May 07, 2014

Kisah Laskar Pejalan di Negeri Timah (Pt. 1)

Pulau Belitung! Warga Indonesia mana yang belum pernah mendengar nama ini? Bahkan nama Belitung telah termashyur ke seluruh penjuru dunia berkat novel legendaris Andrea Hirata yang telah diterjemahkan ke belasan bahasa dan membuat keindahan Pulau Belitung tersiar ke mancanegara. Rencana perjalanan ini dibuat ketika Bang Adi menemukan tiket promo maskapai Garuda Indonesia di bulan Oktober 2013 untuk periode penerbangan Mei 2014. Lama ya? Hehe... toh tidak menghalangi kami untuk segera memesan tiket PP Jakarta-Tanjung Pandan seharga Rp740.000,- itu. Setelah penantian berbulan-bulan, datanglah hari bersejarah bagi kami, Laskar Pejalan, untuk ‘menjajah’ bumi Belitung selama 4 hari: 1-4 Mei 2014! :)



Begitu pesawat mendekati pulau seluas 480.010 ha ini, kita bisa segera melihat tanahnya yang mayoritas berwarna coklat dan putih pasir akibat pertambangan di seluruh permukaan pulau. Bangka Belitung memang menjadi sasaran para pengeruk hasil bumi sejak abad ke-17. Tapi justru hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan ketika mengunjungi pulau penghasil timah ini.





Hari Kamis, 1 Mei 2014, aku, Aldo Siahaan, Bang Supriadi, Bang Agus Tubels Nainggolan, Bang Freddy Sipayung, dan Kak Susan memulai perjalanan kami ke kota Tanjung Pandan, dengan berpesawat selama 40 menit dari Jakarta. Oh ya, dua nama yang disebutkan terakhir adalah kenalan baruku di trip kali ini; keduanya adalah rekan kantor Bang Adi. Sedangkan Bang Agus Tubels a.k.a Bang Abel adalah senior STAN 2008 yang kini sudah penempatan di BPKP Prov. Lampung.
Dari Bandar Udara H.A.S. Hanandjoedin Tanjung Pandan, kami menuju ke Kab. Belitung Timur sebagai awal penjelajahan dan menelusuri jejak Laskar Pelangi. Merupakan bagian dari Provinsi Bangka Belitung, Pulau Belitung terbagi atas Kabupaten Belitung Timur (ibukota: Manggar) dan Kabupaten Belitung (ibukota: Tanjung Pandan). 





First stop: Vihara Buddhayana yang sering disebut sebagai Vihara Dewi Kwann Im. Vihara ini adalah salah satu vihara tertua yang berdiri di Belitong, di mana menjadi tempat ibadah bagi para pekerja tambang beretnis Tionghoa yang tinggal di sekitar Kecamatan Manggar. Dari sini kami bergerak ke second stop, Pantai Burung Mandi.




SELAMAT DATANG DI DESA BURUNG MANDI.
Sejak abad ke-17 Burung Mandi telah dikenal oleh bangsa lain. Bahkan perusahaan Eropa atau orang Belanda telah melakukan penambangan timah secara diam-diam tepatnya tahun 1770-1780 dan jauh sebelum orang-orang Belanda menyatakan menemukan timah di Pulau Belitung, yaitu pada 28 Juni 1851. Orang Belanda mengenal “Burung Mandi” dengan nama “Burum Mandi” atau “Borom Mandi”. Semasa Belanda bercokol di Pulau Belitung, Burung Mandi termasuk daerah penghasil timah dalam jumlah besar. Orang-orang Cina banyak didatangkan sebagai pekerja timah, bukti keberadaan mereka di masa lalu dapat dilihat dengan adanya Vihara Budhayana sebagai tempat ibadah mereka. Bekas peninggalan Belanda dari masa lalu salah satunya adalah dam atau bendungan. Desa Burung Mandi memiliki letak yang strategis, banyak kapal niaga dunia baik Eropa maupun Cina yang mendarat di sana. Bahkan Pangeran Hendrik pun pernah menginjakkan kaki di pulau yang berseberangan dengan Pantai Burung Mandi, yaitu Pulau Tang, yang kemudian dinamakannya “Pulau Hendrik”. Di samping itu banyaknya karang mengakibatkan banyak kapal yang karam dan kini menjadi peninggalan arkeologis bawah air berupa barang dan muatan kapal tenggelam.




Dam atau bendungan yang dimaksud dalam narasi di atas adalah “Bendungan Pice” yang juga terletak Kab. Belitung Timur, namun tidak sempat kami datangi karena singkatnya waktu.  Pantai Burung Mandi adalah pantai pertama yang kami singgahi dan langsung berhasil membuat kami terpesona, padahal pantainya tidak begitu bersih karena penuh ranting dan dedaunan yang berserakkan sehingga merusak indahnya pemandangan pasir putih. Namun kehadiran perahu-perahu nelayan yang ada di sepanjang pantai serta birunya air laut yang jernih tetap saja memukau kami yang sudah terbiasa dengan pemandangan gedung-gedung ibukota. Di tepi pantai ada beberapa perahu nelayan yang baru kembali dari berlayar dan membawa berbagai jenis ikan untuk segera dijual di pasar ikan yang letaknya hanya 10 meter dari pantai ini. Kami bahkan ‘bertemu’ anak ikan hiu yang berhasil tertangkap jaring nelayan! Wow, pengalaman menyenangkan!




Pemandangan danau yang kami nikmati selama makan siang di Kec. Manggar. Wow!
Sukses menghabiskan segelas Es Coklat menikmati "SOP Masak 1 Jam"-nya Belitong :'(

Setelah makan siang (yang membuat kami mencap Belitung sebagai “Pulau SOP Memasak 1 Jam” akibat lamanya pihak rumah makan menyiapkan hidangan) full of seafoods di Manggar, kami pun menuju third stop, Museum Kata Andrea Hirata di Kec. Gantung. Ya, berkat Andrea Hirata-lah nama Belitung menggema ke seluruh dunia. Di museum berbentuk rumah sederhana ini kita disajikan berbagai benda pameran yang merupakan tulisan dari Sang Jenius, Andrea Hirata. Ada Ruang Lintang dan Ruang Ayah lengkap dengan quotes terbaik yang dikutip dari buku Laskar Pelangi dan foto-foto dari film layar lebarnya. Ada berbagai penghargaan yang berhasil diraih Andrea dan series Laskar Pelangi-nya, serta series novel Laskar Pelangi dalam berbagai bahasa. Museum diatur dengan begitu apik sehingga membuat para pengunjung betah untuk foto-foto di dalam, atau di luar bangunan di mana terdapat Sekolah Menulis (yang saat itu tutup karena renovasi) dan halaman kecil yang digambari pohon cantik. Wajib dikunjungi!








Tidak jauh dari Museum Kata, berdirilah sebuah bangunan kayu yang terkesan reyot dan tua namun sekaligus agung karena tegak sendiri di tengah lahan luas ‘berpondasi’ pasir putih: SD Muhammadiyah Gantong (Gantung)Fourth stop ini adalah benar-benar sekolah yang digunakan oleh anak-anak Kecamatan Gantung untuk bersekolah di zaman dahulu (saat ini sudah didirikan SD Muhammadiyah dengan bangunan beton) alias bukan replika. Oleh penduduk setempat disebut “Sekolah Miring”. Inilah daya tarik utama bagi penikmat cerita Laskar Pelangi untuk mengunjungi Belitung. Untung saja sore itu kami sendirian di Sekolah Miring sehingga bisa sepuasnya mengambil foto. Aku tak henti-hentinya mengagumi betapa lahan sekolah ditutupi oleh pasir secara alamiah, bukan ditimbun pasir sebagaimana awal perkiraanku.







Dengan terbenamnya matahari yang kami saksikan dari Sekolah Miring, berakhir jugalah petualangan kami hari pertama di tanah Belitung. Saatnya menuju Hotel Martani di Tanjung Pandan untuk beristirahat!

to be continued...

0 testimonial:

Post a Comment