September 26, 2013

East Java Trip, 1st city: Kediri

East Java Trip-ku dimulai dari sebuah kota yang terletak di dekat sungai Brantas: Kediri. Kediri memiliki luas sebesar 63,4 km2 dengan total populasi 252.000 jiwa.

Begitu menginjakkan kaki di Kediri, FYI aku tiba di Stasiun Kediri pada pukul 03.00 dini hari, hawa dingin langsung seketika menyengatku! Stasiun Kediri berada di ketinggian 68 km DPL sehingga suhunya cukup dingin, dan sanggup membuatku yang notabene "anak pantai" ini menggigil gemetaran.


 Wisata kota pertamaku di Kediri adalah Gua Maria Lourdes Pohsarang yang merupakan salah satu tempat ziarah agama Katolik yang terletak di kompleks Gereja Pohsarang. Pohsarang sendiri adalah nama sebuah desa di kecamatan Semen, Kediri. Menurut artikel wikipedia, Gua Maria Lourdes yang kulihat kemarin merupakan replika Gua Maria Lourdes yang ada di Prancis dalam bentuk kecil. Foto ini adalah foto salah satu spot Gua Maria Lourdes yang merupakan altar tempat jemaat berdoa. Konon, gereja ini bukan hanya didatangi oleh umat Katolik untuk berdoa, tapi juga umat non-Katolik yang datang untuk bermeditasi atau memohon wangsit dari Tuhan. Wow.



"Aku iki kang jumeneng tangining badan lan urip" merupakan suatu kutipan ayat Alkitab yang di-translate ke bahasa Jawa Kromo Inggil dari Yohanes 11:25 ("Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.")


Sebelum menuju ke gua, kita akan disambut pemandangan berupa jejeran kios souvenir. Harganya adalah harga standar souvenir pada umumnya yaitu Rp5000,- untuk gantungan kunci, Rp20000 untuk kalung rosario, dan Rp40000 untuk lukisan dinding atau salib.


Patung Maria Lourdes yang ada disini juga tiruan dari patung Maria Lourdes, namun dibuat menyesuaikan tinggi gua sehingga tingginya mencapai 3,5 meter, alias lebih tinggi daripada patung aslinya yang hanya 1,75 meter.


Di lokasi gua, kita akan menemui jalan masuk dengan tulisan "Jalan Salib Bukit Golgota". Jalan Salib Bukit Golgota ini menyajikan 15 Stase yang merupakan fragmen perjalanan Yesus Kristus ketika akan disalib. Stase I berupa Yesus dijatuhi hukuman mati dan berakhir di Stase XV yaitu sebuah kuburan batu dengan penutup yang telah bergeser menandakan Yesus telah bangkit dari kematian. Patung-patung emas yang berada di kawasan ini sangat indah dan atraktif. Tradisi Jalan Salib sendiri biasanya dilakukan oleh umat Katolik pada masa Pra-Paskah.


Wisata alam selanjutnya, aku mengunjungi Goa Selomangleng. Goa Selomangleng adalah objek wisata populer di Kota Kediri yang berada di utara kota. Selo berarti batu dan Mangleng berarti Miring, Gua ini dinamakan demikian karena letaknya yang berada di lereng bukit. Sepintas memang tidak ada yang istimewa dari gua batu ini, namun gua ini menyimpan berbagai pahatan dan corak relief yang antik dan kuno. Di dalam gua, kita akan disambut dengan kegelapan dan aroma dupa yang cukup menyengat. Tempat ini memang sering digunakan oleh masyarakat tertentu untuk bertapa atau bermeditasi. Sejarah tentang Goa Selomangleng, tentang Dewi Kilisuci yang adalah putra mahkota Raja Erlangga, dapat dibaca disini.

Kawasan Goa Selomangleng
Tidak jauh dari Goa Selomangleng,  terdapat Museum Airlangga yang menyimpan berbagai arca batu dan barang-barang sejarah antik dari zaman kerajaan Mataram Hindu. Tiket masuk sebesar Rp5000 tergolong cukup murah menurutku. Jika saja museum ini lebih terawat, pasti akan lebih baik lagi. Pasalnya, barang-barang di museum ini berada di tempat terbuka dengan penjagaan tipis dari pihak pengelola museum, sehingga sangat berisiko pengunjung museum yang iseng akan menyentuh artefak atau bahkan merusaknya. Sebaiknya bagi pihak pengelola, barang-barang ini dimasukkan ke dalam kotak display agar mencegah pengunjung menyentuh artefak dan sekaligus menjaga artefak lebih awet dan bersih.



Tidak jauh dari museum juga terdapat Pura Penataran Agung Kilisuci. Saat itu aku tidak berani masuk lebih jauh ke pelataran pura karena ada tulisan peringatan tegas di depan pura yang hanya memberi izin masuk bagi umat yang hendak sembahyang. Sayang sekali.


Puas menjelajahi kawasan wisata Selomangleng (aku juga sempat bernarsis ria foto-foto dengan patung Dewi Kilisuci :D), aku kembali ke pusat kota Kediri. Dalam perjalanan, aku melihat sebuah gereja cantik nan megah yang berwarna merah; itulah Gereja Merah Kediri yang bernama asli GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Barat) Kediri, dalam Bahasa Belanda disebut Kerkeeraad Der Protestanche Te Kediri. Bangunan yang sangat indah dan megah, bukan?


Karena merasa lapar, aku diajak temanku makan siang sekaligus hang out di salah satu restoran yang cukup terkenal di Kediri yaitu Pandan Cafe Kediri. Lihat saja interiornya, sangat unik dan mewah bukan? Namun tenang saja, harganya masih normal dan pas untuk ukuran kantong mahasiswa kok :)



Sesuai rencana, kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke Air Terjun Irenggolo yang terletak di lereng Gunung Wilis. Bagi temanku, ini adalah kali pertamanya dia 'mendaki' Gunung Wilis dengan menggunakan sepeda motor. Hal yang cukup menantang bagi seorang pengemudi wanita yang biasanya hanya berkendara di daerah kota. Aku angkat jempol untuknya! :D
Memasuki kawasan wisata Besuki, yaitu air terjun Irenggolo dan air terjun Dholo, kita akan ditagih retribusi sebesar Rp1000,- per orang dan Rp5000,- per motor. Untuk mobil, kalau tidak salah ingat, retribusinya sebesar Rp10.000,-

Perjuangan mendaki Gunung Wilis (dan perjuanganku menantang dinginnya suhu saat itu, brrrrr....) terbayar ketika kami akhirnya menemui si cantik Air Terjun Irenggolo. Saat itu waktu menunjukkan pukul 16.00 dan kami adalah pengunjung satu-satunya, karena hari itu bukanlah hari libur ataupun weekend. Aku pun puas berfoto di lokasi air terjun. Sayang, saat itu kapasitas airnya tidak banyak sehingga air yang mengalir dari atas pun terlihat sedikit dan kurang riuh bergemuruh.



Hal unik lain yang kutemukan di kota Kediri adalah jembatan di bawah ini. Ini adalah sebuah sungai yang membatasi dua sisi kota. Menurut temanku, beberapa tahun lalu penduduk harus menggunakan jasa perahu untuk menyeberang. Perahu ini dapat menampung mobil dan motor juga. Ongkosnya sekitar Rp7000-15000 untuk sekali menyeberang bagi kendaraan bermotor. Namun ternyata di Tambangan ini (nama lokasinya) telah dibuat sebuah jembatan sederhana yang dibentuk dari tumpukan anyaman bambu, untuk melintasinya warga cukup membayar Rp2000,- Aku cukup beruntung karena saat itu bisa melihat proses penyeberangan mobil menggunakan perahu yang juga ada di dekat jembatan. Aku menyebut hal ini unik karena, tentu saja, aku belum pernah melihat bahkan mengalami hal ini sebelumnya...maklumlah, anak kota :p


Malam hari pun tiba, aku keluar untuk wisata malam hari bersama keluarga temanku. Aku diajak untuk melihat pabrik Gudang Garam yang besar dan ramai dihiasi lampu warna-warni. Ya, Kediri memang terkenal dengan industri pabrik rokoknya. Sayang, aku mendengar ada isu-isu yang menyatakan Gudang Garam tengah dihadang kebangkrutan.

Kami kemudian menuju pusat kota dan hang out di daerah Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) yang dibangun menyerupai L'arch De Triomphe, sebuah monumen Prancis yang cukup terkenal. Walaupun bukan malam minggu, monumen ini tetap saja ramai dikunjungi masyarakat yang ingin sekadar nongkrong di malam hari.


Tidak jauh dari monumen ini, ada pasar malam yang menyajikan berbagai jajanan khas daerah. Aku sempat bergidik jijik ketika ditawari mencoba Soto Kodok. Hahaha...ya, aku memang bukan pencinta kuliner ekstrim walaupun aku berasal dari Manado yang notabene "pemakan segala daging" :p Aku cukup puas mencoba 'tempura' yaitu berbagai jenis makanan (bakso, nugget, sosis, dll) yang di-sate (dan digoreng sendiri oleh pembelinya) sebagai cemilan malam itu.

 

Ah, benar-benar satu hari yang indah di Kediri! Aku tak sabar untuk secepatnya kembali lagi ke kota ini. Masih banyak yang belum aku jelajahi dan nikmati, salah satunya: AIR TERJUN DHOLO! Thank you for today, I'll see you next time, Kediri! :)

2 comments:

  1. mantab https://lh5.googleusercontent.com/-_NHYkuf5bZg/T2WEjOhTIxI/AAAAAAAACcg/76qRE27R_ig/s36/30.gif

    ReplyDelete