Aku kembali mendaftar walking tour bersama Jakarta Good Guide, kali ini dengan rute "Manggarai". Hari Sabtu, 20 November 2021, aku menemui para peserta dan guide di bawah JPO halte Transjakarta Pasar Rumput. Jumlah peserta pagi itu tidak seramai rute Pasar Baru, tapi juga tidak se-sedikit rute Senayan. Hanya ada satu guide yang bertugas, yaitu Mas Pampam. Orangnya seru, ceriwis, dan sangat mendetil dalam bercerita. Rute satu ini tergolong lama dan panjang, menurutku, dibandingkan keempat rute sebelumnya. Mungkin juga ditambah faktor cuaca yang sedang terik, jadi waktu 2 jam terasa lama bangeeet.
Post ini juga akan cukup panjang ya, readers, karena memang banyak sekali cerita dan sejarah yang kami pelajari selama tur ini. Ada 10 (sepuluh!) lokasi yang kami kunjungi di rute Manggarai ini, dan semuanya menyimpan cerita yang menarik.
Ingat Manggarai, ingat stasiun kereta |
Wilayah Manggarai sendiri sudah terkenal sejak abad ke-17. Awalnya merupakan tempat tinggal dan pasar budak asal Manggarai, Flores. Area yang masuk ke wilayah kota Meester Cornelis ini pun berkembang menjadi sebuah kampung. Asal nama "Manggarai" yang lain juga berasal dari pohon-pohon mangga yang pada masa kolonial Belanda banyak tumbuh di sekitar kawasan ini.
Mas Pampam pertama bercerita tentang rumah susun (rusun) Pasar Rumput yang tepat berada di belakang kami. Rusun ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021, dan membutuhkan total dana Rp970 miliar dalam pembangunannya. Terdapat total 1.984 rumah terbagi ke 25 lantai, di mana lantai 1 dan 2 adalah pasar. Warga yang tinggal di sini adalah korban gusuran, dengan syarat sudah menikah atau berkeluarga.
Khusyuk mendengar cerita Pasar Rumput |
Rusun Pasar Rumput |
Ngomong-ngomong... kenapa sih rusun ini bernama "Pasar Rumput"? Nah sekitar tahun 1970, tempat ini adalah pasar tiga lantai yang menjual berbagai bahan pokok dan kebutuhan rumah tangga. Sebelumnya, di sini adalah pasar yang menjual rumput. Rumput buat landscaping rumah? Bukan, rumput yang dijual adalah rumput makanan kuda karena lokasi ini dekat dengan Kota Weltevreden, di mana kawasan Menteng adalah kawasan perumahan elite dengan banyak kereta kuda. Di seberang rusun terdapat sungai. Dulu banyak yang berjualan barang bekas di situ. Lalu dipindahkan oleh pemerintah ke rusunawa.
Tidak jauh dari Rusun Pasar Rumput, terdapat Jalan Guntur yang dikenal karena adanya Markas Polisi Militer Kodam Jayakarta atau Pomdam Jaya. Kami tidak ke markas ini, tapi Mas Pampam menceritakan sekilas tentang sejarahnya. Tahun 1937 bangunan ini adalah mes dari Seinendan, tentara Jepang yang berisikan para pemuda. Kemudian sempat juga menjadi mes para perawat yang bekerja di rumah sakit Central Burgelijk Zienkenhuis (CBZ) atau kini dikenal sebagai RSCM.
Bangunan bersejarah lain di dekat sini adalah bekas bangunan penjara. Salah satu tahanan yang paling terkenal adalah AM Fatwa. Beliau adalah tokoh politik, pernah menjabat Wakil Ketua MPR dan dipenjara tahun 1980 karena melawan rezim Orde Baru. Sejak tahun 2012, bangunan itu difungsikan menjadi rumah tahanan KPK. Aku lupa deh di mana lokasi spesifiknya. Readers ada yang tahu?
Menyeberang ke kanal |
Dari rusun Pasar Rumput, kami naik melewati jembatan penyeberangan untuk melihat Jalan Sultan Agung dari atas. Jalan Sultan Agung dibangun oleh Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen. J. P. Coen adalah seorang pemuda Belanda yang belajar ilmu perdagangan di Roma. Di tahun 1606, dia bergabung dengan VOC lalu turut sebagai juru tulis dalam armada Kapten Pieter Verhoeff yang berlayar menuju timur. Perjalanan ini tidak berjalan mulus. Sang kapten dibunuh oleh orang-orang Banda, sedangkan Coen berhasil kabur dan kembali ke Belanda. Di usia 31 tahun, Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC. Dia langsung menyusun rencana kembali ke Banda untuk membalas dendam. Dengan disertai 100 orang ronin, Coen berlayar kembali ke timur di tahun 1621 dan membantai seluruh penduduk Banda. Warga yang masih selamat dibawanya ke Batavia, itulah asal mula "Kampung Banda". Cerita lengkap tentang J. P. Coen membantai Banda bisa dibaca di sini.
Kembali ke Jakarta. Pada tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Mereka pun mengubah nama kota menjadi Batavia konon karena wujud jalan (via) yang hancur akibat perang sehingga hanya tampak batu bata berserakan. Tahun 1628, Kesultanan Mataram yang dipimpin Sultan Agung menyerbu Batavia dan mencoba melawan VOC. Meski sempat kalah, namun penyerangan ini berhasil menewaskan sang gubernur sadis, J. P. Coen. Tidak ada yang tahu penyebab pasti kematiannya, namun pihak Belanda mengaku kematian Coen disebabkan wabah penyakit kolera.
Penyerbuan Batavia (sumber: Wikipedia) |
Balik lagi ke cerita tentang Manggarai. Di seberang rusun, terdapat sungai dengan aliran besar. Sungai ini adalah bagian dari Banjir Kanal Barat (BKB) yang sebenarnya mengalirkan air kolektif dari Kali Ciliwung dan Kali Condet. Sejarah penanggulangan banjir Jakarta sudah terjadi sejak zaman kolonial. Tahun 1873, Batavia diterjang banjir besar yang membuat pemerintah kolonial kalang kabut. Mereka pun mendirikan Burgerlijke Openbarre Werken (BOW) alias jawatan pekerjaan umum (PU). Nama BOW ini kerap diplesetkan sebagai Batavia Oonder Water alias Batavia di bawah air.
Banjir di Batavia - 1873 (sumber: VOI) |
BOW mempekerjakan seorang insinyur andal untuk merancang strategi penanganan banjir. Insinyur ini bernama Herman van Breen, seorang kelahiran Amsterdam yang dipercaya menjadi Kepala Kantor Pengairan Batavia pada tahun 1911. Van Breen, dalam konsepnya, akan membangun saluran penampung akhir di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, lalu akan dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Proyek ini dinamakan "Kanal Banjir Kalimalang", yang kini lebih dikenal sebagai BKB.
BKB membentang dari Pintu Air Manggarai dan berujung di kawasan Muara Angke. Selain jalur tersebut, sempat ada alternatif opsi yaitu dari Cawang ke Senayan, Grogol, hingga Angke. Pembangunan BKB terbagi atas dua tahap. Tahap pertama tahun 1913-1915, jalur kanal dibangun dari Kali Ciliwung sampai Krukut di Karet. Tahap kedua tahun 1915-1916 barulah dilanjutkan dari Karet menuju Muara Angke. Pembangunan kanal sepanjang 4,5 km ini sepenuhnya menggunakan tenaga manusia alias tidak dibantu alat berat. Dashyat sekali kan.
Mendengar cerita tentang Banjir Kanal Barat |
Sayangnya, sepuluh hari setelah pembangunan selesai, turunlah hujan 40 hari 40 malam dan menyebabkan banjir di seluruh kota. Memang sejak awal perencanaan, van Breen sudah menyampaikan bahwa BKB tidak akan menjamin Batavia bebas banjir, hanya bisa mengurangi risiko dan dampak. Harus ada upaya lain yang dilakukan termasuk segi non-infrastruktur. Sebagai penghargaan kepada Van Breen, dibuatkan sebuah prasasti yang hingga hari ini masih terpasang di Pintu Air Manggarai. Jalan di depan pintu air ini juga sempat dinamai "Van Breen Weg" (sekarang Jl. Latuharhari).
Kami selanjutnya berjalan sejauh 600 meter ke JPO Jayakarta yang terletak di pertigaan Manggarai-Saharjo, salah satu lokasi yang tak pernah sepi kendaraan. Aku sering lewat sini setiap perjalanan pulang dari diklat di Pancoran, dan akhirnya hari ini berkesempatan mengamatinya dari dekat. JPO ini sangat menarik perhatian karena tampilannya yang unik, sekilas jembatan ini terlihat mirip lengkungan tulang rusuk. JPO Jayakarta yang berukuran panjang 100 meter dan lebar 2 meter ini menghubungkan Jl. Sultan Agung dan Jl. Menteng Tenggulun.
JPO Jayakarta (sumber: Sindonews) |
Selain tampilannya, JPO ini juga unik dari sisi pendanaannya. Pembangunan JPO tidak menggunakan APBD -- kala itu zaman Plt. Gubernur Basuki Tjahja -- melainkan dari dana hibah Kodam Jaya. Sebelum ada JPO, warga dari Menteng Tenggulun menggunakan perahu getek untuk menyeberang. Tahun 2016 akhirnya JPO selesai dibangun dan langsung dimanfaatkan oleh warga sekitar. Karena banyaknya kasus tawuran di jembatan ini, pemda memasang CCTV di beberapa titik. Tapi kayaknya sih kameranya gak nyala ya...
Gemes banget itu ada typo "PenyeBRangan" hahaha |
Perjalanan berlanjut kembali ke salah satu pusat perbelanjaan yang tenar di kawasan Manggarai. Inilah dia Pasaraya Manggarai, hidup segan mati tak mau. Sebelum menjadi supermarket, lokasi ini merupakan zwembad alias swimbath atau kolam renang. Bulan Maret 1934 sebuah kolam renang yang besar dan modern dibuka untuk umum. Kala itu, zwembad Manggarai adalah kolam terbaik yang ada di Indonesia, bahkan sering digunakan untuk ajang lomba renang bahkan polo air.
Namun demikian, zwembad awalnya dikhususkan untuk masyarakat kulit putih. Kaum pribumi atau inlaander baru dibolehkan masuk di tahun 1953 atau 20 tahun setelah dibuka. Kolam renang ini mengawali terbentuknya organisasi atlet renang yaitu Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI/PBSI), dengan anggota a.l. Ria Tobing, Dahlia Tobing, dan Benyamin Idris.
| ||
Zwembad Manggarai (sumber: GNFI) |
Sejak tahun 1960, kolam renang Manggarai semakin sepi pengunjung karena banyak kolam-kolam renang baru yang didirikan di Jakarta. Akhirnya, tempat ini dialihfungsikan menjadi bioskop. Di tahun 1980, gedung kembali berubah fungsi menjadi pasar swalayan. Kala itu, kepemilikan lahan dan gedung berada pada Abdul Latief, seorang pengusaha asli Minang yang pada era Orde Baru menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja (1993-1998) dan Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998).
|
Semasa kuliah, Latief bekerja di toserba Sarinah. Dia mendapat kesempatan berangkat ke Tokyo untuk mempelajari manajemen toko Seibu di Jepang. Sepulangnya dari Jepang, Latief mengajukan konsep pemasaran baru untuk Sarinah sebagaimana yang dia pelajari, namun ditolak oleh manajemen Sarinah saat itu. Pada tahun 1981, Latief akhirnya mampu mendirikan toko swalayan sendiri yang diberi nama "Pasaraya". Toko ini mengusung konsep bisnis department store ala Seibu yang sayangnya kalah bersaing dengan mall-mall lain di Jakarta.
Kami melanjutkan perjalanan menuju bangunan paling terkenal se-Manggarai yaitu stasiun kereta. Dari Pasaraya, kami menaiki jembatan dan sempat mampir dulu melihat Terminal Bus Manggarai yang juga terkoneksi dengan Halte Transjakarta.
Jembatan ke Terminal Bus Manggarai |
Stasiun Manggarai adalah stasiun kereta api terbesar di DKI Jakarta dengan luas 2,47 hektar. Stasiun dibangun pada tahun 1914 dan selesai tanggal 1 Mei 1918, digawangi oleh arsitek Belanda Ir. J. van Gendt. Masih bisa dilihat bahwa tiang-tiang kayu jatinya masih asli, tidak pernah direnovasi sejak dibangun. Di Peron 1 dan 2 masih terdapat kayu asli, walaupun sudah bengkok dan miring dimakan zaman. Di dalam juga ada semacam display kaca yang menunjukkan lantai asli stasiun yang berwarna kuning.
Berbicara tentang sejarah perkeretaapian, Stasiun Manggarai tidak termasuk stasiun yang dibangun oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). NIS membangun stasiun-stasiun dan jalur kereta Batavia-Buitenzorg pada tahun 1873. Ada perusahaan lain mengambil alih jalur kereta Batavia di tahun 1913 yaitu Staatsspoor en Tramwegen (SS). Selain Batavia, SS juga menguasai jalur kereta di Meester Cornelis (wilayah Matraman-Jatinegara). Salah satu perubahan yang dilakukan SS untuk menata jalur kereta di kedua kota adalah membongkar Stasiun Bukit Duri dan membangun Stasiun Manggarai.
Stasiun Manggarai menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia. Pada 3 Januari 1946 sebuah kereta luar biasa (KLB) mengangkut rombongan Presiden Soekarno ke Yogyakarta. Ini adalah sebuah perjalanan rahasia yang dilakukan diam-diam agar tidak ketahuan oleh tentara NICA Belanda. Kereta diberangkatkan diam-diam dari Halte Pegangsaan kediaman Soekarno, lalu bergerak pelan dalam kondisi gelap gulita dari Stasiun Manggarai ke Klender dengan kecepatan 25 km/jam. Salah satu hasil perjuangan ini ialah pemindahan ibukota negara ke Yogyakarta selama 3 tahun.
Lokomotif C28 yang mengantar KLB ke Yogyakarta (sumber: Merahputih) |
Mas Pampam juga bercerita bahwa Stasiun Manggarai ini menyimpan cerita seram. Salah satunya kereta bekas kecelakaan Tragedi Bintaro yang ditaruh di depo Manggarai. Seringkali terdengar suara tangisan dari arah depo.
Jika readers mencari kuliner di sekitar stasiun, salah satu yang tidak boleh dilewatkan adalah Pisang Goreng Tanduk Mpok Nur di Manggarai. Pisang goreng ini sangat terkenal karena kelezatannya. Dibanderol harga Rp4.000 per buah, pisang goreng ini cukup besar dengan panjang sekitar 20 cm. Daging pisang yang lembut dan manis dibalut lapisan luar yang garing dan kriuk-kriuk, mantap sekali. Semakin mantap jika dimakan hangat-hangat. Sayangnya... saat kami datang, kios ini belum buka. Tapi aku cukup sering mencoba pisang goreng ternama ini.
Kami berjalan lagi ke arah Jalan Tambak untuk melihat sekilas 'bekas' pintu air Manggarai. Di ujung jalan, Mas Pampam menunjuk ke sebatang besi yang membujur, tertanam di tanah antara aspal. "Ini adalah bekas rel trem yang rutenya dari Salemba ke Sentiong," jelasnya. Wah awet sekali, coba aja masih ada trem, bisa jadi alternatif transportasi untuk mengurai kemacetan.
Ternyata ini bekas jalur trem! |
Perjalanan berlanjut ke daerah Menteng untuk melihat Rumah Masa Kecil Barack Obama. Rumah ini ditempati Obama pada tahun 1967-1971, setelah ibunya menikah dengan mahasiswa Indonesia, Lolo Soetoro, dan menetap di Jakarta. Rumah yang terletak di Jl. Taman Amir Hamzah No. 22 ini terlihat sederhana namun homey. Bangunannya memiliki arsitektur gaya Belanda dengan halaman yang luas dan pepohonan rindang. Di bagian teras, terdapat teralis yang unik dan menarik perhatian. Obama saat itu tinggal di bangunan paviliun yang terpisah dari bagian utama.
Obama menempati bagian paviliun |
Berfoto di depan rumah masa kecil Obama |
Menurut Pak Datta Abubakar, sang pemilik rumah saat ini, ketika Pemilu Amerika tahun 2009 rumah sempat ditawar hingga lima kali lipat harga pasar. Obama kecil bersekolah di SDN Menteng 01 Jalan Besuki biasanya diantar oleh seorang pembantu naik sepeda, atau menyetop becak dekat rumahnya. Oh ya, walking tour rute Menteng akan mengunjungi "SD Obama" itu.
Salah satu kisah yang terkenal adalah kisah percintaannya. Ketika bersekolah di Surakarta, Solo tahun 1927, dia berkenalan dengan Ilik Sundari, wanita yang kemudian sangat dia cintai dan menjadi sumber inspirasi karya-karyanya. Salah satu puisinya yang terkenal, "Buah Rindu", lahir dari kerinduan pada Sundari ketika dia kuliah di Batavia sedangkan Sundari di Lembang.
Percintaan ini harus kandas tahun 1935 ketika Amir dijodohkan oleh Sultan Langkat dengan anaknya Tengku Kamaliah. Dalam suatu revolusi sosial di Langkat (1946), seisi keluarga sultan ditangkap termasuk Amir. Mereka disuruh menggali lubang sendiri dan dikubur di sana. Jenazah Amir Hamzah dapat ditemukan dan dikenali karena gigi palsu yang digunakannya.
Hayo apa kepanjangan "RPTRA"? |
Patung Gusdur Kecil di Taman Amir Hamzah |
Destinasi terakhir walking tour Manggarai adalah sebuah rumah yang terletak di samping taman Amir Hamzah. Ini adalah rumah masa kecil presiden ke-4 kita, Abdurrahman Wahid. Rumah tersebut kini disebut Rumah Pergerakan: Griya Gus Dur. Salah satu anak Gus Dur mengelola tempat ini yaitu Alissa Wahid. Dari luar rumah ini tampak sederhana dan asri. Bagian dalam rumah didominasi warna hijau serta memberi nuansa khas Nahdlatul Ulama (NU). Rumah ini ditujukan sebagai tempat untuk belajar tentang pergerakan nasional dan toleransi beragama. Dulu Gus Dur sering dikunjungi oleh sejumlah tokoh-tokoh agama lain termasuk yang non-muslim.
Rumah Pergerakan Griya Gus Dur (sumber: 99co) |
Mas Pampam bercerita sekilas tentang sejarah keluarga Gus Dur. Ayah Gus Dur adalah Abdul Wahid Hasyim, sedangkan kakeknya adalah Muhammad Hasyim Asy'ari. Keduanya adalah tokoh penting dalam dunia politik dan agama Indonesia. Wahid Hasyim adalah menteri negara urusan agama pertama Indonesia, sekaligus menteri termuda saat itu (31 tahun). Di usia 23 tahun, beliau bahkan menjadi anggota BPUPKI termuda yaitu 23 tahun. Di usia 18 tahun, beliau sudah menunaikan ibadah haji. Ayahnya, Hasyim Asy'ari, adalah pendiri NU dan pahlawan nasional Indonesia. Salah satu tindakan kepahlawanannya adalah menerbitkan fatwa bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Terbitnya fatwa tersebut membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia melawan pihak sekutu.
Masjid Jami Matraman |
Tidak jauh dari taman Amir Hamzah terdapat Masjid Jami Matraman, tempat pertama yang digunakan oleh prajurit Kesultananan Mataram untuk berdoa ketika Perang Mataram tahun 1828-1829. Masjid dibangun pada tahun 1837 dan masih megah berdiri hingga saat ini.
Selesai sudah perjalanan tur Manggarai kali ini. Lumayan jauh dan lumayan capek. Aku senang sekali karena hari ini mendapat banyak ilmu baru: tentang banjir kanal barat, stasiun kereta, Amir Hamzah, dan silsilah keluarga Presiden Gus Dur. Gak sabar mau ikutan rute yang lain lagi, khususnya rute Menteng untuk melihat "sekolah Obama" hehehe.
Terima kasih sudah membaca, readers!
Kak kemana kok ga ngepost2 lagi
ReplyDeleteHalo, Kak, makasih udah mampir ke sini. Aku lagi fokus sama kantor nih jadi belum sempet nulis blog lagi.
DeleteSeneng deh ternyata ada yg nungguin tulisan aku :) Sehat-sehat yaa Kak!