December 31, 2012

Jakarta Punya (Banyak) Museum

Tepat sekali rasanya jika aku menjuluki Kota Jakarta sebagai Kota Seribu Museum. Pasalnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki 55 buah museum, jauh lebih banyak daripada provinsi mana pun yang pernah kujelajahi. Bandingkan dengan 'tanah air'-ku, Provinsi Sulawesi Utara yang hanya memiliki 2 buah museum! Museum-museum ini tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Kepulauan Seribu, dan Kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).


Kota Jakarta mempunyai banyak museum yang merupakan tempat penyimpanan obyek-obyek peninggalan lama dan sumber ilmu pengetahuan. Museum-museum di Jakarta pada umumnya tersebar di Kawasan Kota Tua Jakarta, Jakarta Pusat sekitar Monumen Nasional, dan Taman Mini Indonesia Indah. Namun masih banyak museum-museum lain di wilayah Jakarta yang patut dikunjungi.


Museum-museum di Jakarta, dan di Indonesia pada umumnya, masih kurang mendapat perhatian baik oleh pemerintah maupun rakyatnya. Namun pemerintah lewat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia telah membuat program Tahun Kunjung Museum 2010 yang berlaku di seluruh Indonesia. Program ini berguna untuk menarik minat pengunjung untuk pergi ke museum dengan lebih maksimal karena hampir seluruh kalangan dan lapisan masyarakat Indonesia masih belum mengerti arti penting keberadaan museum. (source: wikipedia)


Pada posting kali ini, aku akan memperkenalkan readers pada sebagian kecil museum-museum yang aku jelajahi bersama Bang Supriadi pada Sabtu, 29 Desember 2012 yang lalu. Untuk museum-museum yang berada di Kawasan TMII, akan dibahas di posting selanjutnya.


KAWASAN KOTA TUA
Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka). Dijuluki "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.

Museum Fatahillah (sumber: Traverse)


Kolam di Lapangan Fatahillah
Salah satu mata pencaharian pedagang di Kawasan Kota Tua: Penyewaan Sepeda

Kantor Pos di Kota Tua



Masih di kawasan Kota Tua, tapi di luar 'kompleks' Lapangan Fatahillah, kita akan menemukan museum keuangan terbesar di Indonesia: Museum BI. Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang dibangun pertama kali pada tahun 1828.

Lobby Museum BI
Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Mempelajari sejarah uang Indonesia dari masa ke masa
Tumpukan 'emas' di Museum BI, WOW! :O
Museum Bank Indonesia buka setiap hari kecuali Senin dan hari libur nasional dan mengunjunginya tidak dipungut biaya.

Museum Wayang memamerkan berbagai jenis dan bentuk wayang dari seluruh Indonesia, baik yang terbuat dari kayu dan kulit maupun bahan-bahan lain. Wayang-wayang dari luar negeri ada juga di sini, misalnya dari Republik Rakyat Cina dan Kamboja. Hingga kini Museum Wayang mengkoleksi lebih dari 4.000 buah wayang, terdiri atas wayang kulit, wayang golek, wayang kardus, wayang rumput, wayang janur, topeng,boneka, wayang beber dan gamelan. Umumnya boneka yang dikoleksi di museum ini adalah boneka-boneka yang berasal dari Eropa meskipun ada juga yang berasal dari beberapa negara non-Eropa seperti Thailand, Suriname, Tiongkok, Vietnam, India dan Kolombia.



Bersama salah satu koleksi wayang
Selain wayang, dipamerkan juga seperangkat alat musik gamelan

Keluar dari museum, kita akan berjumpa dengan dua ondel-ondel, maskot khas Kota Jakarta
Selain itu secara periodik disenggelarakan juga pagelaran wayang pada minggu 2 dan ke 3 setiap bulannya.
Pada tanggal 7 November 2003, PBB memutuskan mengakui wayang Indonesia sebagai warisan dunia yang patut dilestarikan.

Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.

Sayang, keadaan museum saat kami kunjungi sangatlah tidak layak untuk disebut "museum". Pengunjung yang masuk ke dalam tidak dipungut biaya dan saling berdesak-desakkan di dalamnya, sehingga suasana bisa dibilang seperti pasar. Koleksi museum pun bisa dibilang memprihatinkan, karena tidak dirawat dan diatur dengan apik. Ada sebuah lemari bersejarah yang hanya tergeletak di ujung, dikelilingi dengan kursi-kursi tua agar pengunjung tidak bisa menyentuh lemari tersebut, tetapi lemari itu sangat kotor dan tertutup debu. Aduh! Sejujurnya, aku tidak menikmati isi museum ini, selain lemari bersejarah tersebut, aku tidak ingat lagi apa saja barang koleksinya -_- Sepertinya pengunjung yang lain pun sepakat denganku karena sebagian besar malah asyik berfoto-foto dekat jendela untuk mendapatkan latar belakang Kawasan Kota Tua, bukannya mempelajari sejarah di museum. Ckckck...

Meriam Kuno, salah satu koleksi Museum Fatahillah

Museum Seni Rupa dan Keramik
Museum Seni Rupa dan Keramik terletak di Jalan Pos Kota No 2, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Museum yang tepatnya berada di seberang Museum Sejarah Jakarta itu memajangkeramik lokal dari berbagai daerah di Tanah Air, dari era Kerajaan Majapahit abad ke-14, dan dari berbagai negara di dunia.

Di depan Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta Barat
Pameran Keramik yang tengah berlangsung saat itu
Berbagai kreasi Seni Rupa berbahan dasar kayu yang ditampilkan dalam pameran
Museum ini menyajikan koleksi dari hasil karya seniman-seniman Indonesia sejak kurun waktu 1800-an hingga sekarang.
  • Koleksi Seni Lukis Indonesia dibagi menjadi beberapa ruangan berdasarkan periodisasi yaitu:
  • Ruang Masa Raden Saleh (karya-karya periode 1880 - 1890)
  • Ruang Masa Hindia Jelita (karya-karya periode 1920-an)
  • Ruang Persagi (karya-karya periode 1930-an)
  • Ruang Masa Pendudukan Jepang (karya-karya periode 1942 - 1945)
  • Ruang Pendirian Sanggar (karya-karya periode 1945 - 1950)
  • Ruang Sekitar Kelahiran Akademis Realisme (karya-karya periode 1950-an)
  • Ruang Seni Rupa Baru Indonesia (karya-karya periode 1960 - sekarang)


Untuk Koleksi seni rupa menampilkan patung-patung sepeti Totem Asmat dan lain-lain. Sedangkan koleksi keramik menampilkan keramik dari beberapa daerah Indonesia dan seni kreatif kontemporer. Selain itu ada juga koleksi keramik dari mancanegara seperti keramik dari Tiongkok, Thailand, Vietnam,Jepang dan Eropa dari abad 16 sampai dengan awal abad 20.

Sayang sekali pada saat kami mengunjungi museum kelima dalam rangkaian Tour de Museum ini, museum sedang tutup, aku lupa apa alasannya. Museum Bahari adalah museum yang menyimpan koleksi yang berhubungan dengan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke yang berlokasi di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa.


Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, adalah sebuah museum yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat 12. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.



LONCENG/BELL
Bahan: Perunggu
Asal: Talise, Manado, Sulawesi Utara. Abad ke-17 M.
Terdapat tulisan "SOLIDEO GLORIA ANNO 1674" yang artinya "Kebesaran Untuk Tuhan" tahun 1674. Diperkirakan digunakan di asrama biarawati.

Museum Nasional
Museum Gajah banyak mengoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuno lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.

Catatan di website Museum Nasional Republik Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa koleksi telah mencapai 109.342 buah. Jumlah koleksi itulah yang membuat museum ini dikenal sebagai yang terlengkap di Indonesia. Pada tahun 2006 jumlah koleksi museum sudah melebihi 140.000 buah, meskipun hanya sepertiganya yang dapat diperlihatkan kepada khalayak.
Sumber koleksi banyak berasal dari penggalian arkeologis, hibah kolektor sejak masa Hindia Belanda dan pembelian. Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini cukup lengkap.





Museum Taman Prasasti adalah sebuah museum cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda yang berada di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi prasasti nisan kuno serta miniatur makam khas dari 27 provinsi di Indonesia, beserta koleksi kereta jenazah antik. Museum seluas 1,2 hektar ini merupakan museum terbuka yang menampilkan karya seni dari masa lampau tentang kecanggihan para pematung, pemahat, kaligrafer dan sastrawan yang menyatu.

Museum Taman Prasasti




Salah satu koleksi yang menarik adalah kuburan milik Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa pada tahun 1960-an. Pada nisannya tertulis "Nobody knows the troubles I see, nobody knows my sorrows."


Gedung Joang '45 atau Museum Joang 45 terletak di Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini diresmikan pada tahun 1974 oleh Presiden Soeharto, setelah dilakukan direnovasi.

Gedung Joang 45
Gedung Joang 45 pada masa Belanda merupakan sebuah hotel bernama Hotel Schromper I (Hotel Schromper II terdapat di Cikini kala itu) yang berada di Jalan Menteng nomor 31 (nomor ini tetap dipakai hingga kini). Ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942, sejumlah pemuda dengan dukungan Bung Karno ingin mendirikan diklat politik untuk persiapan menyambut revolusi kemerdakaan. Untuk mencari tempat diklat sekaligus asrama bagi para siswa ditugaskanlah seorang pemuda teman dekat Bung Karno bernama A.M. Hanafi. Atas bujukan Hanafi, pemilik Hotel --seorang perempuan Belanda-- akhirnya mau juga menyerahkan hotelnya. Hanya setahun gedung ini dipakai sebagai tempat diklat (yang dikenal sebagai Angkatan Baru Indonesia atau ABI), karena selanjutnya Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan berkantor di tempat ini. Kemudian, pada tahun 1944, lembaga PUTERA diganti oleh Djawa Hookai yang juga masih menggunakan Menteng 31 sebagai kantornya.
Setelah proklamasi, Djawa Hookai yang dibentuk pemerintah Jepang masih berkantor di Menteng 31. Namun pada tanggal 22 Agustus 1945 para pemuda radikal merebut kembali tempat ini dan dijadikan markas komando komite van aksi revolusi proklamasi hingga Bung Karno dan Bung Hatta mengungsi ke Jogjakarta, pada tanggal 3 Januari 1946.
Pada tahun 1957, A.M. Hanafi, salah seorang eks-pemuda Menteng 31 diangkat menjadi Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat dan memakai gedung Menteng 31 sebagai kantornya. Setelah Hanafi tidak lagi menjabat sebagai menteri, Menteng 31 dijadikan kantor Badan Musyawarah Angkatan 45 (1960-1965). Dalam badan ini, Chaerul Saleh menjadi ketuanya dan Hanafi sendiri menjadi wakilnya. Pada tahun 1974, oleh pemerintah DKI Jakarta, gedung Menteng 31 dijadikan Museum Joang 45.




Di museum ini dapat dilihat jejak perjuangan kemerdekaan RI dengan koleksi benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia. Di antaranya adalah mobil dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden RI Pertama yang dikenal dengan mobil REP 1 dan REP 2, dan Mobil Peristiwa Pemboman di Cikini. Selain itu ada pula koleksi foto-foto dokumentasi dan lukisan yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950-an. Beberapa tokoh perjuangan ditampilkan pula dalam bentuk patung-patung dada.


Bendera milik para pejuang asal Sulawesi Utara
Berfoto bersama (patung) Bung Karno dan Bung Hatta
Di halaman Gedung Joang 45 terdapat sebuah puisi yang sangat menyentuh hati:
Peluru-peluru menembus tubuhnya
Satu-satu muncul yang akrab baginya
lalu berhamburan dan tinggal warna putih
putih yang paling putih
dan sebelum nyawanya pergi
sepersekian detik ia mendengar
Lagu Indonesia Raya
Puisi "Pagar Kawat Berduri" - Trisnoyuwono
Museum Abdul Haris Nasution atau tepatnya Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution adalah salah satu museum pahlawan nasional yang terletak di jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta Pusat, DKI Jaya, Indonesia. Museum ini terbuka untuk umum dari hari Selasahingga hari Minggu, dari pukul 08:00 hingga pukul 14:00 WIB. Setiap hari Senin museum ini ditutup untuk umum. Museum seluas 2.000 meter persegi tersebut, merupakan prasasti hidup dan kehidupan Jenderal Besar A.H. Nasution dan keluarga.


Museum ini semula adalah kediaman pribadi dari Pak Nasution yang ditempati bersama dengan keluarganya sejak menjabat sebagai KSAD tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Selanjutnya keluarga Nasution pindah rumah pada tanggal 29 Juli 2008 sejak dimulainya renovasi rumah pribadi tersebut menjadi museum.
Di tempat inilah pada tanggal 1 Oktober, 1965 telah terjadi peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawa Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution. Pasukan Tjakrabirawa G-30S/PKI berupaya menculik dan membunuh beliau, namun hal ini gagal dilakukan. Dalam peristiwa tersebut, putri kedua beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean gugur.



Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution
Korban kebiadaban G30 S/PKI yang mengakibatkan tewasnya putri tercinta Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu CZI Pierre Tendean
Negarawan sejati yang berkomitmen menentang Paham Komunis tumbuh subur di bumi Indonesia
Cendekiawan militer, peletak dasar perang rakyat semesta dan prajurit sejati yang selalu menjaga kemurnian pancasila dan keutuhan NKRI



Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Gedung ini didirikan sekitar tahun 1920-an dengan arsitektur Eropa. Dengan luas tanah 3.914 meter persegi sedangkan luas bangunannya 1.138,10 meter persegi. Pada tahun 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Seluruh isi dan bangunan yang ada di museum ini masih terawat dengan baik. Sayangnya, seluruh furnitur yang ada di dalamnya saat ini bukan lagi barang-barang asli seperti pada saat masa kemerdekaan. Sebut saja mebel di ruang rapat, piano, rak loker, dan seperangkat meja dan kursi tamu, yang semuanya merupakan replika. Hal ini dikarenakan saat Indonesia merdeka tahun 1945, rumah ini sempat dijarah, termasuk semua bukti sejarahnya, maka dibuatlah replika. Tetapi, untuk posisi semua barang tidak diubah, seperti replika piano di bawah tangga yang dianggap penting, karena Soekarno menandatangani teks proklamasi di atas piano tersebut.

Bunker Bawah Tanah

Di halaman belakang museum terdapat sebuah bungker rahasia. Jika menyusuri bunker tersebut lebih jauh dan menuruni anak tangga, kita akan bertemu dengan sebuah kamar rahasia selebar 5 meter dengan panjang 3 meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Dahulu ruang bawah tanah ini digunakan oleh Tuan Laksamana Maeda untuk menyimpan barang-barang berharganya, juga berbagai dokumen penting kenegaraan, karena saat itu beliau masih menjabat sebagai kepala penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang.



Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.

Menjelang Natal, di pintu masuk gereja dipasang pohon Natal yang begitu indah
Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari 1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180 rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890dalam cuaca yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh.



Arsitektur gereja dibuat dengan gaya neo gothik. Denah dengan bangunan berbentuk salib dengan panjang 60 meter dan lebar 20 meter. Pada kedua belah terdapat balkon selebar 5 meter dengan ketinggian 7 meter. Konstruksi bangunan ini dikerjakan oleh seorang tukang batu dari Kwongfu, China. konstruksi bangunan ini terdiri dari batu bata tebal yang diberi plester dan berpola seperti susunan batu alam. Dinding batu bata ini menunjang kuda-kuda kayu jati yang terbentang selebar bangunan.
Pintu Masuk Utama: terdapat patung Maria dan ada tulisan Beatam Me Dicentes Omnes yang berarti "Semua keturunan menyebut aku bahagia".

Seorang jemaat tengah beribadah di halaman belakang Katedral
PS.
Kunjunganku ke Museum BM ini berlangsung pada tanggal 6 Maret 2012 bersama dengan teman-teman IL Cantante Choir yang lain: Maichel Salipadang, Bang Larry Lontoh, dan Bang Samuel Simanjuntak. Tapi karena tidak membawa kamera saat kesana, jadinya di posting ini aku menggunakan foto-foto milik Bang Adi (kurre' sumanga, Abangda! ^^)

Berdiri tanggal 2 Oktober 1998, museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.
NHM dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi aset Bank Mandiri.



Koleksi museum terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan "tempo doeloe" dan perkembangannya, koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain.

Koleksi perlengkapan operasional bank "tempo doeloe" yang unik, antara lain adalah peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box maupun aneka surat berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi, dan saham. Di samping itu, ornamen bangunan, interior dan furnitur museum ini masih asli seperti ketika didirikan.



Perjalanan ke Monas ini kutempuh bersama kedua sahabatku Fakhri dan Ayuni pada Jumat, 18 Mei 2012 yang lalu. Ini juga menjadi kali pertama bagiku (mungkin Ayuni dan Fakhri juga) untuk menginjak tugu Monas yang sesungguhnya, karena selama ini kami hanya sekadar jogging atau foto-foto dengan latar belakang tugu Monas.

Monas di kejauhan! :3
Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum.

Di bagian dasar monumen pada kedalaman 3 M di bawah permukaan tanah, terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia. Di dalam ruangan ini terdapat 48 diorama pada keempat sisinya dan 3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama. Diorama ini menampilkan sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa Orde Baru. 

Dengan lift kita bisa ke pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Dari puncak Monas ini, kita dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta.

Bersama Ayuni, berfoto di Pelataran Cawan Monas
Taman Ismail Marzuki
Perjalanan ke Taman Ismail Marzuki ini tidak terangkai dalam Tour de museum maupun jalan-jalan pribadi mana pun, tetapi untuk melakukan pelayanan bersama dengan UNITY Choir (gabungan IL Cantante Choir dan Jubilate Choir, paduan suara asuhan Bunda Rita Sihite) untuk jemaat GKI Yasmin Bogor. FYI, jemaat GKI Yasmin belakangan ini beribadah hari Sabat di depan Istana Negara (dekat Monas) karena bangunan gereja yang di Bogor diblokir masyarakat non-Kristen setempat karena terganjal masalah Hak Mendirikan Bangunan dan hak beribadah yang katanya ilegal. Kasihan ya :(


Taman Ismail Marzuki (TIM) merupakan sebuah pusat kesenian dan kebudayaan yang berlokasi di jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Di sini terletak Institut Kesenian Jakarta danPlanetarium Jakarta. Selain itu, TIM juga memiliki enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan bioskop.

Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan tradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini.

Nama pusat kesenian ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia, Ismail Marzuki.


Sinopsis "Ismail Marzuki"
Lahir di Kwitang 11 Mei 1914, sejak kecil menekuni dunia seni musik, menjadi komponis, menciptakan lagu-lagu bernuansa perjuangan. Menjadi pemimpin Orkes, menolak bekerjasama dengan NICA pada masa perang kemerdekaan. Perjuangannya melalui lagu-lagu heroik antara lain "Hallo-hallo Bandung", "Gugur Bunga". Namanya diabadikan pada Taman Ismail Marzuki yang diresmikan tahun 1968. Beliau wafat tahun 1958.