July 20, 2013

Escape To Makassar (1)

Melancong ke Sulawesi Selatan berlanjut lagi! Masih dalam rangka refreshing sejenak dari PKL, serta mendapat tiket promo dari AirAsia, aku 'kabur' ke Makassar tanggal 19-20 Juli 2013 yang lalu. ;)
Setelah PKL usai, aku segera berangkat ke Gambir untuk naik Damri ke Bandara bersama Bang Adi dan Bang Tommy. Seorang anggota trip yang lain adalah 'orang baru', yaitu Kak Yolanda Angelina Togatorop (STAN 2009 yang tengah menunggu penempatan). Kak Yola juga tengah dalam perjalanan menuju Bandara. Pukul 19.30 WIB Damri pun 'lepas landas'.

Penerbangan kami ke Makassar dengan AirAsia lepas landas pada pukul 21.00 WIB.


Sebelum turun, wajib banget foto-foto sama kru pesawat :D
Sama seperti trip Jelajah Toraja dua minggu lalu, kami tiba di Makassar pada tengah malam. Kali ini tidak ada yang menjemput di Bandara Sultan Hasanuddin, kami pun menyewa mobil untuk mengantar ke kos David di kompleks Biringkanaya. David adalah adik Bang Adi yang sebaya denganku, saat ini tengah menjalani pendidikan di sekolah pelayaran. Setibanya di tempat kos, tanpa berlama-lama kami langsung masuk kamar dan beristirahat agar pagi hari nanti fit untuk bertualang!

Perjalanan pun dimulai! Dengan menggunakan mobil sewaan dari tour agency setempat, kami berangkat ke Bantimurung. Jam 07.56 WITA kami singgah terlebih dahulu di Toko Roti Maros Setia Kawan 1. Roti Maros ialah salah atau makanan khas yang terbuat dari tepung sama halnya dengan roti pada umumnya cuma yang membedakan ialah ada resep khusus yang digunakan secara turun temurun, yang membuat roti maros rasanya berbeda dengan roti pada umumnya. Salah satu yang membuat rasa roti maros berbeda dengan roti lainnya ialah isian pada roti maros ini adalah dibuat secara khusus, roti maros bercita rasa khas dan berbentuk potongan-potongan kecil yang yang didalamnya terbuat dari selai srikaya, kuning telur, santan dan gula, rasanya manis, gurih, dan enak.


Waktu trip Jelajah Toraja kemarin, Bang Adi sering menyebut-nyebut Roti Maros sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jakarta. Sayangnya tidak kesampaian karena kami baru tiba di Makassar malam hari disaat toko sudah tutup. Sayang sekali Aldo dan Bang Jona tidak mencicipi lezatnya Roti Maros ini.

Sambil menikmati Roti Maros di dalam mobil, perjalanan pun dilanjutkan ke Kabupaten Maros. Jam 7.53 tiba di Taman Nasional Bantimurung. Memasuki kawasan ini kita disambut oleh patung raksasa berbentuk monyet. (Bang Adi sempat nge-joke: "Di pintu masuk nanti kita ketemu patung yang mirip banget sama Tommy!" HUAHAHA PARAH!)

Kenapa ada patung kera? Hal ini erat kaitannya dengan cerita rakyat setempat yaitu legenda Toakala tentang raja kera putih yang dulu memerintah di area hutan Taman Wisata Alam Bantimurung. Ceritanya tentang seorang Raja bangsa kera di Kerajaan Toakala yang jatuh cinta pada Putri Bissudaeng dari Kerajaan Cendrana yang cantik jelita. Ah, another love story is in the air, readers... :') *LALU MELLOW*


 

Langsung pengen nyebur bas baca bagian ***** :3
Tujuan pertama kami adalah Air Terjun Bantimurung yang terkenal itu. Memasuki pintu utama, kami menemukan sebuah kolam di sebelah kiri jalan. Kolam ini adalah kolam Jamala, dimana airnya mengalir keluar sepanjang tahun dari dalam gua yang merupakan sungai bawah tanah. Menurut cerita masyarakat Kolam Jamala merupakan tempat mandi para Bidadari, sehingga kolam ini disebut juga "Telaga Bidadari".


Air Jamala juga dipercaya memiliki khasiat obat yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, enteng jodoh, dan dapat menghindarkan seseorang dari guna-guna atau ilmu sihir.

Sama seperti taman nasional lain, TNBB dikelilingi banyak pohon. Udara sejuk pun menyelimuti seluruh areal kawasan ini. Air terjun Bantimurung tak terlalu jauh dari gerbang masuk taman nasional. Jalan saja sedikit ke dalam, suara gemericik air pun sudah terdengar. Semakin dekat, suara yang terdengar semakin kencang. Aliran airnya terlihat sangat deras menimbulkan kesejukan ke sekitar. Kami beruntung karena saat itu aliran air terjun sedang deras-derasnya dan semakin cantik dipandang mata.

Penampakan air terjun Bantimurung: luar biasa keren!
Karena alirannya juga lumayan deras, kami jadi takut untuk mendekatinya karena batu-batunya yang licin sehingga kami harus berpegangan tangan ketika melintas.

David, yang entah sudah keberapa kalinya main ke Bantimurung, bersenang-senang sendiri rafting di air terjun
Anak-anak yang tinggal di sekitar kawasan TNBB bisa mandi dan main-main di air terjun kapanpun mereka mau :')



Anggota trip ETM lengkap berpose di jembatan dekat air terjun
Keluar dari air terjun, kami masuk ke Butterfly Museum alias Museum Kupu-kupu yang tidak jauh lokasinya dari Kolam Jamala. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pada hakekatnya merupakan habitat berbagai macam flora dan fauna dan yang paling menonjol adalah kupu-kupu, setidaknya ada 20 Jenis kupu-kupu yang dilindungi oleh pemerintah dan berbagai jenis lain atau sekitar 250 Jenis Kupu-kupu yang mendiami tempat ini.



Museum ini menyimpan sekitar 500 ekor kupu-kupu, dimana sekitar 260 jenisnya ditemukan di Sulawesi Selatan. Di antara jenis tersebut, Idea menjadi spesies kupu-kupu yang memiliki struktur sayap yang berbeda. Sayap jenis kupu-kupu ini elastis seperti plastik, hingga jika dilipat maka tidak akan hancur. Untuk memasuki museum kupu-kupu maka seseorang akan dikenakan biaya sebesar Rp. 5.000 per orang. Kasian ya kupu-kupunya :(


Tak perlu lama-lama bersedih mengingat betapa tragisnya makhluk-makhluk indah yang dibunuh untuk diawetkan ini, karena di luar museum ada tempat penangkaran kupu-kupu yang juga dibangun pada tahun 1993.


Pengunjung juga bisa masuk ke dalam dan 'memberi makan' kupu-kupu! Caranya? Kita diberikan bunga kembang sepatu dan nantinya kupu-kupu akan terbang sendiri menghampiri untuk mengisap sari dari bunga yang kita pegang. Perdana nih! :)


Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini memiliki kurang lebih 80 gua alam dan gua prasejarah yang tersebar di kawasan ini, salah satu gua yang paling diminati oleh para wisatawan untuk dikunjungi adalah Gua batu dan gua Mimpi, cukup unik bukan untuk dikunjungi? Objek menarik selain gua dan kupu-kupu serta air terjun yang ada di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini adalah Gugusan pegunungan Karts nya, yang merupakan gugusan pegunungan alami yang sangat indah, salah satu lokasi yang mempunyai gugusan indah pegunungan karts dapat anda baca pada artikel Gugusan pegunungan Karts Rammang-Rammang.

Tidak begitu jauh dari lokasi wisata Bantimurung ada kawasan wisata Leang-leang. Sebelum masuk ke mulut gua, wisatawan akan disuguhkan pemandangan hijau nan asri dan pemandangan bukit-bukit batu karst (kapur) menghampar indah, dengan polesan biru cerah di langit luas. Leang sendiri berarti gua (liang). Sesampainya di Taman Prasejarah Leang-Leang, kita akan dibuat terkesima dengan banyaknya batu-batu besar yang terbentang. Bahkan bisa dibilang, ini seperti Stonehege yang ada di Inggris.
Pukul 11.21 WITA kami tiba di Leang Petta Kere. Leang Petta Kere ditemukan pada tahun 1956 oleh arkeolog Belanda bernama Van Heikeren, dan diresmikan Daud Yussuf (Menteri Pendidikan) pada tahun 1980. Leang ini memiliki 64 anak tangga, dan dilarang naik jika tidak ada penjaga, karena letaknya cukup curam. Kali ini kami beruntung ditemani seorang penjaga yang sangat ramah dan baik dalam memberikan penjelasan.
Menaiki 64 anak tangga, HOSH!
Di dalam goa/liang ini terdapat lukisan purbakala berbentuk babi dengan warna merah. Selain itu ada juga bentuk telapak tangan yang membekas di dinding goa. Diperkirakan lukisan maupun jejak tangan ini berasal dari ribuan tahun yang lalu. Menurut beberapa arkeolog, gua-gua di Leang-leang telah didiami sejak 8000-3000 tahun SM.

Di dalam Leang Petta Kere
Sinopsis "Leang Petta Kere"
Leang Petta Kere berada 300 M di sebelah timur Leang Pettae, pada posisi 4º 58' 43.2" LS - 119º 40' 34.2" BT. Leang ini berada pada ketinggian 45 M dpl dan 10 M dpl (dari permukaan tanah). Meskipun berada pada tebing bukit, pada bagian pintu gua yang menghadap ke sebelah barat, masih terdapat lantai yang menjorok keluar selebar 1-2 m dan berfungsi sebagai pelataran gua. Leang Petta Kere termasuk gua dengan tipe kekar tiang. Suhu udara di dalam gua sekitar 27ºC dengan kelembaban rongga gua sekitar 65% sementara kelembaban pada dinding gua berkisar antara 17%-22%. Tinggalan arkeologi yang ditemukan pada Leang Petta Kere antara lain lukisan dinding gua berupa gambar babi rusa dan gambar telapak tangan, alat batu serpih bilah, dan mata panah.

Di bagian atas goa inilah terdapat lukisan jejak tangan
Leang kedua yang kami sambangi ialah Leang Pettae yang letaknya hanya kira-kira 300 m dari Leang Petta Kere, dan tidak terlalu sulit untuk dimasuki. Di dalam gua, terlihat serpihan-serpihan kerang yang menempel erat di dinding dan tanah. Ini menunjukkan bahwa manusia yang pernah tinggal di sana memakan kerang-kerangan, dan menggunakan cangkangnya untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Leang Pettae, sama seperti Leang Petta Kere, juga merupakan gua yang ada sejak zaman purbakala. Lukisan dinding gua yang dapat kita lihat jelas adalah bentuk telapak-telapak tangan.

Di dalam Leang Pettae
Selain goa purbakala di kawasan Leang-leang ini juga terkenal dengan Gugusan Pegunungan Karts Rammang-Rammang. Menurut catatan dunia, pegunungan karts Kabupaten Maros Sulawesi Selatan ini adalah yang terbesar dan terindah kedua didunia setelah cina.



Rammang-rammang kini semakin disoroti oleh berbagai media, sebagai salah satu objek yang menarik untuk dikunjungi, berbagai komunitas fotograper pun ikut berburu kecantikan alam Rammang-Rammang ini. Disamping untuk menikmati keindahan alam Rammang-Rammang, para wisatawan juga senang berkunjung di dusun ini karena ramahnya interaksi penduduk lokal dalam menjamu tamu, mungkin ini adalah tradisi yang turun temurun yang dimiliki warga di dusun ini sehingga wisatawan yang datang pun tak jenuh dan selalu ingin kembali berkunjung ke dusun ini.


Pukul 12.02 WITA, puas menjelajahi leang-leang dan foto-foto di "stonehenge"-nya Makassar kami pun kembali ke mobil. Tapi ternyata di gerbang masuk kawasan ini berdiri sebuah rumah adat suku Makassar yang difungsikan menjadi museum di lantai dua-nya. Di museum ini lah disimpan berbagai temuan peninggalan sejarah seperti bebatuan dan alat-alat serpih bilah yang ditemukan di situs-situs liang/goa.


Melihat-lihat isi museum yang sederhana
(Paragraf berikut ini non-halal ya, readers :D)
Pukul 13.49 WITA Bang Adi mengajak kami makan siang di RM Aan Ping Lao yang terkenal akan daging babinya. Kali ini David tidak bisa ikut karena ada les bahasa. RM Aan Ping Lao ini menyajikan bubur dan mie dengan daging ayam dan babi. Sayang saat itu stok dagingnya sudah menipis sehingga kami 'terpaksa' makan mie campur dimana dagingnya campuran antara daging ayam dan daging babi. Padahal udah membayangkan bisa makan seporsi mie + daging dewa :(

Penampilan "Mie Campur" khas RM Aan Ping Lao

Itadakimasu! :9
to be continued...

0 testimonial:

Post a Comment