April 20, 2017

Sayonara Osaka - Japan Trip Part II

Hari kedua backpacking di Osaka, aku dan Mama akhirnya kembali merasakan hangat sinar mentari walaupun suhu masih di kisaran 13℃. Sayangnya, kami hanya sempat sowan ke satu destinasi saja karena harus meninggalkan Osaka dan melanjutkan perjalanan ke Tokyo. Eh... baru beberapa menit menginjak Tokyo, kami hampir saja terjebak memakan daging kuda! Penasaran yaa? Monggo scroll ke bawah untuk tahu cerita lengkapnya 😁

Baru saja mekar

Puas-puasin mesra sama Mama selagi masih single

Disclaimertrip ini penuh kekonyolan imbas dari kurangnya riset selama persiapan, padahal ini kali pertamaku menjadi "tour guide". Saran untuk Readers sekalian: jangan tiru mentah-mentah itinerary-nya, ambil aja beberapa intisari kayak pilihan destinasi (tentunya based on the pictures) dan transportasi menuju kesana. Lalu, nikmati aja trip review ini sebagai penghibur disaat capek atau suntuk melanda kalian. Hehehe.



DAY 4. 1 APRIL. OSAKA-TOKYO.
Setelah check-out dari Fuku Hostel Namba dan ber-dadah-dadah-ria dengan kedua Mbak asal Indonesia, aku dan Mama menggeret koper menuju destinasi pertama (dan satu-satunya) hari ini: Osaka Castle. Kami singgah dulu membeli perbekalan sebelum turun ke Namba St., sekotak tisu (kena pilek hasil hujan-hujanan) dan hand warmer. Nah yang terakhir ini adalah harta karun paling berharga yang kutemukan sepanjang Japan Trip. Bentuknya berupa kantong kecil seukuran telapak tangan, berisi berbagai bahan penghantar panas seperti iron atau charcoal yang akan menimbulkan panas setelah digosok-gosok. Umumnya hand warmer dapat bertahan hingga 24 jam. Selain jenis satu ini, ada juga warmer untuk ditempel ke pakaian (tidak boleh kontak dengan kulit), keduanya sama-sama ampuh. Seharian kemarin mencari warmer di Kyoto, entah kenapa malah justru berjodoh di Family Mart depan hostel.

Finally I found you

Perjalanan dari Namba ke Osaka Castle dekat saja, hanya butuh 15 menit dengan subway. Baru aku sadari kemudian bahwa kami seharusnya bisa naik JR Line (gratis dengan JR Pass) dan turun di Osakajokoen St. setelah transit di Tsuruhashi St. Apa daya aku terkecoh papan petunjuk di Namba St. yang mengabarkan bahwa Osaka Castle dapat ditempuh dengan jalan kaki dari Tanimachi-9-chome atau Morinomiya St., padahal mah dari Osakajokoen St. itu juga tidak jauh-jauh amat kok.

Kalau punya JR Pass, mending turun Osakajokoen St.

Pagi-pagi udah ramai aja nich

Tiba pukul 09.00 GMT+9, area Castle Park sudah ramai dikunjungi penduduk lokal maupun turis mancanegara. Kebanyakan datang bersama keluarga untuk rekreasi atau olahraga pagi. Kalau diniatin berjalan kaki mengelilingi area ini, sih, aku yakin bisa membakar kalori dari udon lezat santapan kemarin. Makanya readers yang berniat eksplor Osaka seharian, termasuk Osaka Castle, sebaiknya datang ke lokasi ini pertama kali saat pagi hari. Mengelilingi tamannya saja sudah memakan waktu dan tenaga, lumayan lah sekalian pemanasan otot untuk sisa destinasi di Osaka. Aku pun sebenarnya masih kecewa tidak sekalian menyambangi Universal Studio Japan ataupun Osaka Aquarium. Jangankan itu semua, Dotonbori yang cuma sepelemparan kerikil saja dari Namba tak sempat kudatangi.

Anak muda mah dateng sama pacar dong

Let's live together forever, shall we?

Dua-duanya lucuk!

Sepeda di bawah sakura

Sejak awal aku memang tidak berminat masuk ke dalam kastil, cukup sekitaran taman saja. Review dari berbagai blog dan artikel sudah menjelaskan bahwa bagian dalam kastil ini sudah mengalami touch up sana-sini jadi nggak kerasa lagi suasana tradisionalnya. Plus, masuk ke dalam tower yang sudah berubah fungsi menjadi museum juga dikenai ¥600, menurutku kurang worthy jika cuma punya beberapa menit eksplorasi. Yoweslah, yang penting intisari Japan Spring Trip tercapai: sakura!

Langsung gercep (gerak cepat.red) berburu sakura

Banyak kios bibit bunga di sekitar Castle Park

Mamaku kayak kumbang, nggak bisa jauh dari bebungaan

Bukan hanya turis, warga lokal pun menanti-nanti musim Sakura, seperti pasangan yang tengah pre-wedding shoot ini

Mama kini semakin jeli mengenali sakura makanya langsung mengarahkan langkah kaki ke salah satu sudut terluar taman, dekat dengan jalan raya. Karena ini "kebun/taman sakura" pertama setelah weeping cherry tree kemarin, Osaka Castle terasa sangat membahagiakan. Aku sejenak lupa bahwa masih ada perjalanan panjang 6 jam yang akan kami tempuh hari ini menuju Tokyo. Bodo amat ah, sekarang puas-puasin foto dulu. Si Emak yang sejak siap-siap tadi pagi pun sangat outfit-concerned, jadi enak dipandang oleh mata maupun untuk diabadikan lewat lensa. Matahari juga ramah banget pagi ini, seakan merasa bersalah karena kemarin membiarkan ujung jari tanganku hampir mati rasa, sinarnya kali ini begitu hangat setengah menyilaukan mata. Puji Tuhan.






Sekilas mirip Inggris ya. (Kayak pernah kesana aja, Lin...)


Osaka Castle (大坂城) yang terletak di tengah-tengah taman mahaluas ini disebut-sebut sebagai salah satu kastil terindah di Jepang. Saat masa penyusunan itinerary, aku sempat galau antara mengunjungi Osaka Castle atau Himeji Castle. Akhirnya memilih kastil ini pun sebenarnya karena keterbatasan waktu, bukan karena minat. Aku si Ratu Museum tidak berminat mengunjungi kastil?? Ah, pokoknya Mama bahagia dulu bisa ketemu sakura. Museumnya nanti aja di Jakarta, main ke Museum Tekstil Tanah Abang. Hahaha.


Aslinya si kastil masih jauh di belakang sana, keliatan nggak tuh gedungnya?

Kanal. Biasanya ada boat tour disini


Mirip si Emak nggak sih?
Ngeliat raut bahagia beliau ini... adiktif!

Jam 11 siang kami akhirnya bergerak dari area sungai depan Osaka Castle untuk kembali ke stasiun. Koper-koper diambil dari loker stasiun yang sudah kami bayar seharga ¥500/loker. Rp50ribu untuk sebuah loker mahal banget sebenarnya, bagiku sih. Tapi jika dibandingkan dengan rasa lega dan nyaman saat jalan-jalan mengitari halaman Castle Park yang tiga kali lipatnya Taman Menteng itu... worth it juga lah. Aku ikhlas, kok, ikhlas :')

Ada dimanapun di stasiun Jepang

Seperti yang kusebutkan di atas, Morinomiya dan Osakajokoen St. (JR Line) terletak berdekatan sehingga cukup ditempuh dengan jalan kaki. Masalahnya... tidak ada eskalator maupun elevator di dalam stasiun kuno ini! Oh gosh. Mama benar-benar setengah nge-gym di Jepang ini, aku terus diserang rasa bersalah setiap kali menghadapi problema naik-turun tangga begini.

Untungnya bisa jalan kaki menuju Osakajokoen St.

Namun justru karena 'salah' stasiun, kami dipertemukan dengan salah satu butik sederhana di ujung jalan yang berseberangan dengan Osaka Castle. Sepasang suami-istri pemilik butik malah baru mulai bersih-bersih membuka kios. Readers yang sudah pernah membaca pengalaman body shaming kami di Korsel, ngerti lah ya rasanya deg-degan saat aku dan Mama menginjakkan kaki dalam butik untuk melihat-lihat? Duh, perlakuan mereka bakal kayak pedagang di Seoul dulu nggak ya? Mereka bakal ngeliatin/ngejagain kami lekat-lekat nggak ya karena waswas jualannya akan kami 'rusak'? Trus kalau kami nggak beli, bakal dikasih muka jutek nggak ya? Semua pertanyaan itu berkecamuk di pikiranku.

Hanya butuh waktu sekian detik untuk mematahkan semua ketakutanku.
Ohayou gozaimasu!
Sapaan ala suara wanita Jepang dengan jenis Soprano yang menggunakan whistle register (ehm, becanda, ini bukan Jennifer Hudson keleus, Lin~) langsung terucap begitu dia menyadari kehadiran kami di depan butik. Senyuman lebar itu juga yang seketika menenangkan hatiku. "Lin, welcome to Japan!" selamat menikmati keramahan orang Asia yang sesungguhnya.

Satu setengah jam sahaja kami habiskan di butik sang pasutri baik hati nan ramah nan cekatan suka menolong. Hahaha. Sampai lupa kalau belum makan siang. Yang penting hati senang karena kini aku punya satu mantel lagi untuk bertahan hidup di tengah kejamnya suhu 13℃ Jepang. Harga pakaian di Jepang menurutku 11-12 lah dengan Korsel. Harga berkisar di Rp500 ribu dengan kualitas bahan yang nyaman dan tak murahan. Apalagi mereka punya pilihan size yang sangat melegakan bagi orang Asia Tenggara seperti kami berdua, menyenangkan banget deh. Kalau bukan karena harus mengejar shinkansen ke Tokyo, serta mengingat masih ada banyak toko suvenir di Tokyo yang menunggu untuk dibelanjai, aku dan Mama mungkin akan belanja lebih lama hehehe. Maklum lah ya, wanita 🙈

Mengantri untuk reserve seats shinkansen 

Rute shinkansen yang kami tempuh kali ini sama persis dengan rute saat datang: Shin-Osaka lalu Shinagawa. Kemudian dari Shinagawa lanjut kereta lokal menuju Asakusa St., tempat hotel kami berada.

Another tip bagi readers yang rindu mengajak orang tuanya jalan-jalan: jangan menganggap remeh jam sarapan/makan siang/makan malam. Jika memang waktu terbatas untuk singgah duduk di suatu restoran, belilah cemilan berkarbohidrat seperti roti atau onigiri. Jangan lupa juga membeli air minum botolan karena belum tentu orang tua kita bersedia untuk minum dari tap water, yang memang masih terkesan aneh untuk orang Indonesia: minum kok dari keran?

Aku belajar banyak dari Japan trip kali ini, salah satunya tentang jam untuk istirahat dan makan. Emang dasar backpacker yang keseringan jalan sama temen dan fleksibel dengan makanan (puji Tuhan aku dianugerahi lambung yang tahan banting, jadi tak pernah bermasalah walaupun hanya makan besar satu kali dalam satu hari), aku lupa memperhatikan waktu makan untuk kami berdua. Alhasil saat tiba di Tokyo, Mama sudah menahan lapar dan akhirnya mengajakku untuk singgah di restoran terdekat sebelum ke hotel. Ah, maafkan anakmu, Ma 😿

Desainnya cakep

Awalnya kami ingin makan di KFC yang berada persis di seberang Asakusa St., tapi area makan yang terletak di lantai 2 membuat keinginan itu diurungkan. Jadilah kami mondar-mandir di sepanjang deretan ruko untuk mencari restoran yang decent -- dalam artian: punya hidangan nasi. Setelah melihat-lihat brosur dan poster yang ditempel di sekitaran ruko, diputuskanlah untuk naik ke lantai 4 suatu ruko dan makan di restoran bernama Basashiya Masashi. Iklannya sih menampilkan gambar nasi dan daging ya.

Cek en ricek... mereka ternyata spesialis daging kuda! HUAHAHA. Aku ingin ngakak guling-guling, readers, mendengar informasi itu. Masa 'aktivis' pecinta hewan makan daging kuda??? Cukup sekali saja aku tertipu mencicipi daging kelinci, tidak akan ada kali kedua. "Are you sure you don't have any other meat?" kupasang tampang mengiba pada si waiter ganteng. Bro, please, bro... kami udah kelewatan 5 jam untuk makan siang! Dan cuma restoran ini yang menyediakan elevator untuk koper-koper kami yang beratnya puluhan kilo!

"We also serve halal food here, Miss." Akhirnya aku nggak bertepuk sebelah tangan. Tanpa berpikir panjang lagi, kami langsung mengikuti si waiter ke area bar, karena restoran memang sedang penuh dan ramai. Orang Jepang nggak beda jauh kok dengan kita yang suka ngobrol heboh selagi makan. Pilah-pilih-pilah-pilih... kami menyebutkan dua porsi makanan lalu duduk manis menunggu sajian tiba. Cara lain untuk menghibur Mama, selain taman penuh bunga, adalah free Wi-Fi. Hehehe. Lumayan kan mengalihkan rasa lapar.

Porsi mungil

Daging ayam yang disajikan terasa nikmat sekali, entah emang enak beneran atau karena lidah yang sudah kering kelaparan hahaha. Sayangnya, porsi makanan lumayan kecil. Pesanan lain yang katanya olahan tahu itu pun rasanya aneh kayak adonan tahu belum matang. Well, tetap puji Tuhan sih karena perut lumayan terisi. Eh, tapi... omak! Porsi segitu doang, tapi harganya Rp300 ribu! Ingin rasanya menyanyi lagu Rossa, "Ku menangiiiiiis~ membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku~!"

Kenapa memilih hotel di daerah Asakusa? Karena wilayah ini terkenal dengan Asakusa Shrine dan jejeran pedagang suvenirnya. Dari sini juga bisa jalan kaki menuju Sumida River dan Tokyo Skytree yang punya deretan pohon sakura menakjubkan. Asakusa juga strategis untuk menuju Shinjuku, Shibuya, ataupun Harajuku, lokasi wisata andalan Tokyo lainnya. Pas deh.

Beneran "hotel" Lin? Yakin nggak ada "s"-nya (hostel)? Iya, kawan, for the first time in forever... aku memilih menyewa hotel dalam traveling ke luar negeri. Berhubung kami sudah 'menderita' di hostel saat di Osaka, aku rasa ini saatnya memanjakan diri dengan kamar pribadi. Toh kami mesti packing usai shopping oleh-oleh sebelum balik ke tanah air; rasanya kok susah kalau harus bongkar koper di kamar hostel yang sempit.

Trus kenapa nggak nyewa apartemen Airbnb, Lin? Nah ini jawabannya panjang. Firstly, harga Airbnb bedanya hanya tipis dengan kamar kami di Via Inn Asakusa. Sekitar Rp1,3-2 juta/malam. Nggak percaya? Coba cek harga sewa Airbnb di Tokyo untuk akhir Maret-akhir April alias saat musim sakura yang ramai turis, lalu checkout pesanan agar ketahuan seluruh biaya bersihnya (tambahan tax dan cleaning fee). Harganya pasti setinggi cita-cita. Kedua, karena alasan keamanan Jepang yang belakangan sedang ketat-ketatnya, banyak turis yang menggunakan bukti booking Airbnb ditolak visanya ataupun jadi target random check di imigrasi Jepang. Daripada dag-dig-dug khawatir kena random check, mending play safe saja. Sebenarnya menggunakan Airbnb di Jepang hanya murah jika kamu datang dengan rombongan minimal 3-4 orang, agar share cost-nya lebih terasa. Atau jika kamu punya gaji dua digit, jadi nggak keberatan membayar sewa Rp2 juta/malam. *wink*

Anyway... bagus kan view kamar kami di Via Inn Asakusa? Hehehe.

The mighty Tokyo Skytree

Terima kasih sudah mampir ya, readers. Malam ini kami mau istirahat dulu. Khususnya aku yang kembali sukses diserang suhu 10℃ -- drop setelah matahari terbenam -- plus kurang istirahat (plus tidak makan makanan 4 sehat 5 sempurna). Syukur Puji Tuhan, ada Mama di sisi yang langsung mengurusi anaknya yang lunglai ini. Bikin teh panas, siapin vitamin, ditemenin ngobrol sampai akhirnya mau bergerak untuk mandi air hangat hehehe. Nasib anak rantau, sudah lupa rasanya dikeloni orang tua saat lagi sakit 👸 Hayooo~ pasti pada ngiler kan pengen traveling sama Mama-Papa juga?

Nantikan Japan trip review hari terakhir di Tokyo yah. Sampai jumpa!

0 testimonial:

Post a Comment