December 12, 2013

City Tour Manado...Lagi!

City Tour selanjutnya di kota Manado ini kulaksanakan pada tiga hari berbeda. Namun demi kepentingan keutuhan kronologi cerita dan memudahkan readers yang juga ingin city tour secara lengkap, aku kemudian merangkumnya menjadi satu jalur perjalanan yang bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh jam saja :)

1st stop: Monumen Coelacanth di Bahu Mall (belakang Freshmart), tepatnya di Restoran Oikano.


Sinopsis:
Coelacanth, pertama kali muncul dalam kehidupan 400 juta tahun yang lalu, dan ikan ini dianggap telah punah semenjak akhir masa KRETASESUS 65 juta tahun yang silam sampai ketika seekor Coelacanth muncul dan tertangkap oleh jaring hiu di Afrika Selatan pada Desember 1938.
Pada tahun 1998 seekor Coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Manado Tua oleh Bapak Lamech Sonothan dan diberi nama "Ikan Raja Laut".
Ikan ini sudah dikenal lama di kalangan nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya oleh Dunia Ilmu Pengetahuan.
Pada Mei 2007, Bapak Julius Lahama menemukan seekor ikan Coelacanth (Ikan Raja Laut) di lepas Pantai Sulawesi Utara dengan ukuran panjang 131 cm dan berat 51 kg, ketika ditemukan dan di bawah ke darat tepat pada lokasi Monumen Ikan Raja Laut ini didirikan (Oikano, Bahu).
Coelacanth adalah ikan purba berjenis mamalia, ekornya berbentuk kipas dan matanya besar. Ikan Raja Laut ini dapat mencapai umur 22 tahun.

Disarankan membawa payung/topi/jaket bertudung demi kenyamanan saat readers nongkrong di sini. Mataharinya bersinar terik di atas kepala! Namun penderitaannya sebanding kok dengan pemandangan Pulau Manado Tua dan Bunaken di kejauhan sana :')


Dari Oikano, kita akan berjalan kaki cukup jauh untuk naik angkot di depan Freshmart. Atau bisa juga singgah foto-foto sebentar di Patung Tendean & Mongisidi yang terletak di seberang Bahu Mall. Selain kedua patung ini, readers pasti tertarik untuk mengabadikan indahnya Pulau Manado Tua diapit bangunan restoran terapung Wisata Bahari dan gedung Lion Hotel & Plaza. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik angkot trayek Pasar 45.

2nd stop, Waruga Dotu Lolong Lasut (dekat Taman Kesatuan Bangsa, Bank BCA, dan Bank Mandiri Pasar 45). Sebenarnya menuju Waruga Dotu Lolong Lasut ini bisa aku lakukan ketika menjalani City Tour pertama, yaitu mengunjungi Taman Kesatuan Bangsa. Jelas-jelas di papan Sinopsis TKB tertulis bahwa Waruga Dotu Lolong Lasut terletak tidak jauh dari lokasi taman, tapi kemudian aku baru sadar bahwa di pojok Bank Mandiri inilah lokasi waruga itu! Astaga, padahal selama lima tahun aku selalu melalui tugu ini sepulang sekolah :'(


Sinopsis Waruga Dotu Lolong Lasut (The Sarcophagus of Dotu Lolong Lasut):
Dotu Lolong Lasut adalah seorang pemimpin dari Suku Tombulu, tepatnya kepala Walak (Desa) Ares. Dia asli berasal dari Kinilow sebelum turun gunung ke Kali sekitar selatan Manado, yang kemudian berhenti di antara sungai besar Rumoyong-Ares.
Lolong Lasut yang juga dikenal sebagai Ruru Ares lahir di perkampungan (tumani) pertama dari Pakasaan (Suku) Tombulu di Maiyesu (sekarang dikenal sebagai "Kinilow"), setelah turun ke pesisir utara dia menemukan Tumani Wanua Aris yang kemudian berubah menjadi "Walak Aris" dan pada akhirnya disebut "Walak Ares".

_intermezzo_
Dari 2nd stop menuju 3rd stop, readers akan menemukan sebuah lokasi kongkow yang unik, bernama "Kawasan Jalan Roda (Community of Jalan Roda)" yang sejatinya adalah sebuah jalan yang dipenuhi warung makan khas Manado di sisi kanan-kirinya. Tempat yang cocok untuk wisata kuliner sejenak ;)


Kenapa "Jalan Roda"? "Jalan Roda" adalah sebutan orang Manado untuk sebuah jalan setapak yang biasa dilewati Roda Sapi (Bahasa Indonesia: "Pedati") sehingga jalannya sempit dan biasanya berupa jalan tanah. Komunitas Jarod (Jalan Roda.red) adalah sebuah komunitas orang Manado yang gemar berkumpul (kongkow) di pinggir jalan sambil makan & minum. Selain di Pasar 45 ini, Jarod juga ada di gang yang menghubungkan IT Center dengan toko busana di belakangnya.

3rd stop, Klenteng Ban Hin Kiong. Dari lokasi Waruga DLL dan TKB, berjalan ke arah timur kurang lebih 20 menit (wajib bertanya kepada warga/petugas LLAJ sekitar kawasan 45 jika tidak mau nyasar ke Pelabuhan Jengki).



Sinopsis:
Klenteng Ban Hin Kiong adalah klenteng tertua di Kota Manado yang didirikan pada tahun 1819, kemudian di tahun 1839 dibangun rumah abu (Kong Tek Su). Pada awal berdirinya klenteng ini terbuat dari rumah papan diselingi bambu yang sederhana. Klenteng ini mulai dikelola secara organisatoris sejak tahun 1935 melalui suatu organisasi perkumpulan Sam Khauw Hwee yang didirikan atas usaha dan inisiatif dua orang tokoh yakni Yo Sioe Sien dan Que Boen Tjen. Asal kata klenteng bukan dari bahasa Tionghoa, melainkan suatu bunyi instrumen sembahyang seperti lonceng genta yang mengeluarkan bunyi "teng". Dari bunyi tersebut kemudian disebut "klenteng". Ban Hin Kiong terdiri dari 3 kata, Ban berarti banyak, Hin berarti berkat yang melimpah/kelimpahan kebaikan, dan Kiong berarti istana. Pada tanggal 14 Maret 1970 klenteng ini pernah dibakar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Atas inisiatif Nyong Loho (Soei Swie Goan) yang kemudian menjabat rangkap sebagai ketua pembangunan dan ketua klenteng Ban Hin Kiong, mulailah pembangunan renovasi klenteng. Sampai kini, klenteng ini telah beberapa kali mengalami renovasi bangunan, baik penambahan lantai menjadi tiga lantai maupun peluasan ruangan dan halaman.


Sayang sekali aku hanya bisa memotret bagian depan klenteng saja, karena alasan penjaga klenteng bagian dalamnya tidak boleh difoto meskipun tidak dilarang bagi pengunjung non-Buddha untuk masuk melihat-lihat. Aku sih menghormati peraturan tersebut, walaupun dalam hati kecewa karena aku ingat Vihara Thay Hin Bio di Lampung dan Klenteng Buddha lain di Kota Tomohon, Sulut, yang tidak melarang pengunjung/wisatawan berfoto di dalam rumah ibadah. Rasanya kurang sreg jika meliput bangunan bersejarah hanya dengan kata-kata alias tanpa gambar.
Dari Klenteng Ban Hin Kiong, mari berjalan kembali ke Pasar 45 karena kita akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Teling.

4th stop, Makam Kanjeng Ratu Sri Kedaton dan Salumpaga Toli-Toli.
Mengunjungi lokasi ini juga sebenarnya bisa digabung dengan perjalanan City Tour pertama yaitu menuju Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara. Namun karena keterlambatan sampainya informasi yang aku terima, alhasil wisata makam ini baru berlangsung beberapa hari kemudian.

Lambang Bulan-Bintang di gerbang menandakan ini adalah TPU Umat Muslim
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono V yang wafat pada 25 Mei 1918. Bukan hanya makam Sang Ratu, di TPU Teling ini juga menyimpan makam putranya yakni Kangeng Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga yang wafat mendahului ibundanya pada 12 Januari 1901. Berdasarkan observasi selama beberapa hari, gerbang TPU ini selalu terbuka sehingga pengunjung bisa masuk dengan bebas. Hanya saja, makam-makam bersejarah ini digembok pintunya sehingga tanpa izin penjaga kuburan kita tidak bisa melihat makam dari dekat.


Selain kedua makam bersejarah yang diumumkan oleh papan penunjuk di depan gerbang tadi, di sini juga dimakamkan seorang Ulama yang juga Pejuang Perang Cilegon-Banten 1888: Syekh KH. Mas Muhammad Arsyad Thawil Albantani. Beliau lahir di Banten tahun 1851, kemudian dibuang ke Manado (Minahasa) ketika pecah Perang Cilegon-Banten 1888 hingga akhirnya meninggal pada 19 Maret 1934. Disamping makam beliau, terbaring juga sang istri, Tarhimah Magdaleina Runtu, yang hanya diketahui tahun lahir (1860) dan tahun wafatnya (1937) saja. Ditinjau dari namanya, Ny. Tarhimah merupakan wanita asli Minahasa yang mualaf mengikuti sang suami.



Di belakang makam Syekh Thawil inilah berdiri sebuah bangunan cukup besar yang menyimpan jenazah Kanjeng Ratu dan anaknya. Namun karena tidak ditemani penjaga kubur yang menyimpan kunci gembok makam, aku pun hanya bisa melihat kubur-kubur yang berada di luar bangunan utama. Salah satunya adalah kubur berpusara "B.P.H. Hadiwidjojo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono V. yang dimakamkan kembali di Pasarean Kagungandalem Hasta Renggo di Kotagede, Yogyakarta, pada hari Minggu Legi 22 Juli 1990."
Di sebelah barat bangunan utama berjejer rapi kuburan-kuburan milik kerabat Sang Ratu. Diantaranya adalah pusara B.R.A. Mariam Sooeryeng Ngalogo (istri dari Raden Mas Soeryodinegoro) serta B.R.M Abdoel Razak Soeryeng Ngalogo) dan istrinya, Aminah.



Mencari Makam Salumpaga Toli-Toli jauh lebih susah daripada menemukan makam Sang Ratu. Memang letaknya dekat gerbang masuk TPU, namun monumen ini dikelilingi kuburan-kuburan lain yang sebagian besar telah ditumbuhi semak belukar. Alhasil aku harus serba hati-hati, jangan sampai menginjak kubur karena pusaranya telah tertutup ilalang. Monumen sekaligus makam ini berbentuk limas dengan tiga sisi. Pada ketiga sisi tertulis "Monumen Dari Ketiga Pahlawan Salumpaga Buol Toli Toli". Nama yang tertera pada makam adalah "Otto", "Hasan", dan "Kombong" yang ketiganya meninggal pada 17 September 1922. Ketiga orang ini terbunuh dalam Pemberontakan Toli-toli melawan Kompeni Belanda yang memaksakan kerja rodi kepada rakyat di Desa Salumpaga. Peristiwa ini merupakan salah satu contoh kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Cerita tentang Peristiwa Merah-Putih di Toli-toli dapat dibaca selengkapnya disini.





_intermezzo_
Perut mulai lapar akibat capek berjalan jauh? Tenang saja, tidak jauh dari 4th stop ada RM Saroja yang terkenal seantero Indonesia karena kelezatan Nasi Kuning Manado-nya. Ini serius lho, readers, RM Saroja punya sertifikat MURI yang dipajang rapi di dindingnya. Sejak aku duduk di kelas 1 (1999) SD Kr. Eben Haezar 2 hingga saat ini (2013), RM Saroja setia dengan bangunan sederhananya. Yang berbeda hanya harganya saja seiring inflasi harga bahan pokok di negeri kita. Aroma wangi nasi kuningnya, empuk daging sapinya, renyah kentang gorengnya, bahkan wajah-wajah familiar para kokinya tidak berubah! Mungkin karena bisnis keluarga ya, jadi kokinya pun turun-temurun dari generasi ke generasi ;) Itulah juga yang menjamin rasa Nasi Kuning Saroja selalu khas dan penuh cita rasa. Karena dikelola oleh keluarga Kampung Arab (nama sebuah kampung di Teling yang mayoritas warganya adalah umat Muslim.red) sajian di RM Saroja dijamin 100% HALAL!

Bosan dengan nasi? Readers bisa menemukan tinutuan (bubur khas Manado.red) yang cuma berjarak 10 menit dari RM Saroja, tepatnya di Jalan Wakeke, berbatasan dengan SD Negeri 11 dan Gramedia. Sama seperti Jarod, Wakeke juga menjadi objek wisata kuliner yang wajib disinggahi oleh wisatawan domestik maupun internasional. Adalah Tinutuan yang menjadi bintang utama di Jalan Wakeke. Dengan harga Rp8.000-Rp15.000 per porsi, kita bisa menikmati hangatnya bubur nasi+labu dengan campuran sayur dan jagung manis. Tidak lupa juga tahu goreng dan dabu-dabu (sambal khas Manado.red) sebagai pelengkap sajian! Bubur Manado ini khas karena warna kuningnya (yang berasal dari labu) dan rasa manis (dari jagung dan labu) plus pedasnya (dari dabu-dabu). Komplit! Favoritku adalah RM Pelangi yang punya pisang goreng paling lezat dan gurih. Memang agak mahal (Rp2.500,-) tapi sebanding dengan kenikmatan yang diperoleh :9


5th stop, Gedung Minahasa Raad. "Minahasa Raad" berarti Dewan Minahasa, menunjukkan bahwa gedung ini adalah gedung DPR-nya Minahasa di masa yang lampau. Gedung dewan pertama di Sulawesi Utara bahkan pertama di Indonesia ini sedang dalam proses rehabilitasi karena rencananya akan dijadikan museum. Pada bagian depan gedung terukir angka "1930" menunjukkan tahun berdirinya gedung itu. Gedung ini berada tepat di samping Zero Point di Pasar 45, berseberangan dengan Multimart dan bersebelahan langsung dengan Gedung Joang 45.



Gedung Minahasa Raad tempoe doeloe
Oh ya, tidak jauh dari lokasi ini, tepatnya berada di antara Jumbo Swalayan dan TKB, juga masih ada sisa-sisa bangunan Benteng Amsterdam. Informasi ini kutemukan di internet sih, jadi aku tidak bisa menemukan dengan tepat dimana bangunan itu berada :(

Fort Nieuw Amsterdam di Kota Manado Tahun 1930
6th stop, cukup sudah jalan kakinya, sekarang kita akan banyak mengeluarkan uang untuk menyewa ojek :') Naik angkot trayek Malalayang dari Pasar 45, berhentilah di gedung SD yang berseberangan dengan Lapangan Bantik. Di samping sekolah ada sebuah jalan dengan plang besar bertulisan "Objek Wisata Batu Buaya dan Batu Niopo". Saranku sih lebih baik naik ojek menuju objek-objek wisata ini, karena pengunjung bisa nyasar apabila tidak menguasai 'medan'. Aku saja yang orang Manado asli sempat nyasar karena nekat mau mencari sendiri tanpa mengeluarkan biaya ojek :(


Batu Niopo lokasinya dekat dengan mulut gang, namun berada di belakang rumah warga (selengkapnya baca disini). Selain Batu Niopo, kita akan menemukan Monumen R.W. Mongisidi versi kecil (versi besarnya ada di Monumen Kodam TNI Manado di Sario). Perkenalkan, ini adalah Bapak Johan Mongisidi, orang yang 'berjasa' membuka mataku dan mengenalkan aku kepada empat batu bersejarah milik Suku Bantik. Yuk kenal lebih dekat dengan beliau disini :)


Dari Batu Niopo, masih dengan menggunakan ojek, kita menuju ke Batu Buaya. Letaknya lebih terpencil lagi, yaitu di kebun milik warga. Ojek hanya bisa mengantar sampai pintu masuk kebun saja. Harus hati-hati karena jalan tanah kebun ini cukup licin apabila hujan baru saja turun. (Cerita lengkapnya bisa dibaca disini.)


Kemudian kita menuju Batu Kuangang yang terletak di Perumahan CHT, Jalan Sea. Tidak perlu naik angkot lagi karena ojek bisa membawa kita melewati jalan pintas dari Kampung Bantik menuju Desa Sea. Batu Kuangang terletak di ketinggian yang juga hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Pengunjung bisa menikmati indahnya pemandangan laut Manado dari lokasi Batu Kuangang. Untuk lebih lengkap terkait batu ini bisa dibaca disini.


Psstt, readers, harus super hati-hati ya berada di sini. Lokasi ini cukup terpencil dan jauh dari rumah penduduk. Jika ada yang berniat jahat, pasti dia tak akan menemukan kesulitan untuk bertindak disini. Menurut penuturan Bapak yang mengantarku saat itu, di malam hari Batu Kuangang dijadikan tempat pacaran anak muda setempat lho. Hmmm...

Lokasi batu bersejarah keempat yakni Batu Lrana, berada sekitar 2 KM dari Jalan Sea, yakni di Jembatan Kolongan dekat Terminal Malalayang. Aku menyarankan untuk tetap menggunakan jasa ojek menuju objek wisata itu. Dengan angkot trayek Malalayang kita harus turun di perhentian paling ujung, yakni Terminal Malalayang. Itu pun masih harus berjalan kaki beberapa meter dengan menyeberang jalan yang sangat ramai. Resiko tambahan lagi bagi pengunjung wanita adalah: digoda oleh pria-pria 'mesum' di sekitar terminal (yeah, pengalaman pribadiku, readers!). Setidaknya jika ditemani si tukang ojek, resiko digoda om-om ini pun bisa dicoret. Pendapat pribadiku sih lebih baik keluar ongkos lebih daripada mesti panas kuping karena ulah nakal pria-pria ini :(

Batu Lrana
Sudah puas melihat si Batu Tapak Kaki (Batu Lrana)? Silakan bayar ojeknya karena sekarang saatnya untuk 7th stop: hunting sunset di pesisir Pantai Malalayang ;) Sepanjang jalan dari Jembatan Kolongan ke arah barat sudah berjejer rapi warung-warung makan pinggir pantai yang menjual pisang goreng dan milu (jagung) rebus/bakar. Lezat dan murah! Hanya dengan Rp1.500,- per pisang goreng aku sudah bisa mencicip kenikmatan yang sama dengan sajian pisang goreng di Jalan Wakeke, hahahaa...maknyoss!! Duduk-duduk santai saja ditepi pantai, kita tidak akan diusir berapa lama pun ada disitu. Oh ya, FYI, momen sunset di Kota Manado paling indah ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Selamat menanti :)


8th stop: (another) Monumen Coelacanth di Pantai Malalayang Dua, tidak jauh dari Gerbang Bobocah. Ukurannya kecil namun tetap menarik, apalagi posisinya sejajar dengan Pulau Bunaken di kejauhan :)



Sering dijadikan tempat kongkow
9th stop: Monumen Bobocah (Gurita) yang merupakan pintu masuk alias gerbang ke Kota Manado. Letaknya sekitar 50 meter ke arah Barat dari Jembatan Kolongan.



Jangan buang sampah disini ya, readers, tolong hargai & jaga kebersihan tempat wisata yang kita kunjungi :)
Spot yang sesuai untuk mengabadikan foto jalan-jalan di Kota Manado
Berhenti sampai disinikah City Tour Manado? Oh, tentu tidaaaak~ Sejauh ini kita baru keliling Malalayang-Pasar 45-Teling-Sario saja. Manado masih menyimpan objek-objek wisatanya di Tikala, Singkil, Pakowa, Kairagi, Dendengan Dalam, dll! :) Can't wait for the next city tour??? ME TOO!!! I'll do another city tour soon, my Manado :*

Historical Bantiknese Stones: Batu Tapak Kaki

Melihat batu yang satu ini tidaklah semudah melihat ketiga batu Suku Bantik yang lain. Memang letaknya di pinggir jalan alias di tepi pantai Malalayang (dekat Jembatan Kolongan), tapi karena batu-batu di tepi pantai ini mirip-mirip satu dengan yang lainnya, jadi sulit menentukan yang mana sebenarnya Batu Lrana*. 

Batu Lrana memiliki dua tanda kaki di permukaannya. Ketika saya menyambangi lokasi ini, saya tidak bisa mengidentifikasi batu diantara batu-batu lain yang bertebaran di sepanjang pantai. Apalagi saat itu air laut tengah pasang, bisa saja batu itu sedang 'disembunyikan' air laut. Ah, semoga readers tidak mengalami kekecewaan yang sama ya...


Saya pun akhirnya berpuas diri dengan hanya memotret papan sinopsisnya saja :(

Kisah di balik Batu Lrana? Berikut ini adalah hasil tulisan Pak Johan Mongisidi, seorang 'anak' Bantik asli yang berbaik hati menuliskan Hikayat Batu Lrana untuk para pengunjungnya.

Lokasinya terletak di pesisir pantai Kelurahan Malalayang Dua, tidak jauh dari Jembatan Kali Kolongan. Kisahnya:
I. 1. Pada tahun 1764, sengketa pertama.
Persengketaan yang sengit antara Walak Kakaskasen dengan Walak/etnis/suku Bantik. Walak Kakaskasen terdiri dari Negeri Tateli, Negeri Lota, dan Kakaskasen. Alasan sengketa ialah pemilikan wilayah Malalayang (Minaga), Negeri Lota dibakar oleh orang Bantik. Residen G.R. de Cock mengirim Kapten Van Ossenberg untuk menyelesaikannya, tetapi Residen tak cakap mengatasi perselisihan tersebut dan ia diganti oleh J.L. Seydelman.
J.L. Seydelman menangkap kepala Walak Bantik "Mandagi" dan ia dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta), akan tetapi di Selat Buton Mandagi terjun ke laut.
2. Pada tahun 1789, sengketa kedua..
Persengketaan Kakaskasen dan Bantik yang kedua pada masa kepala Walak Bantik "Samolra" terjadilah pula sengketa antara Bantik dan Negeri Tateli. Dari pihak Tateli terdapat 62 orang korban yang merupakan 2/3 dari Rakyat Negeri itu. Peristiwa ini diselesaikan oleh Dewan Kepala Walak. Samolra ditawan di Benteng Manado atau Benteng Amsterdam (Sekarang Pasar 45)
N.B. Buku Sejarah Minahasa oleh F.S. Watuseke Hal. 30-31 Cetakan ke-2, Manado, 1968.

II. Dari buku Sejarah Anak Suku Bantik Minahasa oleh M. Kiroh, Cetakan ke-1, Hal. 35, Agustus 1968. Kira-kira pada tahun 1788, banyak korban orang-orang Lota di Tateli.

III. Dari buku "Anak Suku Bantik" oleh E.A. Koapaha, Hal. 13. Tahun 1776-1789. Samolra, kepala Walak Bantik, di pihak musuh banyak korban berjatuhan. Samolra ditangkap dan ditahan di Benteng Amsterdam.

Sehubungan dengan Batu Tanda Kaki (Batu Lrana) tersebut dimana Tonaas Jopo Egang dari Desa Buha tidak sempat berperang karena telah selesai, maka dengan sangat menyesal telapak kakinya menginjak batu dengan kesaktiannya hingga berwujud tanda kakinya.


*Pengucapan "Lr" pada kata "Lrana" sama seperti mengucapkan huruf "R" dengan posisi lidah menyentuh langit-langit mulut

Historical Bantiknese Stones: Batu Buaya

Batu Buaya (Bahasa Bantik: "Bihua") adalah sebuah objek wisata di Kelurahan Malalayang I, Kec. Malalayang, yang berasal dari Suku Bantik. Batu ini berukuran panjang dan menyerupai badan buaya. Konon, batu ini adalah mayat dari musuh Suku Bantik yang mencoba mengusik ketenteraman warga suku.


Menuju ke Batu Buaya, kita harus memasuki sebuah kebun yang sejatinya adalah tanah milik masyarakat setempat, jadi disarankan untuk meminta izin dahulu sebelum masuk ke pintu seng ini.


Di tengah-tengah kebun inilah terletak objek wisata Batu Buaya. Saat saya mengunjungi situs ini, ada seorang anak yang sedang membuat layang-layang sehingga agak menganggu proses peliputan dan pemotretan batu :(




Kisah di balik Batu Buaya? Berikut ini adalah hasil tulisan Pak Johan Mongisidi, seorang 'anak' Bantik asli yang berbaik hati menuliskan Hikayat Batu Buaya untuk para pengunjungnya.

Suatu peristiwa terjadi perseteruan dan perkelahian di lereng gunung Bantik (sekarang dekat Desa Warembungan) antara "Jopo Mandu" dan Tonaas (pemimpin suku) dari Tonsawang. Karena telah memasuki wilayah Suku Bantik maka dia dianggap musuh (Bahasa Bantik: "Pai Seke").
Pertarungan berlangsung sampai di perkebunan bernama "Lraba". Karena perkebunan Lraba begitu luas, dari dataran tinggi hingga ke dataran rendah, setiap langkah (seke) musuh tersebut menginjak tanah, maka tananhnya longsor (naguhu). Terucap perkataan dari musuh itu: "Kumoboi Tana Paleongan Ni Barorongan", baru ketahuan dari ucapannya bahwa seke tersebut bernama "Barorongan" yang merupakan Tonaas dari Tonsawang.
Sepanjang pertarungan kedua tonaas memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan luar biasa dan sampai di daerah perkebunan bernama "Lribubuhu". Jopo Mandu telah kelelahan dan tenaganya berkurang (Bahasa Bantik: "Madadiha'te, Nai Buku Te Tou Taya Nahaka"). Dengan kesaktiannya Jopo Mandu memanggil (mamokei) si "Jopo Kohotei" yang berwujud seperti seekor anjing (kapuna). Datanglah seekor anjing membantu Jopo Mandu dan menggigit kemaluan Barorongan hingga dia mati. Menjelang ajalnya Barorongan mengakui kesaktian Suku Bantik yang sangat luar biasa dan tidak ada tandingannya.
Jopo Mandu kemudian menemui tetua adat Bantik dan melapor bahwa seke sudah tewas. Para tetua adat meminta kepalanya sebagai bukti bahwa dia telah meninggal. Jopo Mandu pun kembali ke tempat bertanding keduanya, namun tak disangka dia menemukan bahwa mayat Barorongan dari kaki sampai leher sudah berwujud buaya! Jopo Mandu pun memenggal kepalanya untuk dibawa sebagai bukti kemenangannya.
Sebelum perang Indonesia melawan Jepang berlangsung, para masyarakat Etnis Tonsawang datang ke tempat ini untuk berziarah dengan membawa sesajen dan memasang lampu.

Historical Bantiknese Stones: Batu Niopo


Batu Niopo adalah sebuah batu datar tegak yang berbentuk mirip pusara. Bukan batu ini tepatnya yang menjadi situs peninggalan sejarah, melainkan lokasi keseluruhannya dimana telah dibangun tembok semen mengelilingi batu menyerupai benteng. Kunci gerbang 'benteng' tersebut dipegang oleh Pak Johan Mongisidi, yang rumahnya terletak di depan lokasi situs Batu Niopo.

Batu Niopo sejatinya merupakan tempat keramat bagi Suku Bantik, karena diyakini di sinilah leluhur mereka bertemu dengan Jopo (baca: "Yopo") Lramo, yakni Sang Pencipta. Sama seperti TUHAN yang turun menemui Imam di Ruang Mahakudus ketika umat-Nya berdoa di Bait Allah, demikian jugalah Jopo Lramo turun ketika leluhur-leluhur Suku Bantik berdoa memohon jawaban dari-Nya.

Pak Johan memperlakukan tempat ini dengan penuh hormat, beliau bahkan melepas alas kaki karena tidak ingin mengotori tempat keramat ini. Ketika saya bertanya mengapa lokasi Batu Niopo tidak dibersihkan dari pepohonan/tanaman liar, beliau menjawab: "Siapa tahu tanaman-tanaman ini merupakan tanaman obat yang diberikan Opo untuk anak-anakNya."

Pak Johan mengantar saya menuju lokasi Batu Niopo
Sebelum memotret, Pak Johan meminta izin terlebih dahulu kepada Jopo Lramo
Ini dia, Batu Niopo!
Batu Niopo dikelilingi 'penjaga-penjaganya' berupa tanaman, pepohonan, dan tembok semen.
Bukan hanya Batu Niopo yang menarik perhatian saya disini, tetapi juga ada sebuah patung berwarna kuning keemasan yang dinaungi sabuah (pondok) dengan tulisan: "Monumen Robert Wolter Mongisidi". Menurut Pak Johan, monumen ini awalnya berada di Sario (sebelum Pom Bensin Sario didirikan) namun akhirnya dipindahkan ke tempat lahirnya yaitu di Malalayang (dulu "Minanga") dimana Suku Bantik menetap. Ya, Pahlawan Nasional RI ini adalah seorang anak suku Bantik. Di Sario kini telah berdiri monumen yang lebih besar yaitu di halaman Museum Kodam TNI Manado, serta di dekat Freshmart Bahu Mall dimana ada patung R.W. Mongisidi bersebelahan dengan patung Pierre Tendean.

Monumen R.W. Mongisidi di belakang rumah Pak Johan
Kisah di balik Batu Niopo? Berikut ini adalah hasil tulisan Pak Johan Mongisidi, seorang 'anak' Bantik asli yang berbaik hati menuliskan Hikayat Batu Niopo untuk para pengunjungnya.

SITUS/TANDA "TAMPA TUTUMPANG NI TOUGAGUDANG PANGATASENG" JOPO LRAMO*-JOPO BAGAI
Berlokasi di Subanua "Minanga" atau dahulu disebut Su Lrikudu Nu Banua Minanga
-Iya Kasie Galre Toumata Nu Dunia
-Iya Paisusui Bo Paimungulru, Nisahidie Nu Tana' Sio Lrapisi, Bo Katanoi-tanoi nu Lrangie Poitu Lrapisi
-Iya Paisusui Bo Paimungulru iya taiya sal'ra

Tempat/tanda ini sudah ada sebelum Kota Manado ada (+- 300-400 SM), sebab Suku/kaum/etnis Bantik telah ada juga sejak dahulu kala.
Spiritual Bantik mengutamakan "Ketaatan"
Sejak awal para leluhur-leluhur kaum etnis suku Bantik di tempat ini diadakan upacara spiritual (agama suku/aliran kepercayaan) dengan maksud dan tujuan bermohon kepada Yang Maha Kuasa, meminta petunjuk, tanda, penjelasan, jujur-bersih-diri-hening-bening.
Tempat/tanda ini dijaga oleh para leluhur-leluhur yang tingkat kesaktiannya luar biasa, tinggi tiada tandingan (Bahasa Bantik: "Kakahamata").

Sebagian karakteristik/profil "Tougagudang-Pangataseng" Jopo Lramo-Jopo Bagai, antara lain:
-Jopo Bua'ntaya....Bo Paiy -> Dari ada menjadi tidak ada, dari tidak ada menjadi ada.
Dari awal dan akhir (Alfa & Omega), kalau yakin maka Dia ada, kalau tidak yakin Dia pun tidak ada.
-Jopo Diming Toumata
-Jopo Diming Saki
-Jopo Maalrusu-Nakakaalrusu, Bo Malrangkasa-Nakakalrangkasatangada (Mahasuci, Mahakuasa).
-Jopo Aya Kabatu Nu Imung Toumata (Dunia)
-Jopo Lramo Pung Nu Maya Jopo Kakahamata Nu Banti', Jopo Kakahamata Mohanei Bo Jopo Kakahamata Babinei
-Jopo hanya sekedip mata mengelilingi cakrawala (Bumi, Bulan, Bintang, dan segala isi galaksi)
-Jopo, Gumelridi Tangada Puyung-puyung Nu Toumata Nu Dunia -> Harus berbuat baik untuk semua orang (Bahasa Bantik: "Paka-paka Pia Su Toumata")

Akhirnya sikap pribadi kita masing-masing. Jopo (Yang Maha Kuasa) sudah berikan buat kita "Imung" (pikiran), mata untuk melihat, Tinggihia, Bo Manimbang Ene Mapia ada Bo Dalrai.
Harus "Taat" kepada "Jopo Lramo" akan melahirkan pekik kemenangan "Bantik Taya Mababata".
"Maguda-gudang Bo Mapia Panameng"
=Hinggilridang, hintanginang, hintalrunang=


*Pelafalan "Lr" diucapkan seperti mengucapkan huruf "R" dengan lidah menempel di langit-langit mulut.

Historical Bantiknese Stones: Batu Kuangang

Batu Kuangang adalah sebuah objek wisata berasal dari Suku Bantik (salah satu anak suku Minahasa) yang berukuran besar dengan permukaan datar, serta memiliki lubang-lubang di atasnya.

Menuju ke Batu Kuangang harus kita tempuh dengan kendaraan roda dua, saran saya sih menggunakan ojek yang ada di mulut jalan masuk Jalan Sea (Kelurahan Malalayang II), karena tidak ada angkot yang melewati daerah ini. Mau nekat jalan kaki? Silakan, dijamin varises akan langsung bermunculan meski Anda masih setengah perjalanan :p


Ojek akan mengantar kita sampai puncak suatu jalan menanjak. Di sebelah kiri ada tangga semen yang sudah berlumut dan ditutupi rumput liar. Di puncak tangga inilah kita akan menemukan objek wisata Batu Kuangang. Jangan heran jika menemukan objek wisata ini tidak terawat dengan baik :(


Kotor dan tidak terawat :(
Sebaiknya datang di siang hari ya, readers, karena menjelang malam hari lokasi ini sudah sepi dan gelap. Tidak heran banyak anak muda yang nekat menggunakan tempat ini untuk memadu kasih *ceileee*

Berhubung sepi, bisa sepuasnya foto-foto narsis :')
Selain menemui situs peninggalan sejarah ini, kita juga akan menemukan pemandangan spektakuler laut dan sebagian Kota Manado dari ketinggian. Siapkan kamera untuk mengabadikan keindahan ini! ;)

Kisah di balik Batu Kuangang? Berikut ini adalah hasil tulisan Pak Johan Mongisidi, seorang 'anak' Bantik asli yang berbaik hati menuliskan Hikayat Batu Kuangang untuk para pengunjungnya.

Hikayatnya: "Jopo Sumpabungang" dan "Jopo Lrimpodoi" adalah suami-isteri mempunyai dua orang anak, yang bernama Kondoi dan Jundoi. Keduanya adalah laki-laki.
Pekerjaan mereka adalah petani dan nelayan. Untuk perjalanan menuju ke kebun, terdengar anaknya yang bungsu. Maka istrinya berkata kepada suaminya kembali ke pondok (Bahasa Bantik: "Ke Gunggulang Ipopo"). Setibanya di pondok, ayahnya menenangkan Jundoi dengan mengatakan akan membuatkan mainan. Ada pun permainan yang dimaksud adalah membuat lubang diatas batu rata (Madempelre). Dengan kesaktiannya Jopo Sumpabungang bermohon kepada "Jopo Lramo Sang Pencipta" untuk membuat 17 buah lubang dengan menggunakan siku lengannya dan 17 buah butir batu bia (kerang) untuk permainan anaknya. Setelah selesai kedua orang tua pergi dan berpesan kepada Kondoi untuk menjaga adiknya baik-baik.

Pada tahun 1988, tim ahli purbakala yang dipimpin oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan RI melakukan penelitian atas situs tersebut. Hasil rekomendasi penelitian dari kajian lapangan oleh Bpk. Drs. Lika Tjandarasasmita, Dir. Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Dirjen Kebudayaan RI, menyimpulkan bahwa Batu Kuangang tersebut tercipta sekitar 2500 tahun yang lalu.

December 02, 2013

Sunset Hunting at Manado (2)

Lokasi : Pantai Malalayang (dekat Terminal Malalayang)
Waktu : 17.07 - 17.35 WITA












Iseng candid tiga bocah yang sok-sokan 'terjun' ke laut :D




Pisang gorengnya Pantai Malalayang emang beda! :9
Thanks to Kristo yang udah mau nganterin + nungguin sementara si nona cantik ini asik sendiri nge-autis :')