May 27, 2016

Living on Board - Flores Trip

Fotonya boleh blur. Kenangannya enggak. :)

Senin, 23 Mei 2016.
Kapal kami baru mulai melaut sekitar jam 8 pagi karena surat izin Syah Bandar belum terbit. Seharusnya sih jam segini kami sudah mulai bertualang di tengah laut hehe.. Pelajaran nih buat teman-teman yang mau sailing, jangan lupa mengurus surat izin dengan menyetor nama lengkap beserta nomor identitas (KTP/SIM/Paspor) kepada awak kapal/petugas pelabuhan. Kantor Syah Bandar yang baru buka jam 7 pagi bisa bikin gagal berangkat subuh soalnya. :(

Perhentian pertama: Pulau Kenawa. Pulau yang dimiliki oleh WNA ini menyimpan pesona atas dan bawah laut. Setelah Captain (Capt.) memberi tanda aman, tanpa berlama-lama lagi kami semua langsung nyebur lengkap dengan peralatan snorkeling dan action cam masing-masing. Ups, bukan "kami" sih, karena sayangnya aku malah kedatangan tamu tepat di hari mendarat di Labuan Bajo :( Selain aku, Mas Fahmi sang pemilik lensa tele dan Mas Tri Warso yang sesama punggawa keuangan negara juga tidak ikut nyebur. Aku ngiler juga sih sebenarnya melihat dermaga Pulau Kenawa yang begitu apik, begitu instagrammable. Untuk menuju kesana, kami harus membayar perahu kecil lagi karena kapal besar tidak bisa mendekat ke dermaga. Aku hanya bisa memandangi keseruan mereka berfoto-foto dari jauh. Cie, Erlin baper...

Dermaga Pulau Kenawa. Dari kejauhan :(

Nggak sedih-sedih banget sih, udah pernah nyicipin Bunaken yang jauh lebih indah soalnya hehe

Starfish!


Puas basah-basahan, kami langsung disambut makan siang pertama di atas kapal hasil olahan Bunda, panggilan sayang kami pada ibu juru masak di kapal. Nikmat banget rasanya! Apalagi makan beramai-ramai 14 orang lainnya yang terlihat begitu lahap mengunyah hidangan seafood segar, makananku pun semakin terasa nikmat :)

Destinasi selanjutnya adalah Gili Lawa atau Gili Laba. Diucapkannya ringan saja, readers, jangan ada tekanan di akhir kata "Laba" karena nanti akan bermakna "Labak" yang mengacu pada gili lainnya di dekat Pulau Madura, hehehe.


Jalur trekking di Gili Lawa terbagi dua, jalur pendek yang suitable untuk lihat sunrise, dan jalur panjang yang menghadap barat dengan sunset view yang spektakuler. Pilih yang mana? Apapun yang dipilih Mas Budi, hahaha. Dengan mengekor Mas Budi, yang juga hanya mengekor teman-teman lain, aku mulai menapaki jalur trekking pendek namun super-menantang: berdebu, berbatu kecil, dan menanjak. Ini pertama kalinya trekking lagi setelah vakum sekian lama, jadinya sedikit-sedikit berhenti.

Udah cocok jadi foto lokasi pre-wedding?

Naiknya gampang, turunnya berdarah-darah :')

Baru beberapa desimeter nanjak, view-nya udah sekeren ini!

Sering berhenti duduk karena kecapekan, ditambah sesi curhat colongan, hahaha

Pas berhenti untuk mengambil napas, lalu menoleh ke belakang... speechless! Cuma bisa bilang "Wow" berkali-kali... berkali-kali... sampe lelah sendiri hahaha. Beneran deh, readers, aku bahkan belum menginjak puncak bukit, namun pemandangan yang tersaji di depan mata sukses bikin terpana. Detik itu juga aku langsung mengucap syukur karena, walaupun sejak awal perjalanan aku menghadapi berbagai kendala, Tuhan terus memperlancar segala usaha dan perjuangan untuk trip satu ini. Mengucap syukur untuk mata yang selalu jernih, bisa memandang keindahan ini. Mengucap syukur untuk kaki yang selalu tangguh, bisa mengantarkan aku ke berbagai tempat menakjubkan. Mengucap syukur untuk semua berkat dan anugerah-Nya yang tidak pernah berhenti hadir dalam hidupku. Oh ya, dan tentunya mengucap syukur atas Indonesia... tanah air yang dicipta-Nya menjadi begitu luar biasa, membuatku bangga lahir sebagai orang Indonesia.




Udah ah, sekian aja perenungannya. Scroll keatas sekali lagi boleh kok, readers, nikmati dulu keindahan pemandangannya...


"Ini kisah cintaku. Iya, aku yang di depan lah, jelas." *ngakak*

Selasa, 24 Mei 2016.
Hari kedua hidup di atas kapal. Perut dan kepala sudah mulai menyesuaikan dengan keadaan yang selalu bergoyang. Tidur pun jauh lebih nyenyak dibandingkan malam sebelumnya. Sepertinya aku bisa deh hidup di atas laut seperti ini, hahaha. *Melempar kode pada para pelaut yang sedang mencari istri (?)*

Mengawali perjalanan hari kedua, Capt. membawa kami ke suatu lokasi di tengah laut yang dinamakan Manta Point, suatu titik yang menjadi tempat berkumpulnya ikan pari manta. Ikan-ikan ini sangat menarik bentuknya, bersayap lebar dengan ujung sayap lancip yang apabila mencuat di permukaan laut akan terlihat seperti sirip lumba-lumba. Mbak Shila dan Mbak Ira malah awalnya mengira ada lumba-lumba disini, yang ternyata hanyalah sayap Manta.

"Daripada foto sama mantan, mendingan kita foto sama Manta yuuuuk!" demikian Mbak Sari mengajak anak-anak untuk segera nyebur. Mungkin karena masih pagi, geng kami banyak yang masih selow untuk turun, beda dengan hari pertama di Kenawa kemarin. Jadinya pas mereka sudah siap nyebur, Capt. malah menyalakan mesin untuk memindahkan kapal ke lokasi lain. Hahaha. 

Di sisi lain, Bang Fian dari Banjarmasin dan Al si berondong ganteng (ini julukan dari anggota yang lain lho, bukan aku...) malah sudah naik ke atas kapal dengan membawa hasil foto/video yang kurang memuaskan. Manta-nya sih ke-rekam... tapi selfie bareng Manta tidak sukses! Hahaha. Dari kejauhan Manta memang terlihat lucu, tapi begitu ada di dekatnya, apalagi kita dikelilingi beberapa Manta... rasanya geli-geli serem juga. 

Seharusnya kami juga menyambangi Taka Makasar, lokasi snorkeling yang terkenal dengan jellyfishes-nya. Sayang lokasi ini terlewat, entah apa alasan Capt. Mungkin melihat kami yang kelelahan mengejar Manta, kali ya.

Dengan tingkat ISO dan DoF yang tepat, pink-nya pasti terlihat jelas :)

Kami kemudian berhenti di Pink Beach. Sebelas-dua belas dengan Pink Beach (Pantai Tangsi) di Lombok, pesisir pantai satu ini juga berwarna pink kemerahan karena ada algae merah yang bercampur dengan pasirnya. Jika dilihat dari jauh, gradasi warnanya menyatu sempurna. Begitu didekati, akan terlihat jelas perbedaan pasir dan algae merahnya. Di pantai ini kami kembali dihadapkan dengan pilihan menyeberang dengan perahu kecil seharga Rp20K bolak-balik. Okelah. Daripada tidak turun sama sekali.

Close up: mana warna pink-nya?!

Rombongan kemudian terpisah sesuai minat dan kegemaran masing-masing. Karena Mas Budi memilih stay di kapal serta Mas Fafa + Mas Yudha asik selfie di pinggir pantai, aku kali ini mengekor Bang Fian dan Mbak Ira yang trekking ke perbukitan untuk mengambil gambar pantai dari ketinggian. Enaknya punya temen jalan, ya, jadi bisa berfoto kece karena ada yang memfotokan hahaha. Selesai foto-foto, aku memutuskan untuk lanjut lagi trekking hingga bagian puncak bukit melihat ada pohon 'jomblo' yang begitu menarik di sana. Toh anak-anak lain masih asyik juga dengan kesibukan masing-masing.

Cie, Bang Fian, selfie teruuuus!
Pohon 'jomblo'!

Memukau!

Satu hal yang aku cintai dari Flores ini adalah keterpaduan bukit dan lautnya yang begitu indah. Tanaman hijaunya begitu subur, kontras dengan birunya langit dan tosca/navy-nya lautan. Cukup melempar pandangan 360 derajat ke seluruh arah, mata kita bisa menikmati panorama sepuasnya. Matahari yang berada tepat di atas kepala lah yang akhirnya memaksaku untuk kembali turun ke pesisir dan bersiap balik ke kapal. Makan siang sudah menunggu! Nyam nyam~

Makanya jangan menjomblo pas jalan, kan jadi ga bisa bikin foto mesra kayak yang lagi ngetren di sosmed itu :( 

Akhirnya, highlight dari trip ini datang juga: Pulau Komodo! Pulau yang menjadi habitat alami Varanus Komodoensis, spesies kadal terbesar di dunia yang hanya dapat ditemukan di Indonesia. Widih. Makin bangga dong ya sama Bumi Pertiwi :)





Sama orang-orang ini, trekking selama 1,5 jam nggak berasa sama sekali!

Hidup rusa disini singkat banget. Bisa kapan aja disantap Komodo :(

Hati sebenarnya agak was-was juga, readers. Anak-anak lain sejak tahu bahwa aku sedang kedatangan tamu bulanan, selalu mewanti-wanti agar aku jangan menemui si Komodo. Reptil yang satu ini memiliki indera penciuman sangat tajam dan dapat membaui darah dan bangkai hingga jarak 9.5 KM! Di satu sisi mereka khawatir aku akan diserang Komodo, tapi di sisi lain mereka juga berharap kehadiranku bisa membuat para Komodo langsung berkumpul menghampiri, alih-alih sembunyi selayaknya kebiasaan mereka. Duh -_-

Ketakutanku tidak bisa melihat Komodo langsung terpatahkan begitu si Ranger (guide sekaligus 'pawang' Komodo) membolehkan aku ikut trekking dengan syarat stay close to him, jangan berkelana sendirian. Oke, Kapten, siap 86! Gandengan sama Mas Rangga AADC Ranger pun aku siap! :))
"Lu emang Dewi Keberuntungan kita, Lin!"
FAVORIT!


Main-main sama maut ini, namanya... *tutup mata*

Percaya nggak ini diambil dengan lensa 18-55 mm saja? :)

Well, keberuntungan kami bukan saja karena bisa langsung bertemu Komodo, tapi juga karena Komodo-nya bergerak menuju tempat lain yang awalnya membuat kami tersentak kaget mengira dia akan menyerang. Namun kemudian kami malah selfie di belakangnya! Kocak banget, deh. Foto-foto di momen itu akan jadi foto paling menarik dari trip ini. Ah ya, tentunya bukan aku yang mengambil foto-foto Komodo di atas. Aku masih pengen hidup, Readers :p

Makasih banyak untuk Ranger kami yang begitu inisiatif dan handal menekan shutter :)

Titik narsis lainnya: Sulphurea Hill

Mas Fafa. Teman duet. Temen curhat di ujung kapal. Temen nikmatin sunset. Temen paling banyak pose. Hahaha

Puas berfoto di Sulphurea Hill serta bernarsis dengan another Komodo yang kami temukan di ujung jalur trekking, perjalanan pun dilanjutkan. Sekali lagi, kami melenceng dari jadwal dan menyebabkan tidak bisa mengejar sunset di Pulau Kalong. Sayang banget emang, kami jadi tidak bisa melihat pasukan kalong keluar sarang dengan latar belakang langit senja yang konon katanya Mbak Sari sangat memukau itu. Malam ini, kami bermalam di Pulau Kalong. Selamat istirahat!


Rabu, 25 Mei 2016.
Hari terakhir! Hari terakhir nge-trip pasti akan menjadi hari terbaper sedunia. Apalagi trip yang satu ini, yang sejak mata membuka hingga menutup selalu dimanjakan oleh keindahan lukisan tangan Tuhan. Duh, nggak pengen pulang rasanya.

I woke up to this sunrise view. Love!

Bangun tidur, kami langsung bersiap untuk mulai trekking. Nah, disini aku sempat mengalami blunder yang cukup fatal, readers. Sudah pada tahu dong kalo aku ini jiwanya trekker; belum makan belum mandi pun ayo-ayo aja kalo diajak trekking. Jadi, saat aku sudah mendaki bukit lewati lembah selama hampir setengah jam, aku lalu menengok ke belakang dan ...
"Hello, it's me..." - Adele, eh Pulau Padar, menyapaku dengan keindahannya.


Ternyata pulau yang tengah kujajaki ini adalah Pulau Padar. Astaganaga. Pantasan saja di kapal tadi orang-orang sibuk menyiapkan baju putih. Rencananya memang di pulau ini kami akan berfoto keluarga, ehm... berfoto grup dengan atasan putih. Dan... aku trekking mengenakan baju merah + sweater merah. Luar biasa, Lin! Hahaha. Mau tak mau harus menerima kenyataan pahit dikecualikan dari foto grup deh, daripada merusak foto kan? :') Aku cukup puas kok bisa mengabadikan senyum dan kekompakan anak-anak lain.
Akibat blunder, cuma bisa ngeliatin :(

Ayo tebak-tebakan: berapa kali pose kayak gini dilakukan dalam trip ini? HAHAHA

Aside from that photo session, aku sangat menikmati trekking kali ini. Jalurnya landai, lebih mudah, namun lebih jauh. Sudah jauh-jauh hingga puncak bukit, eh ternyata bukan di sini spot foto terbaiknya. Hahaha, kocak. Trekking di pagi hari memang jauh lebih menyenangkan karena kita tidak perlu terburu-buru takut matahari terbenam. Toh risiko terburuknya hanyalah semakin gosong terpanggang mentari terik.

Turun lagi. Puncak bukit ternyata bukan spot foto terbaik


Dengan diawali sarapan-sekaligus-makan-siang yang menjadi makan terakhir di atas kapal, kami lalu menginjakkan kaki di destinasi terakhir, Pulau Rinca. Seperti Pulau Komodo, yang satu ini juga dihuni oleh Komodo dan para mangsanya. Namun jalur trek-nya jauh lebih singkat karena komodo di pulau ini juga lebih agresif dan jarang bersembunyi. Baru beberapa langkah memasuki jalur trek, kami sudah disambut puluhan Komodo berbagai usia yang nongkrong di "Dapur". Dapur ini literally dapur, tempat para pegawai dinas kehutanan/ranger/pegawai lain memasak makanannya. Komodo yang mencium bau makanan selalu berkumpul di sini.

Komodo junior berumur sekitar 3 tahun

Nggak perlu susah-susah trekking pun kita pasti nemu Komodo di Pulau Rinca



Trekking ke dalam hutan malahan tidak membuahkan hasil sama sekali. Kami hanya bertemu beberapa monyet dan burung yang merupakan mangsa Komodo selain rusa, kambing, dan babi. Okelah. Perjalanan ini ditutup dengan begitu manis oleh permainan gitar Mas Yudha, sang ketua geng, yang sukses mengundang decak kagum kami *azeg :)*


Hey, Ketua Geng, terima kasih sudah menjaga dan mengayomi ya! ^^

Akhir kata...
Terima kasih sebesar-besarnya beserta pelukan hangat terdashyat untuk Mas Budi, Mas Fafa, Mas Yudha, Mbak Reni, Mas Tri Warso, Mas Fahmi, Bang Fian, Bang Eday, Bang Santo, Mbak Sari, Mbak Ira, Mbak Shila, Mbak Yeni, dan Alfiyan selaku travelmates kali ini. Aku selalu percaya bahwa perjalanan itu bukan semata destinasi, tapi juga karena teman yang ada di sisi. Menemukan teman jalan yang bisa langsung klop sejak awal adalah suatu kesempatan yang amat sangat langka, and I am so blessed to know you, guys. Semoga Derawan di 2017 bukan wacana semata ya. Sampai jumpa, kawan-kawan!


Kenyang banget liat view ini sepanjang perjalanan sailing Flores :)

Sunset (hari) terakhirku. Model: Mas Fafa lah, siapa lagi? *big grin*

0 testimonial:

Post a Comment