October 17, 2016

Peu Haba? Haba Get! - Aceh Trip (Pt. 1)

Sebenarnya trip tercetus karena kerinduan Putri Marina Debora pada adik lelakinya yang, akibat tuntutan ikatan dinas instansi, berada jauh di ujung Indonesia sana. Dengan perencanaan matang selama beberapa bulan, berangkatlah kami bersama Agung Hari Nugroho, Mbak Ari Sulistyowati dan Kak Hedithya Novel menuju Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Abang Josua Herry Tamba beserta Bang Alfian dan Edwin, kawan-kawan senasibnya di perantauan, berbaik hati menjadi tour guide dalam menjelajahi keindahan provinsi paling barat ini.

Salah satu objek di Museum Prov. Aceh

Anyway... Jika hari ulang tahun 2014 kulewatkan di Semarang dan tahun 2015 di Belitung, kali ini Banda Aceh-lah yang menjadi tuan rumahku merayakan pergantian usia menjadi 23 tahun. Yeay! Happy birthday, myself!

Nah, untuk memudahkan readers memahami keindahan Provinsi DI Aceh, posting kali ini akan memuat tentang wisata di Banda Aceh saja. Post selanjutnya barulah membahas tentang Sabang dan sekitaran Pulau Weh yang memukau itu.

Sabtu, 8 Oktober 2016
Pu/Peu Haba? Haba Get! (Apa kabar? Kabar baik!)
Banda Aceh panas menyengat! Meskipun kalender sudah menunjukkan bulan Oktober, tapi hawa sama sekali tidak mendingin. Yeah, the sad fact of climate change. Hawa boleh aja panas membara, tapi langit ternyata tetap menunjukkan wajah kelabunya. Momok hujan menghantui trip kami apalagi mengingat betapa sering dan derasnya hujan membasahi ibukota.

Cuaca yang tidak bersahabat juga menambah hawa pengap dalam mobil. Aku yang kebagian duduk di bagian belakang mobil akhirnya terkena serangan mual. Hahaha. Bukannya aku mudah mabuk perjalanan, readers, tapi... yah gitu deh. Tahu kan gimana rasanya pas keringat udah membanjir tapi jalanan masih berkelok-kelok dan sesekali ngerem karena kelakuan sopir lain yang bikin ngelus dada?

Perhentian pertama: sarapan. Aku lupa nama restorannya, tapi yang jelas nasi uduk dan lontong Medan-nya juara! Well, aku sih cuma makan nasi uduk, tapi kesaksian kawan-kawan yang lain sih lontong Medan-nya nendang. Pagi itu kami makan empet-empetan dengan sepasang Kakak dan Abang (?) yang makin menambah keceriaan suasana. Pertanda perjalanan bakal menyenangkan nih ;)

Masih dengan koper-koper di bagasi, kami langsung menuju berbagai tourism spots. Museum Tsunami siap menaungi kami dari teriknya sang surya yang saat itu berada tepat di atas kepala. Wih~ dari kejauhan saja sudah terlihat betapa megahnya bangunan rancangan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil ini. Lebih tak percaya lagi ketika Bang Alfian memberitahu bahwa gedung dirancang untuk dapat mengapung jika diserang tsunami, WOW!




Di museum ini, kami hanya mengeluarkan 5K untuk parkir karena tidak ada karcis masuk alias gratis. Hmm kok bisa ya... padahal museum keren ini butuh biaya perawatan yang pastinya tidak sedikit. Ada dua jalur masuk museum, salah satunya suatu lorong panjang gelap setinggi 40 meter yang didesain agar pengunjung dapat merasakan suasana saat tsunami. Jalur ini tidak disarankan untuk yang phobia gelap dan tsunami. Jangan berlama-lama melewati lorong, takutnya keluar-keluar sudah basah kuyup :p

Ruang menakjubkan selanjutnya adalah The Light of God. Pada awalnya mata kami benar-benar terpaku pada ratusan nama yang terpaku pada seluruh dinding ruangan berbentuk silinder, hingga akhirnya ketika mendongak... tampaklah asma Allah yang sangat megah di atas sana.





Dari ruangan ini kami lanjut menuju Bridge of Hope yang langsung mencuri perhatian dengan puluhan bendera tergantung di ketinggian, bertuliskan "Damai" dalam bahasa asli 52 negara tersebut.

Museum juga menyajikan berbagai foto dan artefak menarik yang menjadi saksi bisu kedashyatan terjangan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 lalu itu. Sebut saja belasan Al-Quran, jam mati, dan sepeda motor. Selain itu ada juga miniatur Masjid Baiturrahman Banda Aceh, serta Masjid Rahmatullah, satu-satunya bangunan yang bertahan di Lampuuk setelah diterpa tsunami.



Provinsi Aceh pra-Tsunami

Provinsi Aceh pasca-Tsunami



Museum Tsunami rasa-rasanya merupakan museum dengan arsitektur paling memukau yang pernah kutemui di Indonesia. Apalagi museum ini free entry, duhhh... Psstt, katanya anak muda disini, sinar bulan purnama dari museum terlihat sangat indah lho. Tertarik? :3




Sinar mentari masih menyengat dan hasrat wisata masih membara. Setelah mengantar Mbak Ari dan Agung untuk shalat dzuhur sekaligus ashar di Masjid Raya Baiturrahman (wajib memakai kerudung dan rok panjang jika ingin berkunjung), kami lalu menyambangi Museum Provinsi Aceh. Museum ini pada dasarnya terbagi atas Rumah Aceh dan Gedung Pameran Tetap. 


Bagian dalam Rumah Aceh



Selepas dari museum, kami memutuskan untuk mencari "ayam tangkap" sebagai sajian makan siang kali ini. Tampilannya mirip ayam goreng pada umumnya, namun disajikan dengan taburan dedaunan dan bawang goreng, menambah meriahnya penampilan si ayam tangkap. Para tour guide membawa kami ke Warung Nasi Kambing Lem Bakrie, sebuah restoran dengan penyajian ala resto Minang dimana you pay what you eat. Kari Kambing yang dihidangkan sejak awal wajib banget dicicip ya, readers, namanya aja "Warung Nasi Kambing" kan hehehe. Jangan lupa segelas Air Timun segar untuk menetralkan berbagai bumbu lauk yang masuk. Hanya dalam satu jam makanan pun ludes habis dan menyisakan tagihan 360K untuk 8 porsi.


Matahari mulai menggelincir ke arah Barat, inilah saat yang dinanti-nanti untuk... sunset hunting! YEAY. Pantai Lampuuk menjadi destinasi terakhir di hari Sabtu yang indah ini. Puji Tuhan kami tidak berjodoh dengan hujan hari ini. Tiket masuk ke kawasan pantai dikenakan 3K/orang, lumayan lah untuk pantai yang sebersih ini. Kami langsung menge-cup salah satu saung terdekat dengan pantai, tempat menunggu datangnya sunset. Karena weekend pantai cukup ramai didatangi pengunjung, ada yang bersama keluarga ada juga yang bersama kawan se-geng-nya, entah berenang, surfing, atau sekedar duduk-duduk manja ditemani sebatok kelapa muda atau semangkuk indomie hangat. Seandainya yah ada yang menjual pisang goreng di pantai...









Selasa, 11 Oktober 2016
Kami menjejakkan kaki kembali di Pelabuhan Ulee Lheue sekitar pukul 09.30 WITA. Kali ini kami dijemput oleh Bang Jack, supir yang akan menemani selama sisa waktu di Banda Aceh. Orangnya baik dan kalem tanpa banyak inisiatif mengobrol, tipe driver favoritku.

Dengan niat suci tulus menunaikan setuntas-tuntasnya semua tempat wisata di Banda Aceh, rombongan kecil kami langsung menyambangi Situs Kapal Tsunami di Gampong Lampulo. 59 orang berhasil selamat dari musibah tsunami 'diselamatkan' oleh kapal penangkap ikan seberat 20 ton ini yang akhirnya nyangkut di rumah penduduk. Kapal berukuran panjang 25 meter dan lebar 5,5 meter memang aslinya digunakan untuk menangkap ikan dan bertambat di dermaga yang letaknya sekitar 1 KM dari rumah warga disini. Dibandingkan foto yang aku temukan dalam berbagai blog, kondisi Kapal Tsunami saat kami kunjungi sudah mendapat perbaikan dan telah divernis untuk mencegah pelapukan kayu. Pemerintah Aceh benar-benar serius dalam menggenjot potensi pariwisata mereka.

Selain dari bagian depan/bawah, pengunjung bisa menaiki tangga mendatar setinggi lima meter agar bisa melihat kapal dari jarak yang lebih dekat.

Aku menghabiskan 226K untuk membeli souvenir dan buah tangan untuk orang-orang terkasih di toko Pusaka Souvenir. Toko ini menawarkan banyak kuliner dan handcraft khas Aceh dengan harga terjangkau dan pastinya wajib banget dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Aku meraup serenceng kopi sachet "Sanger" yang nikmat dan selalu jadi sajian utama warung-warung kopi di sini. Tak lupa aku membelikan si Emak sebuah tas tangan cantik dengan motif khas Aceh yang hanya dibanderol 120K rupiah! Murah banget, kalo bukan karena ingat ribetnya bawaan di pesawat, pasti aku sudah memborong tas-tas lucu itu.

Source Instagram @cputrims

Menjelang shalat dzuhur, kami mengarahkan kaki ke lokasi situs PLTD Apung di Gampong Punge, Blangcut. Kami lupa bahwa kebijakan tempat wisata adalah tutup sementara selama 1 jam saat waktu shalat. Jadilah kami mengantar Mbak Ari, Agung, dan Pak Sopir untuk shalat dulu di masjid terdekat, lalu menunggu hingga jam 2 siang sampai gerbang tempat wisata dibuka. Sama seperti situs Kapal Tsunami, masuk ke PLTD Apung juga tidak dikenai biaya alias free entry.

Need more paintings, maybe?
PLTD Apung hakekatnya adalah kapal pembangkit listrik bertenaga diesel milik PLN yang menjadi sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue. Bayangkan, readers, kapal seberat 2.600 ton dan panjang 63 meter ini bisa terdampar hingga 4-5 KM ke pemukiman warga, bukan main betapa kuatnya tsunami di tahun 2004 itu. Mesin-mesin pembangkit listrik di dalam kapal telah diangkat dan dipindahkan karena tidak mengalami kerusakan parah pasca tsunami. Interior PLTD Apung terlihat apik dan memberi banyak informasi menarik terkait bencana tsunami maupun sejarah PLTD Apung mengelilingi Indonesia.

Bagian dalam PLTD Apung
Beberapa kesalahan kutemukan saat ingin menulis review di TripAdvisor. Beberapa orang men-submit foto monumen berwarna perunggu pada artikel tentang Kapal Tsunami Lampulo, padahal monumen jam bundar tersebut letaknya di depan pintu masuk PLTD Apung. Jangan sampai tertukar antara dua situs kapal ini ya readers.

Monumen depan PLTD Apung

Di saat matahari masih setia nangkring di atas kepala dan perut belum begitu lapar... nge-rujak adalah pilihan yang paling pas. Rujak khas Aceh rasanya unik dan berbeda, terutama karena penyajiannya dan saus kacangnya yang stand out. Siang itu, Bang Jack mengantar kami ke Rujak Garuda, restoran (?) rujak yang langganan diliput oleh acara-acara kuliner. Selain menyediakan rujak biasa, ada juga es buah untuk mengademkan tubuh di siang bolong yang panas. Yum!

Rujak Garuda selalu ramai pengunjung | Source Instagram @rikiyaditia.ra

Setelah makan siang di (lagi-lagi!) Lem Bakrie, kami memutuskan untuk menikmati sunset Aceh terakhir kami di Pantai Lampuuk. Awalnya aku sempat mempertimbangkan untuk pesiar ke Puncak Geureutee (baca: Grute) karena pernah terpincut oleh post Instagram Nicholas Saputra. Tapi kok ya pas surfing di Google, hasil foto-foto disana biasa saja... Mas Niko (sok akrab bet!) pun nampaknya sudah menghapus post tersebut. Selain itu, waktu juga kurang memungkinkan bagi kami karena butuh waktu 2 jam untuk one way dari Banda Aceh. Terlalu jauh.

Senja terakhir di Aceh

Satu cerita menarik tentang Lampuuk, nih, readers. Setelah sebelumnya kami belajar dari Museum Tsunami bahwa Lampuuk 'diratakan' habis oleh musibah tsunami dan hanya menyisakan satu bangunan saja, kami akhirnya mendapat kesempatan untuk melihat langsung Masjid Rahmatullah yang jadi saksi bisu peristiwa mencekam itu. Masjid berdiri agung di antara sekian banyak reruntuhan rumah yang tidak dibangun kembali.

"Coba lihat deh ada lambang bendera Turki di depan setiap bangunan!" cetus seseorang di dalam mobil.

Masjid Rahmatullah pun tak luput dari simbol Turki

Benar saja, readers. Rumah-rumah mungil yang baru berdiri memiliki lambang bendera Turki di dinding luarnya. Wow. Menurutku sih hal itu inisiatif dari pemerintah setempat sebagai ucapan terima kasih kepada Turki yang menjadi donor utama dalam pembangunan di Lampuuk. Memandangi simbol itu sempat membuatku terharu; faith in humanity restored, kalau istilah gaulnya :) ...dan tentunya rasa rindu juga melanda seketika, pada indahnya negara perbatasan Asia-Eropa itu, pada keramahan warganya, pada ketampanan... ehm. Oke, skip. Hahaha.


Selagi menunggu Mbak Ari dan Agung menunaikan sholat maghrib, kami mendengarkan cerita Bang Jack tentang kehidupannya. Beliau tidak merasakan langsung terjangan tsunami karena di waktu naas itu sedang berada di luar kota. Namun tentunya dampak musibah terasa betul oleh Bang Jack dan keluarga kecilnya. Meski berduka, dia mengaku juga merasakan berkah di balik tsunami: konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mereda. Orang-orang yang sebelumnya terpecah kongsi antara pro-GAM dan pro-NKRI saat itu saling bahu membahu menyelamatkan saudara, teman, para korban. Kekeluargaan benar-benar dijaga dan dipupuk. Selalu ada berkah di balik musibah.


2 comments: