December 12, 2013

Historical Bantiknese Stones: Batu Buaya

Batu Buaya (Bahasa Bantik: "Bihua") adalah sebuah objek wisata di Kelurahan Malalayang I, Kec. Malalayang, yang berasal dari Suku Bantik. Batu ini berukuran panjang dan menyerupai badan buaya. Konon, batu ini adalah mayat dari musuh Suku Bantik yang mencoba mengusik ketenteraman warga suku.


Menuju ke Batu Buaya, kita harus memasuki sebuah kebun yang sejatinya adalah tanah milik masyarakat setempat, jadi disarankan untuk meminta izin dahulu sebelum masuk ke pintu seng ini.


Di tengah-tengah kebun inilah terletak objek wisata Batu Buaya. Saat saya mengunjungi situs ini, ada seorang anak yang sedang membuat layang-layang sehingga agak menganggu proses peliputan dan pemotretan batu :(




Kisah di balik Batu Buaya? Berikut ini adalah hasil tulisan Pak Johan Mongisidi, seorang 'anak' Bantik asli yang berbaik hati menuliskan Hikayat Batu Buaya untuk para pengunjungnya.

Suatu peristiwa terjadi perseteruan dan perkelahian di lereng gunung Bantik (sekarang dekat Desa Warembungan) antara "Jopo Mandu" dan Tonaas (pemimpin suku) dari Tonsawang. Karena telah memasuki wilayah Suku Bantik maka dia dianggap musuh (Bahasa Bantik: "Pai Seke").
Pertarungan berlangsung sampai di perkebunan bernama "Lraba". Karena perkebunan Lraba begitu luas, dari dataran tinggi hingga ke dataran rendah, setiap langkah (seke) musuh tersebut menginjak tanah, maka tananhnya longsor (naguhu). Terucap perkataan dari musuh itu: "Kumoboi Tana Paleongan Ni Barorongan", baru ketahuan dari ucapannya bahwa seke tersebut bernama "Barorongan" yang merupakan Tonaas dari Tonsawang.
Sepanjang pertarungan kedua tonaas memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan luar biasa dan sampai di daerah perkebunan bernama "Lribubuhu". Jopo Mandu telah kelelahan dan tenaganya berkurang (Bahasa Bantik: "Madadiha'te, Nai Buku Te Tou Taya Nahaka"). Dengan kesaktiannya Jopo Mandu memanggil (mamokei) si "Jopo Kohotei" yang berwujud seperti seekor anjing (kapuna). Datanglah seekor anjing membantu Jopo Mandu dan menggigit kemaluan Barorongan hingga dia mati. Menjelang ajalnya Barorongan mengakui kesaktian Suku Bantik yang sangat luar biasa dan tidak ada tandingannya.
Jopo Mandu kemudian menemui tetua adat Bantik dan melapor bahwa seke sudah tewas. Para tetua adat meminta kepalanya sebagai bukti bahwa dia telah meninggal. Jopo Mandu pun kembali ke tempat bertanding keduanya, namun tak disangka dia menemukan bahwa mayat Barorongan dari kaki sampai leher sudah berwujud buaya! Jopo Mandu pun memenggal kepalanya untuk dibawa sebagai bukti kemenangannya.
Sebelum perang Indonesia melawan Jepang berlangsung, para masyarakat Etnis Tonsawang datang ke tempat ini untuk berziarah dengan membawa sesajen dan memasang lampu.

0 testimonial:

Post a Comment