November 29, 2024

36 Jam Menuju Marrakesh - Morocco Trip Pt. 1

Halo readers yang sangat kurindukan! Lama banget ya kita nggak ketemu di platform ini. Kalian gimana kabarnya? Semoga selalu sehat dan bahagia ya! *peluk satu-satu*

Kali ini aku mau memulai rangkaian ulasan perjalanan tentang... MAROKO! Destinasi ini adalah overseas trip terjauhku tahun ini. Oh berarti ada yang lebih deket? Adaaa hehe tapi I'll talk about it later ya. Aku ke Maroko pada musim gugur 2024 bersama seorang travelmate yang sangat sering kusebut di blog ini: Bang Supriadi. Jalan-jalan berdua doang apa serunya? Seru banget dong, yang pasti aku nggak perlu mengantre untuk jadi objek potretan Bang Adi yang selalu cakep hasilnya itu hahaha.

Nggak sabar mau ketemu Marrakesh


Yuk lah mari mulai cerita tentang perjalanan ke Maroko, negara pertamaku di benua Afrika 😍


DAY 1 - 9 NOVEMBER 2024

Aku memulai perjalanan dengan terbang dari Jakarta ke Singapura, sedangkan Bang Adi berangkat dari Denpasar. Perjalanan Bang Adi memang lebih jauh dan lebih lama, tapi tidak perlu khawatir karena beliau berangkat dengan nyaman berkat kelas bisnisnya hahaha. Dari Singapura barulah kami naik pesawat bersama menuju Casablanca, dengan terlebih dahulu transit di Jeddah - Arab Saudi.

Jika menghitung durasi penerbangan dan transit, aku menghabiskan 33 jam dari Jakarta untuk menginjakkan kaki di Maroko. Woah! Ini bahkan lama dari waktu perjalananku ke Eropa tahun lalu. Baru sekarang lah aku menyadari sejauh apa benua Afrika itu 😅

Rute penerbangan Jakarta-Casablanca


Belum berakhir di situ, aku dan Bang Adi masih harus berpindah kota menuju destinasi pertama kami yaitu kota Marrakesh. Genaplah total perjalananku menjadi 36 jam!

Anyway... Belum afdol rasanya kalau transit di Changi tanpa mengunjungi Jewel. Aku si penikmat air terjun tentunya selalu rindu melihat Jewel tiap mampir di bandara ini. Memang tidak pernah membosankan sih transit di Changi. Kita bisa jalan-jalan dari satu terminal ke terminal lain dengan mudah, asalkan punya waktu transit yang cukup. Banyak toko yang menarik dan ada saja instalasi apik di sekitar bandara; kemarin aku melihat dekorasi Hello Kitty sebelum gerbang keberangkatan internasional. 


Maskapai Garuda Indonesia mengantarku menuju Changi



Cantiknya instalasi toko LV di Bandara Changi


Mengingat ini merupakan perdana bagiku pelesir ke benua Afrika, aku sangat bersyukur melewatkannya bersama Bang Adi, travelmate yang bisa kuandalkan dan punya pemikiran serupa dalam beberapa hal. 

Salah satu contohnya adalah keputusan Bang Adi memakai lounge di bandara Jeddah. Sungguh mempermudah hidup karena kami bisa duduk santai menunggu boarding sambil mencicip makanan & minuman lounge sepuasnya. Yang terpenting sih kami jadi bisa memakai WiFi, soalnya WiFi bandara buluk banget, kalah sama WiFi di Casablanca apalagi Changi. 

"Wah, pasti mahal ya pakai lounge 3 jam?" Gratis dong HEHEHE. Kok bisa? Entahlah, the power of Bang Adi dan berbagai kartu kreditnya. Tapi hanya berlaku untuk satu kali kunjungan, alias tidak bisa diklaim lagi saat balik ke Singapura nanti. 

Readers di sini sudah pada follow akun Instagram-nya Bang Adi belum? 😆 Kalian bisa dapat banyak tawaran promo tiket pesawat, hotel, dan atraksi lho. Follow aja dulu, suatu saat nanti pasti butuh! 


Terima kasih Bang Adi untuk lounge gratisnya! 


Catatan penting soal transit di Jeddah: pastikan kalian membawa colokan kaki tiga ya, karena power outlet di Arab Saudi berbeda dengan Indonesia. Karena lupa membawa connector, kami baru bisa nge-charge di Casablanca. Untungnya Maroko pakai colokan tipe C seperti di Indonesia. 

 

DAY 2 - 10 NOVEMBER 2024

Sekitar pukul 13.00 (GMT+1) pesawat kami mendarat di bandara Casablanca Mohammed V (CMN) dengan mulus tanpa kendala. Proses imigrasi dan pengambilan bagasi pada dasarnya berjalan lancar. Itu pun berkat Bang Adi yang sudah menyiapkan berkas-berkas hotel dan tiket dalam bentuk printed alias dicetak fisik. Jadi ketika petugas imigrasi bertanya tentang tempat kami menginap dan rencana pulang, Bang Adi sigap langsung menyerahkan kertas-kertasnya. Aku melihat beberapa orang di jalur kiri dan kanan sempat tersendat karena tidak siap ketika ditanyai ini-itu.

Hal pertama yang kami lakukan setelah keluar bandara adalah mencari money exchange untuk menukarkan Euro yang kubawa dari Jakarta ke mata uang Maroko yaitu dirham. Menurut Bang Adi, kursnya lebih menguntungkan daripada langsung menukar rupiah ke dirham. Untungnya kami juga menemukan bank Al Barid ini yang mau membeli Euro di kisaran 10 dirham, saat money exchange lain pukul rata di angka 9 dirham.


Bank dengan kurs terbaik yang kami temukan di bandara

Sudah memegang lembaran dirham, kami pun beralih ke to-do-list kedua yaitu membeli kartu SIM lokal. Kios ini lebih mudah dicari karena ramai dihinggapi orang yang baru keluar dari arrival gate. Ada dua operator terkenal yang tersedia di bandara: Maroc Telecom dan Orange, pilihan kami jatuh pada yang pertama. Kalau dibandingkan, Maroc ini sekuat jaringannya Telkomsel alias di tengah gurun pun tetap ada sinyal. Memang teruji sih... ketika di Gurun Sahara, di tenda "luxury" yang tak ber-WiFi, aku masih bisa mengakses internet sepuasnya berkat Maroc Telecom. Oh ya, harga satu kartu SIM dengan kapasitas 20 GB adalah 200 dirham, belum termasuk tip 😏 (Nanti akan kuceritakan soal tip-mengetip ini)

Seperti yang kusebutkan di awal, kami masih harus melanjutkan perjalanan pindah kota. Dari bandara CMN kami membeli tiket kereta -- sejenis KRL lah -- menuju pusat kota, tepatnya ke stasiun Casa Voyageurs. Selanjutnya kami beli tiket lagi untuk kereta jarak jauh menuju Marrakesh. Harga tiket keretanya lumayan mahal juga ternyata... 96 dirham untuk si 'KRL' dan 160 dirham untuk jarak jauh. Kalau readers ada yang berencana naik kereta jarak jauh seperti kami, wajib perhatikan karcisnya ya apakah ada tulisan nomor kursi atau tidak. Meskipun dibeli berbarengan, nomor kursiku dan Bang Adi terpisah jauh bahkan beda gerbong. Alhasil selama 3 jam perjalanan aku tidak punya teman ngobrol. Untungnya pemandangan di luar jendela cakep, jadi aku bisa larut menikmati view dan foto-foto.


Tiket dari bandara ke kota Casablanca 


Sama aja kok kayak Indonesia: ramai dan berdesak-desakan


Bagian dalam kereta jarak jauh menuju Marrakesh


Banyak pemandangan gurun coklat sepanjang perjalanan


Pukul 16.00 (GMT+1) waktu setempat, tibalah kami di Marrakesh, sebuah kota di barat daya Maroko yang terkenal dengan pasar Berber terbesar dan merupakan kota perdagangan terbesar kedua setelah Casablanca. Meskipun ibukota Maroko adalah Rabat, Marrakesh justru adalah kota yang paling terkenal di kalangan wisatawan. 

"Lin, tadi menyebut 'Berber' itu apaan?" Penjelasan lengkapnya akan aku bahas di part 2 yaa, tapi pada intinya Berber adalah nama suku atau etnis asli Afrika yang paling banyak tersebar di Maroko dan Aljazair. Ada kisah menarik soal suku Berber ini, harap bersabar ya!

Gare du Marrakesh alias Stasiun Marrakesh


Petit Taxi, warnanya beda-beda di setiap kota
(Sumber: Morocco Cab)


Di kota Marrakesh ini kami pertama kali merasakan culture shock terkait taksi! Awalnya kami pikir, adaptasi yang perlu dilakukan hanyalah soal tawar-menawar tarif. Ternyata... kami pun harus terbiasa melihat taksi dicegat orang lain, bahkan saat kami sudah duduk di dalam! Misalnya, aku dan Bang Adi sudah naik taksi nih menuju titik A. Lalu dalam perjalanan, ada si Fulan mencegat taksi dan mau ke titik B. Jika kedua titik ini berdekatan, sopir taksi tetap akan mengambil si Fulan. Ada yang minta izin dulu, tapi seringnya tidak. Lagipula amat jarang sopir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Si Fulan tetap ditariki ongkos? Tentu saja! 

Jangan tanya aku kenapa sistemnya demikian hahaha. Sampai saat menulis cerita ini pun, aku masih terheran-heran. Padahal kalau dipikir-pikir si taksi merah ini adalah perusahaan taksi satu-satunya di Maroko, jadi mereka tidak perlu berebut penumpang. Pasti akan selalu ada konsumen tersedia. Jadi kenapa sih harus ngoyo mengambil penumpang yang beda grup???

Tarif taksi dari stasiun ke area hotel sebesar 50 dirham. Itu pun kami diturunkan di pom bensin Shell di Avenue El Mouahidine, karena mobil tidak diizinkan lewat di kawasan itu. Maka berjalan kaki lah kami menembus gang-gang sekitar 500 meter. Bang Adi terlihat sangat excited karena apiknya gang-gang Marrakesh dengan warna khas coklat dan merah. Di sepanjang gang banyak terlihat plang bertuliskan "Riad", artinya "hotel". Kalau readers mendadak ke Marrakesh dan tidak sempat memesan hotel online, rasa-rasanya akan mudah saja menemukan penginapan di sekitar lokasi ini. 


Aku paling suka mengamati motif pintu di Maroko


Kamar untuk satu malam di Marrakesh

Setelah cuci muka dan ganti baju, Bang Adi langsung mengajak pergi ke tempat paling nge-hits di Marrakesh: Jemaa al-Fnaa. Ini adalah nama pasar (souk) sekaligus alun-alun terbesar di Afrika yang menjadi highlight utama kota Marrakesh di mata dunia. Kurang afdal rasanya kalau ke Marrakesh tapi tidak main ke sini. Di Jemaa al-Fnaa ini kalian akan menemukan jejeran restoran, kios pop-up, pengamen... pokoknya begitu ramai manusia berlalu-lalang di lokasi ini.



Apa saja yang bisa kalian temukan di foto ini?

 

Cakepnya Jemaa el-Fna dari ketinggian 


Alun-alun Jemaa el-Fna yang didirikan pada abad ke-11 merupakan salah satu ruang budaya utama di Marrakesh. Tempat ini menjadi pusat unik tradisi budaya populer Maroko yang ditampilkan melalui ekspresi musik, agama, dan seni. Sepanjang hari hingga larut malam, kita bisa melihat berbagai macam atraksi: pengobatan tradisional, ramalan, jasa tato henna, permainan musik, hingga pemancingan khas pasar malam. Di pinggir-pinggirnya kita bisa mampir di kios buah, kudapan tradisional, dan masakan seafood. Sejumlah pertunjukan oleh pendongeng, penyair, pawang ular, musisi Berber (mazighen), penari Gnaoua, dan pemain senthir (hajouj) bisa kita nikmati di alun-alun ini. Tapi wajib berhati-hati dan menjaga barang bawaan, karena di keramaian seperti ini biasanya banyak copet dan scammer merajalela.


Kafe/restoran atap adalah yang paling laris di alun-alun ini 

Agar bisa menikmati Jemaa al-Fnaa sepenuhnya, kami mencari terrace cafe alias kafe/resto di atap yang bisa memberi pemandangan alun-alun dari ketinggian. Kafe pertama yang kami kunjungi adalah Le grand balcon du café glacier yang hanya menyediakan minuman saja. Karena kami datang pada waktu prime time alias menjelang sunset, tak heran kafe ini sudah ramai dengan pengunjung, baik yang duduk menikmati minuman ataupun sibuk mengambil foto dari tepi balkon berteralis.

Sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba ada satu pasangan yang memandangi kami dengan senyum manis. Menilai wajah dan perawakannya, aku hampir yakin mereka adalah orang Korea atau Jepang. Eh ternyata mereka orang Malaysia yang berbahasa Melayu sehingga bisa menangkap percakapanku dan Bang Adi sedari tadi. Ya ampun, kebetulan sekali! Di Maroko ini memang tidak begitu banyak turis Asia Tenggara, cukup 'kebanting' dengan jumlah turis Eropa. Karena mereka sudah nongkrong di kafe itu sedari tadi, mereka pun langsung menyerahkan meja-kursinya untuk kami tempati. Ah, suka banget deh sama 'persaudaraan' bangsa Asia! 

Dari kafe pertama, kami beralih mencari restoran untuk makan malam. Perut sudah mulai meronta minta diisi makanan padat yang bergizi. Setelah menelusuri beberapa restoran, pilihan kami jatuh pada Cafe Rouge yang tampaknya belum begitu ramai. Hidangannya pun tampak meyakinkan jika dilihat sekilas dari buku menu. "Kita cari 'tajine' yuk Erlin," pesan Bang Adi saat kami mulai menyeleksi restoran. Itu adalah menu khas Maroko yang paling populer. Oke deh, mari kita coba pesan. 

Sambil menunggu datangnya makanan, kami menonton matahari perlahan-lahan terbenam di barat. Cantiiik sekaliii~ Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa indahnya langit Maroko sore itu. Keriuhan musik dan suara pedagang di alun-alun pun seakan menambah meriah suasana. Aku kini tak heran kenapa banyak orang suka pada Marrakesh.
 

Menunggu matahari terbenam

 


Little did I know, makan malam kali ini akan menjadi makanan a la carte terakhir kami selama beberapa hari ke depan. Rupanya budaya di Maroko adalah full course meal alias hidangan lengkap mulai dari appetizer, main menu, dan ditutup dessert. Kami sebagai orang Indonesia yang biasanya langsung 'lompat' ke menu utama sering merasa kewalahan dengan sistem ini. Tapi nanti lah ya kusimpan ceritanya untuk part 3 nanti. Sekarang, mari nikmati dulu tajine lezat di hadapan ini.

"Tajine" sendiri adalah hidangan semur tradisional khas Afrika utara yang dimasak di panci/pot "tajine" yaitu pot tanah liat. Panci ini dimasak secara tradisional di atas arang panas, tapi modern ini juga bisa dimasak dalam oven atau di atas kompor. Karena asal namanya, tajine akan disajikan di meja makan langsung di atas pot tanah liat. 

Lauknya sendiri ada tiga jenis: mqualli (ayam dan jeruk), kefta (bakso daging sapi dan tomat), dan mrouzia (domba, plum, dan almond). Untuk malam ini aku memesan mqualli alias ayam dan Bang Adi memesan mrouzia alias daging domba. Selama tujuh hari di Maroko, menu makan siang/malam kami tidak jauh-jauh dari ketiga jenis tajine. Bosen gak sih tajine melulu? Sebenarnya rasanya enak, aku pun juga suka makan semur ayam dan daging di Indonesia. Tapi ya jujur ADA BANGET sih bosennya 😅  


  


Selama di Maroko, kami terbiasa mendengar istilah asing yang hampir selalu ada di setiap kota. Misalnya "riad" yang merujuk pada hotel, "madrassa" alias (yes, you guessed it correctly!) sekolah, dan "hammam" yang berarti bathhouse atau pemandian umum. 

Istilah lain yang populer adalah "medina" atau "madinah" alias pusat kota yang cenderung kecil, tua, dan bersejarah. Ini bertolak belakang dengan pusat kota modern seperti yang biasa kulihat di Jakarta. Kemudian ada "souk" alias pasar jalanan tradisional yang biasanya berada di dalam medina ataupun di luar tak jauh dari pusatnya. Souk sering kali berupa labirin jalan dan gang sempit, seringkali tidak bisa dilewati kendaraan kecuali gerobak atau satu-dua ekor keledai pengangkut barang. Lokasi kami malam ini, Jemaa al-Fnaa, adalah kawasan medina yang punya souk di dalamnya.

Aku dan Bang Adi memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di area souk atau pasar. Tujuan utamanya adalah untuk mencari kain selendang yang berfungsi sebagai turban saat tur Gurun Sahara. Mataku dikenyangkan dengan cantiknya kain, karpet, keramik, bahkan kudapan yang berwarna-warni. Rasanya ingin kupotret semua isi pasar... tapi memang banyak hal lebih baik dinikmati dengan mata telanjang saja. Aku dan Bang Adi mati-matian menahan diri untuk tidak belanja di sini. Masa baru hari pertama di Maroko udah borong sih? Hahaha. Kami pun 'hanya' membeli sehelai kain turban masing-masing seharga 50 dirham (=Rp1,600).



Perut sudah kenyang, badan sudah letih, maka sudah saatnya kami beristirahat. Aku dan Bang Adi memutuskan untuk langsung pulang ke hotel meskipun waktu 'baru' menunjukkan pukul 21:00. Besok pagi-pagi sekali kami harus bangun untuk naik mobil travel menuju kota selanjutnya. Ah, aku jadi nggak sabar ingin menceritakan kisahnya!

Terima kasih sudah mampir, readers, balik lagi nanti yaa untuk baca cerita Maroko part 2. Oh ya, mohon maaf kalau situs blog ini sering bermasalah, entah server-nya Blogger yang sedang gangguan atau akibat aku yang menganggurkan blog ini setahun lebih hahaha.

June 29, 2023

The Girls Reunited in Switzerland - Euro Trip 2023 Pt. 1

2023 pecah telor! Akhirnya aku bisa nulis blog lagi, tapi yang terutama... bisa traveling ke luar Indonesia lagi! Woo-hoo 👏 Aku memang belum berani untuk ke luar negeri lagi selama pandemi kemarin. Traveling sih udah tapi masih di sekitaran Indonesia aja. "Lho kok gak ada ceritanya di blog?" Ehm, gimana ya readers... jari-jariku udah kaku untuk memulai nulis cerita. Draft-nya udah banyak tapi gak ada satu pun yang selesai HAHAHA.

Anyway... kali ini aku pengen bercerita tentang Euro Trip 2023 kemarin. Aku akan memulai post ini dengan pernyataan: Tuhan tuh baik banget ya. Doaku saat trip solo tahun 2019 lalu dijawab Tuhan dengan begitu indah. Waktu itu, aku perdana menginjakkan kaki ke Swiss, negara yang langsung menjadi negara tercantik nomor satu yang pernah kusinggahi. Pertama kali mataku memandang alam Swiss, sebait doa langsung terucap di dalam hati. Doa itu pun terus kuulang selama 3 hari di sana: "Tuhan, boleh yaa 2-3 tahun nanti aku bisa ke sini lagi sama Mama."

Memang bukan 2-3 tahun setelah itu, karena dunia justru 'dipaksa istirahat' gara-gara pandemi. Tapi waktu Tuhan bukanlah waktu kita; waktu Tuhan adalah waktu yang terbaik. Akhirnya di akhir tahun 2022 kemarin, doaku seperti dijawab-Nya dengan: "Ya, boleh Erlin, tahun depan kalian boleh ke Swiss" 💖

Waktu Tuhan emang yang terbaik!

June 20, 2022

Manggarai - Jakarta Walking Tour Series #5

Aku kembali mendaftar walking tour bersama Jakarta Good Guide, kali ini dengan rute "Manggarai". Hari Sabtu, 20 November 2021, aku menemui para peserta dan guide di bawah JPO halte Transjakarta Pasar Rumput. Jumlah peserta pagi itu tidak seramai rute Pasar Baru, tapi juga tidak se-sedikit rute Senayan. Hanya ada satu guide yang bertugas, yaitu Mas Pampam. Orangnya seru, ceriwis, dan sangat mendetil dalam bercerita. Rute satu ini tergolong lama dan panjang, menurutku, dibandingkan keempat rute sebelumnya. Mungkin juga ditambah faktor cuaca yang sedang terik, jadi waktu 2 jam terasa lama bangeeet. 

Post ini juga akan cukup panjang ya, readers, karena memang banyak sekali cerita dan sejarah yang kami pelajari selama tur ini. Ada 10 (sepuluh!) lokasi yang kami kunjungi di rute Manggarai ini, dan semuanya menyimpan cerita yang menarik.

...
Ingat Manggarai, ingat stasiun kereta

May 23, 2022

Sehari di Pangalengan: Wisata Kebun Teh dan Arung Jeram

Halo, readers! Ini akan jadi post paling cepat di tahun 2022 karena hanya berselang 9 hari saja pasca-trip. Harap maklum ya, kakiku memang lebih cepat melangkah daripada jariku mengetik. Aku masih berutang banyak cerita, baik walking tours maupun one day trips lainnya.

Rafting di Pangalengan

Kali ini aku akan bercerita tentang pengalamanku ODT ke Pangalengan, Jawa Barat. Trip ini berlangsung hari Sabtu, 14 Mei 2022 dan diselenggarakan oleh Backpacker Jakarta, sebuah komunitas backpacker yang giat mengadakan perjalanan bersistem cost sharing. Aku akan membahas soal biayanya di bagian akhir reviu. FYI aja ya readers, reviu ini akan sangat biased berdasarkan pengalamanku, jadi akan banyak sudut pandang negatif. Tetap pakai kepala dingin yaa saat membaca, kalo bisa sih fokus aja sama keindahan tempat wisata & keseruan di Pangalengan hahaha.

April 18, 2022

Senayan - Jakarta Walking Tour Series #4

Hanya berjelang satu hari, aku kembali mendaftar ikut walking tour bersama Jakarta Good Guide ke kawasan olahraga paling terkenal se-Jakarta raya. Apakah dia? Yak betul GOR Bulungan GBK Senayan! Hari Minggu, 14 November 2021 aku mendaftar untuk ikut rute Senayan pukul 09.00 pagi. Sebenarnya, sebelum pandemi rute ini diselenggarakan sore hari dan mengusung judul "Senja di Senayan". Katanya sih pemandangan langit senja Jakarta tampak sangat indah dari area olahraga ini.

Kali ini, aku tidak sendirian readers. Aku berhasil menambah 'downline' nih di JGG, hahaha. Perkenalkan, Dwi Wijayanto, teman dari semasa kuliah (dan kini juga sekantor) yang akan menemaniku walking tour di Senayan pagi ini. Aku dan Dwi janjian bertemu langsung di meeting point yaitu TVRI yang terletak di Jalan Gerbang Pemuda No. 8. 

Pagi itu, jumlah peserta yang sudah hadir tidak begitu banyak, sekitar 10 orang saja. Sedangkan guide yang hadir ada dua orang, salah satunya Mas Huans yang jadi guide-ku di tur Matraman dan Pasar Baru sebelumnya. Sepertinya rute Senayan ini memang bukan termasuk rute favorit, jika dilihat dari jumlah peserta. Tidak masalah... aku justru senang, karena bisa lebih fokus mendengarkan cerita selama tur.

Grup Senayan Tour bersama Mas Huans

December 10, 2021

Pasar Baru Pt. 2 - Jakarta Walking Tour Series #3

Dari Jalan Antara, Mas Huans memimpin rombongan kami menuju Pasar Baru yang pada umumnya dikenal orang. Pasar Baru ini pada masanya adalah pusat perbelanjaan kaum elite, selevel Plaza Indonesia dan Pacific Place. Kalau mau dianggap sosialita, belanjanya harus di Passer Baroe. Biasanya pelanggan di Pasar Baru adalah orang-orang Belanda yang tinggal di Weltevreden.

Trivia dikit nih, readers. Pasar Baru kan ada di sini yaa, nah emang 'pasar lama' ada di mana? Rupanya pasar lama itu mengacu pada Pasar Senen dan Pasar Sabtu (sekarang Tanah Abang) yang ada sejak tahun 1730-an. Trivia lain, nama Kalijodo mengacu pada pesta rakyat zaman dulu bernama "Festival Pengcun" yang merupakan ajang para muda-mudi mencari jodoh. Sayangnya kemudian ajang ini disalahgunakan menjadi prostitusi. Sedangkan nama "Mangga Besar" dan "Sawah Besar" memang karena kedua kawasan itu dulunya adalah daerah pertanian.

Kami berkumpul di depan gerbang masuk Pasar Baru yang khas itu. Angka 1820 tertera besar di depan gerbang, menandakan tahun berdirinya pusat perbelanjaan ini. Toko-toko di sini dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok dan Eropa. Sebagaimana telah dijelaskan di Part 1, mayoritas penghuni kawasan ini adalah para pedagang yaitu warga keturunan Tiongkok, Arab, dan India. Tak heran di dalam Pasar Baru juga terdapat vihara dan kuil yang salah satunya akan kami singgahi di tur kali ini.

Vihara di sudut terdalam Pasar Baru

December 06, 2021

Pasar Baru Pt. 1 - Jakarta Walking Tour Series #3

Benar saja dugaanku, walking tour bersama Jakarta Good Guide itu emang jadi adiksi. Sekali ikut, pasti akan ikut lagi dan lagi alias ga cukup sekali saja 😂 Minggu ini aku kembali mendaftar tur JGG dua kali, hari Sabtu dan Minggu pagi. Kenapa? Karena memang seadiktif itu, readers, serupa main ke museum tapi sekaligus menjelajah. Jika beruntung, bisa menemukan tempat kuliner yang enak dan tempat nongkrong yang asyik. 

Hari ini, Sabtu, 13 November 2021, aku menemukan keduanya dari hasil tur Pasar Baru. Belum lengkap rasanya ikut tur JGG kalau tidak diiringi 'belajar' sejarah dan fun facts baru, salah satunya lokasi kantor berita yang sering muncul di Teka Teki Silang! Wah, kok seru banget? Banyak tempat menarik ya di Pasar Baru, selain jejeran toko sepatu dan lapak barang-barang murah?  Iya dong! Makanya tetap membaca blog ini yaa, simak hasil jelajah kami pagi itu 😁


Ikonnya Pasar Baru

November 19, 2021

Matraman - Jakarta Walking Tour Series #2

Puas dengan walking tour bersama Jakarta Good Guide sebelumnya, aku putuskan untuk ikut tur lagi di minggu ini. Dari seluruh rute yang diumumkan, aku memilih untuk ikut Tur Matraman. Kenapa? Karena lokasinya yang dekat dari tempat tinggalku, hahaha. Selain itu aku penasaran juga, emang ada apa di Matraman, kok sampai diadakan tur? Seumur-umur di Jakarta, aku hanya tahu flyover dan toko buku Gramedia di Matraman.

Ada apa sih di Matraman selain Gramedia?

November 15, 2021

Glodok - Jakarta Walking Tour Series #1

Tinggal di Jakarta selama lebih dari lima tahun tidak serta-merta membuatku kenal seluk beluk Jakarta, atau bahkan mengetahui seluruh kisah tentang ibukota bersejarah ini. Suatu hari, seorang teman di Instagram mem-post perjalanannya bersama Jakarta Good Guide. Wah! Menarik sekali! Siapa mereka? Jakarta Good Guide alias JGG adalah sebuah layanan tur keliling Jakarta yang bersifat pay as you wish alias "terserah bayar berapa". Mereka memiliki 30 rute melingkupi Jakarta Utara, Barat, Timur, Selatan, dan Pusat yang beroperasi setiap akhir pekan (weekend). Lho kok wiken doang, mau dong hari Senin-Jumat juga! Boleh banget, kawan! Mereka juga melayani permintaan private tour kok, monggo langsung cek blog atau Instagramnya di @jktgoodguide.

Sekitar satu bulan setelah aku mem-follow JGG, akhirnya kesempatan untuk bergabung datang juga. Kupastikan seluruh kerjaan kantor dan skripsi rampung terlebih dahulu, barulah mendaftar ikut tur. Males banget kan kalau tiba-tiba aku harus membatalkan agenda menarik ini karena ada revisi Bab 4, atau dapat penugasan lembur ikut rapat 😅 

Minggu, 17 Oktober 2021 adalah kali pertama bagiku ikut walking tour bersama JGG. Tur spesial  ini diberi nama "A Walk To Understand: Going Around Glodok" yang merupakan kolaborasi JGG dengan 100 Persen Manusia, sebuah festival film yang mengutamakan isu-isu kemanusiaan. Kalau biasanya walking tour JGG bersifat pay as you wish, tur Glodok ini berbayar Rp100 ribu yang akan digunakan untuk program kerja 100 Persen Manusia. Ini juga yang bikin aku tertarik bergabung, karena ada commitment fee-nya. Kalau sudah bayar duluan gini, aku akan merasa lebih committed dan tidak mengalah pada rasa malas yang bisa saja tiba-tiba datang di hari H 😆 

Oke, sekian panjang latar belakang dari walking tour bersama JGG, marilah kita masuk pada ulasan perjalanan tur Glodok selama 1 jam 45 menit. Let's get started!

Salah satu destinasi, Wihara Dharma Bakti

10 orang peserta walking tour hari ini


October 31, 2020

Halloween di Universal Studio Singapore

Halo, Readers! Selamat gajian bagi yang gajiannya akhir bulan, dan selamat menanti bagi yang gajiannya baru hari Senin besok 😆 Tanggal hari ini, 31 Oktober, populer dikenal orang sebagai perayaan Halloween, suatu tradisi di mana orang-orang menggunakan kostum (biasanya seram/menakutkan), dan anak-anak pergi ke tetangga sekitar untuk "Trick or Treat!" alias meminta permen/coklat. Indonesia tentu saja tidak mengenal tradisi ini. Tidak ada istilah pumpkin carving atau mengukir buah labu menjadi Jack O'Lantern yang 'menyeramkan', di mana-mana labu yah untuk dimakan. Sudahlah... pandemi ini cukup menyeramkan, tak perlu lagi ditambah Halloween 😅

Sepanjang 27 tahun hidup, baru sekali aku 'merayakan' Halloween. Tepatnya satu tahun lalu. Lama juga yaa sudah satu tahun hehehe kok rasanya baru kemarin kami capek ketawa-ketiwi habis dari rumah hantu... Perencanaan dimulai tanggal 13 Agustus, di mana sang kepala suku, Bang Supriadi, mengirim chat: "Erlin, ke Singapore yuk Halloween". Rupanya beliau baru melihat ada diskon menarik untuk tiket Universal Studio Singapore sepanjang akhir Oktober. Sikattt!

Halloween in USS!

Tentunya aku bukan anggota tunggal Adi Tours & Travel kali ini, ada dua orang lagi: Kak Novrani Sitohang dan Yosafat Probo Kuncoro. Wah dream team banget! Bersama mereka bertiga, aku sudah pernah melanglang buana ke berbagai penjuru. Readers bisa cari nama mereka di blog ini, bertebaran di mana-mana! Hahaha. "Bang, apakah di USS akan ada pocong dan kuntilanak? Ntar sama pulak kayak rumah hantu di Kemayoran," tanya Kak Vani. "Kayaknya gak diimpor, Van, kurang berkelas mereka." OH BAIK. Makin ga sabar, penasaran bagaimana penampakan "hantu berkelas" di USS nanti 👻

The squad!


Tiket Universal Studio segera dibeli. Harganya Rp470 ribu per orang, diskon 30% dari harga awal Rp650 ribu. Lebih awal lagi, tiket pesawat Singapore Airlines sudah diamankan Bang Adi untuk kami berempat, tepat setelah dia mengirim japri WA tanggal 13 Agustus. GERCEP SEKALI. Harganya? Ehm, cuma Rp500 ribu saja untuk return flights. Jauh lebih mahal harga tiketku mudik ke Manado 😭

Sabtu, 26 Oktober 2019

Aku dan Bang Adi memulai perjalanan dengan naik Damri dari Stasiun Gambir pukul 05.00 pagi. Kami sama-sama hanya berbekal ransel kecil, seakan-akan cuma mau nge-mall di Grand Indonesia. Hahaha. Makin 'tua' emang makin pengen menikmati momen aja, gak mau ribet-ribet ngurusin outfit dan tetek-bengeknya. Toh cuma dua hari ini di negara tetangga.

Kayak cuma nge-mall ya...

Kami bertemu dengan Kak Vani dan Yosa di bandara, keduanya masih tampak mengantuk. Gak pa-pa... toh nanti bisa tidur di pesawat, bangun untuk menikmati sarapan khas maskapai bintang lima, lalu tidur lagi sampai mendarat di Bandara Changi. Pesawat kami lepas landas tepat pukul 07.55 WIB dan mendarat pukul 10.45 waktu Singapura.

"Kita ke USS-nya baru jam 7 malam ya. Keliling-keliling dulu nanti," info Bang Adi.
"Siap!" serentak kami jawab, walaupun belum terlintas di otak hendak ke mana siang-siang di Singapura.
"Btw emang pada berani nanti lihat hantu?" agak telat yah Bang Adi menanyakan ini. Udah di bandara lho, tiket udah terbeli. Gak mungkin dong tiba-tiba kita jual di IG Story atau Status WA.
"Lho aku malah suka, Bang," jawabku.
Dengan senyum manis direspon Bang Adi: "Padahal udah tiap hari liat di cermin ya Erlin." 😭😭

Entah yang ini lagi ngetawain topik yang mana~

Yang paling excited melihat Bandara Changi, tidak lain dan tidak bukan, adalah si anak bungsu. Yosa baru kali ini menginjak Changi. Aku dan Bang Adi pun semangat menyeretnya menuju Jewel, lokasi favorit para turis yang mendarat/transit di bandara ini. Lumayan lah, satu jam berlalu untuk foto-foto.


Kenapa kita gak foto tiduran kayak edak di belakang itu, guys? 


Dari Jewel, kami beranjak ke Crown Plaza Hotel di Terminal 3 untuk menjemput fasilitas modem gratis yang disediakan oleh Hotspot Connect untuk penumpang SilkAir dan Singapore Airlines. Modemnya gratis untuk 3D2N + 2GB, bisa terhubung up to 5 devices dengan daya tahan 8 jam sekali charge. Aku kurang tahu apakah saat ini penawarannya masih ada, tapi jika masih ada pastikan readers memesan dari jauh-jauh hari yaa karena kuotanya cukup terbatas.

Petugasnya sangat ramah dalam menjelaskan cara penggunaan

Penyelamat hidup! Gak perlu ribet nyalain roaming~

Usai menjemput dan meng-install modem, kami putuskan untuk mencoba check-in hotel. Bang Adi menyarankan untuk naik Grabcar saja dari Crown Plaza. Kalau beramai-ramai seperti ini, moda transportasi Grabcar memang jadi pilihan ternyaman. Tak perlu jalan kaki jauh ke stasiun MRT atau terminal bus dan biayanya pun terjangkau karena dibagi berempat.

Puji Tuhan, resepsionis di V Lavender Hotel mengizinkan kami check-in lebih awal. Mereka bahkan meng-upgrade kamar kami dari yang tipe Superior menjadi Triple Room karena padatnya tamu. Bang Adi memang tak pernah salah dalam memilih akomodasi berkualitas hihihi.
Aku dan Kak Vani langsung berbaring di kasur, meluruskan tulang punggung sembari nonton dan mengobrol tentang kehidupan *duileh* Baru beberapa menit masuk kamar, hujan mulai turun cukup deras. Wah cuaca pasti bakal adem sore ini, pas sekali untuk jalan-jalan sebelum ke USS. "Dek, kok aku giliran udah di hotel malah nggak bisa tidur ya?" Kak Vani beretoris. Tapi beberapa menit kemudian matanya terpejam, membiarkan aku bengong sendiri memandangi hujan. Hahaha. 

"Ayok cari makan, guys." Chat dari Bang Adi seketika membangunkan kami. Untuk makan siang, kami jalan kaki sedikit ke Aperia Mall. Pilihan jatuh kepada Subway memang sudah jadi 'menu wajib' bagi Bang Adi tiap traveling ke Singapura. Sudah kenyang, perjalanan berlanjut dengan MRT dari Stasiun Lavender yang persis berada di depan hotel. Ehm... bayar MRT di Singapura bisa pakai kartu debit Jenius lho 😍 Gak usah panik kalau tidak bawa uang cash atau belum punya Tourist Pass.

Tiga duta Jenius dan satu impostor hahaha


Sempat pula photoshoot di dalam kereta

Destinasi pertama hari ini adalah Merlion Park yang kami tempuh dengan jalan kaki sejauh 6,3 KM dari hotel. Hujan siang tadi membuat cuaca terasa sejuk, namun harus hati-hati melangkah karena takut terciprat genangan air. Sepanjang perjalanan aku terus mengagumi deretan gedung-gedung pencakar langit di kawasan Fullerton, titik berputarnya perekonomian Singapura. Inilah area bisnis yang ramai dikunjungi wisatawan karena adanya Merlion. Anyway... baru sekarang aku tahu bahwa ada 'anak patung' Merlion, tidak jauh dari patung utamanya. Readers pada tahu juga kah?






Waktu masih menunjukkan pukul 17.15 sore, masih terlalu dini untuk menikmati Halloween. Kami pun kembali mencari lokasi wisata terdekat sekalian restoran yang oke untuk makan malam. Dengan bus, kami menuju kawasan Bugis. Foto di bawah ini adalah Spiral Staircase yang pernah viral di Instagram. Sumpah, ketemunya gak sengaja! Hahaha. Aslinya kami mau langsung menuju Haji Lane tapi malah nyasar dan keluar-masuk gang di kawasan Bugis. Jika ingin ke sini, readers cukup mencari Bugis Village (ada KFC di depan Bugis Village). Nah, gang ini berada tepat di belakangnya.


Setelah memperbaiki titik destinasi di Google Maps, kami akhirnya tiba dengan selamat sentausa di Haji Lane. Ini kawasan hipster super terkenal yang jadi incaran turis karena mural-mural indahnya. Kalau mau berlama-lama, wajib nongkrong sekalian di salah satu kafe, karena waiter/waitress-nya tidak mengizinkan kita photoshoot tanpa memesan makanan-minuman. Foto-foto di sini memang melatih kesabaran dan ketangkasan menjepret kamera. Lengah dikit saja, belasan turis sudah ramai menjadi photo bomber.


Kok jadi kayak prewedding gitu kita, Kak?


Jika punya waktu luang, sempatkan juga mampir ke Masjid Sultan, masjid terbesar dan tertua yang didirikan pada tahun 1824 untuk sultan pertama Singapura. Eksterior masjid begitu indah karena kontras fasad putih dan kubah emasnya. Di malam hari, kubah-kubahnya tampak megah bercahaya. Kami makan malam di Zam Zam Restaurant depan masjid yang terkenal dengan sajian nasi briyani lezatnya.



Highlight of the trip akhirnya tiba: Universal Studio Singapore! 😍 Aslinya aku bukan penikmat theme park, apalagi kalau harus mengeluarkan uang jutaan hanya untuk menikmati beberapa wahana. Tapi karena bersama tiga orang ini, kegiranganku tak bisa ditutupi. Kyaaa! Gak sabar pengen ketemu hantu! Hahahaha.




Kami masuk ke tiga wahana malam itu. Curse of the Naga, wahana rumah berhantu yang terinspirasi dari film horor Thailand yang terkenal, sutradaranya sama dengan film "Shutter" dan "Phobia", mampus gak tuh gimana gak seram coba. Hell Block 9, konsepnya adalah penjara gelap dan kotor yang penuh siksaan para penjaga dan teriakan kesakitan para napi. Baru masuk pintunya aja, kami udah disambut dengan suasana mencekam dapur penjara. Banyak darah, banyak pisau 😫 Terakhir adalah favoritku, Transformers the Ride: 3D

Pakai kacamata 3D biar puas menikmati Transformers Ride

Seru sekali, readers, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata! Aku puas berteriak sepanjang malam. Teriak karena kaget dan teriak karena... melepaskan stress? Hahaha. Para aktor dan aktris "hantu"-nya sangat profesional, mereka sekadar mengagetkan saja tanpa berusaha menyentuh pengunjung. Sound effect dan lighting-nya pun sempurna. Jelas lah ya... sekelas Universal Studio gitu lho. Kurangnya cuma satu sih: antriannya! Buset. Panjangnya ngalah-ngalahin antrian launching iPhone 😭 


"Death Fest" para musisi metal yang 'bangkit dari kematian'


Kami akhirnya memutuskan pulang saat jam tangan menunjukkan pukul 01.00 dini hari, 30 menit sebelum USS tutup. Kami sempat panik karena tidak ada Grabcar yang terdeteksi di sekitar Sentosa Island. Puji Tuhan, masih ada bus yang beroperasi menuju Downtown. Bang Adi dan Yosa tampak tepar akibat berdiri di antrian selama berjam-jam.
 



Minggu, 27 Oktober 2019

Hari kedua sekaligus terakhir! Pesawat yang akan membawa kami pulang nanti berangkat pukul 17:20 sore, masih ada cukup waktu untuk beli oleh-oleh dan mampir ke satu destinasi lagi. Untuk oleh-oleh, kami memborong jajanan di Mustafa Centre. Namun sebelumnya, kami pelesir dulu ke salah satu daerah touristic yang view-nya ke Marina Bay. Apa itu? Aku pun tidak ingat 😅 Pokoknya berikut ini foto-fotonya...




Di depan lensa

Di balik lensa: umbrella girl dengan payung rusak sigap melindungi fotografer

Kehebohan terakhir terjadi di bandara, tepatnya di gerbang imigrasi yang sudah memakai Autogate. Tujuannya meringkas proses imigrasi, eh mesinnya lemot banget. Alhasil aku, Kak Vani, dan Yosa mengantri satu jam hanya untuk keluar imigrasi Soekarno Hatta. Bang Adi yang paspornya "anti-Autogate" mencecar kami dari kejauhan. "Aku udah sengaja ke toilet sampe tiga jam, kalian masih aja ngantri." 😂😂😂 Terima kasih banyak Bang Adi, Kak Vani, dan Yosa untuk short escape (meminjam istilahnya Yosa) ini. Terima kasih sudah membuat rahang saya mulai retak akibat terlalu sering ketawa dan teriak heboh. Gak pa-pa lah ya Halloween tahun ini kita berdiam diri di Indonesia tercinta. Sekalian nabung biar bisa langsung ke Universal Studio Amerika! Wkwkwk. Ada amen?

***

Expense List

Tiket pesawat --- Rp500 ribu PP
Tiket USS Halloween Horror Nights --- Rp470 ribu
Hotel V Lavender --- Rp600 ribu per kamar (300K per orang)
Makan + Grabcar --- Rp470ribu per orang
TOTAL: Rp1,74 juta/org