahun 2007, Gramedia Matraman disebut sebagai toko buku terbesar di Asia Tenggara. Bangunannya memang tampak megah dari luar. Terdiri dari empat lantai dengan fasad berwarna putih didominasi kaca tembus pandang. Aku langsung bernostalgia ke zaman-zaman SD dan SMP dulu, yang masih rajin main ke Gramedia sepulang sekolah hanya untuk melihat-lihat komik dan novel. Ah coba aku sekolahnya di dekat Gramedia Matraman ini, bisa-bisa aku lupa pulang dan lupa ngerjain PR saking banyaknya koleksi buku di sini, hahaha.

Gramedia Matraman

Sekian sudah perjalanan kami hari ini. Mas Huans tidak menahan kami lebih lama karena melihat langit yang sudah mulai berubah gelap. Aku yang tadinya berniat mampir dulu melihat-lihat koleksi buku terbaru Gramedia, langsung naik Transjakarta untuk pulang karena takut kehujanan. Demikian cerita dari walking tour keduau bersama Jakarta Good Guide. Minggu depan aku pasti ikut lagi!

Terima kasih sudah ikut membaca readers. Sampai jumpa di cerita selanjutnya ya.

Terima kasih, Mas Huans!

------------------------------

Rute tur Matraman bersama JGG:


Sumber cerita/sejarah lainnya:

1. Blog Arya Wardhana yang pernah mengikuti Tur Matraman
5. Melintas Masa di Matraman - blog Ariesadhar

0 testimonial:

Post a Comment