Pertama kali Bang Adi menawarkan tiket promo untuk Europe Trip 2018 ini satu tahun yang lalu, aku sempat ragu pas tahu bahwa kami harus pulang dari Helsinki, Finlandia. Udah kota satu ini asing banget, tak pernah masuk dalam "Must-Visit List"-ku, yang paling bikin pusing... itu tiket pesawat dari Amsterdam ataupun Paris mahal semuaaaa! Maunya sih jangan Helsinki lah, mbok kota lain gituu yang masih bisa ditempuh dari Amsterdam dengan kereta atau bus.
Dasar aku anaknya gampang terpikat, mudah dibikin bahagia... eh malah jatuh cinta dong sama Helsinki, beberapa menit setelah keluar dari bandara. Hahaha. Hingga waktunya pulang, baru deh nyesel kenapa cuma menyiapkan 1 hari di Helsinki. Kalau 2-3 hari waktunya cukup untuk eksplorasi ke The Esplanadi, Market Square, Gereja Temppeliaukio (artinya "batu".red), Benteng Suomenlinna, Museum Seni Atenema, Museum Kiasma, bahkan main ke Kota Tua Proovo ang berjarak 50 km dari Helsinki.
Untuk kali ini, cukuplah aku dan Mama pesiar beberapa jam saja ke pusat kota, menyambangi Senate Square dan Helsinki Cathedral. Yang paling penting, mengabadikan ratusan momen perdana Mama ketemu salju! :)
Penerbangan dari Amsterdam kami tempuh selama 2 jam 30 menit dengan maskapai Transavia. Zona waktu di sini adalah GMT+3, lebih cepat 2 jam dari Belanda yang berzona waktu GMT+1. Pesawat kami mendarat jam 10.10 pagi, waktu yang sangat pas sebenarnya untuk mulai jelajah kota dan eksplorasi tempat-tempat wisata asyik di Helsinki. Tapi mengingat kami hanya tidur 3 jam (bahkan kurang) rasanya kok ya lebih enak bobo cantik dulu di hotel. Di luar jendela sudah terlihat putih salju menyelimuti Kota Helsinki. Kyaaa akhirnya ketemu salju lagi setelah 1 tahun!
Menurut Google Maps (yang versi offline-nya sudah kuunduh karena XLPass tidak mencakup negara Finlandia) cara tercepat menuju hotel kami adalah dengan naik bus dari bandara. Oke. Aku tidak meragukan informasi tersebut, lagipula tidak ada bagian information center yang bisa ditanyai di bandara. Bandara ini terkesan sepiiii sekali. Saking sepinya, aku dan Mama menjadi satu-satunya penumpang dalam bus rute Bandara-Vantaa. Woah.
|
Penyalur mobil Audi di seberang Bandara Helsinki /
Audi cars dealer in front of Helsinki Airport |
Foto diatas sudah lumayan menggambarkan dua hal tentang Helsinki, kan? Bersalju dan sepi. Hahaha. Bangunan dalam foto itu membuat aku langsung teringat pada Om Freek. Beberapa kali beliau curcol (curhat colongan.red) tentang impiannya membeli mobil elektrik Audi, merk mobil favoritnya.
Ngomong-ngomong tentang mobil... aku ingin berbagi ilmu lain yang kudapat dari Om Freek waktu di Belanda. Mengemudi di Belanda itu rasanya nikmat sekali, Readers, sama sekali tidak ada klakson terdengar. Orang-orang sangat tertib menaati rambu lalu lintas, termasuk juga Om Freek. Setiap kali ada rambu penentu kecepatan, dia sigap menambah atau mengurangi tekanan di pedal gas. Jika ingin berpindah lajur, Om Freek tak lupa menyalakan lampu sein lalu menengok kaca spion sebelum akhirnya memutar setir ke lajur sebelah. "Inilah kenapa aku tidak bisa menyetir di Indonesia. Orang-orang terus menerus ingin menyalip, mereka tidak punya lajurnya sendiri. Beda sekali dengan di sini. Belum lagi motor-motor yang tumpang tindih." Setuju banget, sih. Satu hal lagi yang kukagumi dari ketertiban pengemudi di Belanda adalah mereka selalu berhenti dan memberikan jalan tiap kali ada orang yang akan menyeberang di zebra cross.
|
Clarion Hotel Helsinki Airport |
Aku memutuskan untuk tinggal di penginapan terdekat dari bandara. Ketemulah si Clarion Hotel Helsinki Airport yang hanya berjarak 2,9 km dari bandara dan bisa ditempuh selama 10 menit dengan bus/subway. Readers yang ingin hidup hemat di Helsinki sebaiknya carilah penginapan di pusat kota, dijamin lebih murah. Aku sih lumayan memberi kelonggaran bagi anggaran kami, jadi harga hotel ini tidak terlalu menjadi masalah. Ditambah lagi aku dan Mama sudah punya beberapa pengalaman telat bangun sampai mepet waktu penerbangan hahaha, jadi penting sekali untuk menginap dekat bandara.
Yang paling kusuka dari hotel Clarion adalah lokasinya yang begitu strategis, cuma 3 menit jalan kaki dari stasiun subway Aviapolis maupun halte bus Mekaanikontie. Hotel ini juga berbatasan langsung dengan area hutan pohon pinus. Jangan heran ya kalo mayoritas sesi foto aku dan Mama dilakukan di 'halaman belakang' hotel Clarion saja hihihi.
|
Pemandangan dari kamar kami / The view outside our room's window |
Mama dan aku memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu selama beberapa jam, sebelum nanti keluar ke pusat kota dan mencari beberapa buah tangan untuk koleksi pribadi. (Aku: snowglobe, Mama: magnet) Ternyata kami capek sekali sampai-sampai ketiduran hingga 5 jam! Hahaha.
Aku terbangun dengan linglung kebingungan. Oh, sudah jam 4 sore, kami harus segera menuju ke pusat kota Helsinki sebelum langit menjadi gelap dan mengurangi keindahan foto-foto. Setelah mandi dan berpakaian, kami melengkapi diri dengan syal dan sarung tangan yang sebelumnya tidak digunakan selama di saat di Paris dan Amsterdam.
Setelah mendapatkan 'kuliah' 10 menit dari resepsionis hotel tentang cara menuju pusat kota, aku dan Mama melangkah mantap ke stasiun Aviapolis yang, akhirnya kami ketahui kini, berada persis di dekat hotel. Ehm, peronnya sih masih jalan kaki 5 mnit lagi ke bawah ya, tapi pintu masuk stasiun benar-benar di sebelah hotel. Yah... ngapain juga tadi heboh menyeret-nyeret koper dari halte bus di jalan bersalju penuh kerikil :(
|
Peron stasiun Aviapolis / The Aviapolis station's platform |
Kesan keduaku akan Helsinki (setelah "dingin") adalah... sepi! Jalanannya sepi, stasiunnya sepi, bahkan di dalam subway pun sepi. Pantasan saja sepi, wong populasi penduduk kota ini cuma 642.045 jiwa! Itu pun Helsinki sudah disebut kota ter-padat-penduduk se-Finlandia. Eh buset... nggak sampe 10% dari Jakarta yang punya 10 juta jiwa :(
Aku jadi bertanya-tanya bagaimana perawakan orang Finlandia, apakah kulitnya merah/pink seperti rata-rata orang bule, apakah tampan seperti orang Turki, ataukah berperawakan tinggi besar seperti orang Rusia. Dan pertanyaan ini tetap tak terjawab karena selama di Helsinki, entah kenapa aku seringnya berjumpa dengan orang-orang asing yang kemungkinan besar sih merupakan imigran. FYI, dari jumlah total imigran di Helsinki yang hanya 9,4% dari total populasinya, Somalia berada di urutan ketiga terbanyak.
|
Di dalam kereta juga sepi / Almost empty inside the train |
Aku benar-benar menikmati pemandangan sepanjang berkereta. Hamparan putih salju terlihat dimana-mana. Di tanah, diantara dahan-dahan pohon, di atap-atap rumah, semuanya putih bersih. Indah sekali, Readers. Ini jadi pengalaman baru bagiku karena waktu di Rusia kemarin aku tak sempat melihat salju terhampar seindah ini. Saljunya turun beberapa jam saja dan langsung mencair begitu saja tanpa pamitan lebih dulu (yaiyalah Lin!)
Bukan cuma aku, Mama juga terpukau. Matanya terpaku pada kaca jendela. Puji Tuhan sih, pada kali pertama melihat salju secara langsung, Mama langsung bertemu dengan yang seindah ini. Aku pun ikut-ikutan terpaku, tapi justru pada raut wajah Mama dan sinar kekaguman yang terpancar dari tatapannya. Mama selalu seperti ini sih tiap berada di atas kereta yang melaju. Kayak waktu di subway Seoul menuju Jamsil, di Jepang saat berpindah dari Tokyo ke Osaka... Mama selalu menikmati pemandangan kota dan desa yang tak pernah kami temui di Indonesia. Ah, rasanya segala stress dan beban pikiran yang pernah (dan masih) kurasakan dalam rangka Europe Trip 2018 ini terangkat semua demi melihat kebahagiaan terpancar di wajah Mama. Inilah yang aku rindukan, alasan kenapa setiap tahun harus selalu mengajak Mama melihat negara asing baru. Inilah salah satu tujuan hidupku :)
Ngomong-ngomong,
Readers, tahukah kamu bahwa Finlandia adalah negara paling bahagia di dunia? (klik
World's Happiness Report untuk baca laporan selengkapnya) Indonesia? Masih jauh di peringkat 96, tapi setidaknya lebih bahagia daripada Bulgaria bahkan Bhutan.
Kereta kami akhirnya tiba di Stasiun Helsinki; 30 menit perjalanan tak begitu terasa, saking semangatnya ingin melihat-lihat wujud sang ibu kota. Eh, begitu keluar kereta, kami langsung diserbu udara dingin! Astaga. Iya, lupa banget kalau di luar suhunya masih 8 derajat Celsius! Kami terbuai hangatnya suhu di dalam kereta. Aduhduhduhduh... baru jalan beberapa meter, mataku langsung kalap mencari ruangan untuk berteduh (serasa basah kuyup kehujanan euy!)
Puji Tuhan, tak jauh dari stasiun kami langsung menemukan kedai kopi a.k.a coffee shop kecil di deretan ruko. Ehm, entah ruko atau pusat perbelanjaan sih. Begitu pintu dibuka... jreng, pengunjungnya ramai banget dong! Aku curiga ini semuanya wisatawan kali ya, sama kayak kami gitu pada K.O diterpa dinginnya udara Finlandia! Syukurlah kami mendapat tempat duduk, nyelip di antara 3 orang India dan 2 gadis berbahasa Inggris. Dua gelas coklat panas, dua potong kue, dan Wi-Fi sukses menghangatkan kami selama 1 jam. Yo'i... 1 jam dihabiskan di kafe, sampai hati dan raga siap betul untuk melawan dingin.
Karena sejak awal tujuannya hanya "berfoto dengan landmark Helsinki" dan "mencari suvenir khas", kami langsung bergerak ke destinasi. Tak ada jalan-jalan santai, tak ada cuci mata. Kami berbelok di antara gang-gang dan beberapa kali berhenti ketika mataku menangkap tempat berfoto yang ciamik.
Landmark pertama yang kami kunjungi adalah Helsinki Cathedral. Meski berukuran besar dan berpondasi tinggi, katedral satu ini tidak serta-merta mencolok bagi mata kami. Butuh beberapa detik baru sadar... "Oh, ini katedralnya!" Kami jelas tidak masuk ke dalam ya, Readers, demi mempersingkat waktu dan menghemat tenaga.
Tata kota Helsinki yang sekarang adalah hasil karya arsitek Jerman, Carl Ludvig Engel. Dia mendesain sejumlah bangunan bergaya neoklasikal mengelilingi Senate Square. Di bagian timur ada Istana Pemerintah dan di barat ada bangunan utama Universitas Helsinki. Di utara, tentu saja, ada Katedral yang baru selesai dibangun pada tahun 1852, 12 tahun setelah meninggalnya Engel. Julukan "Kota Putih di Utara" bagi Helsinki berasal dari era pembangunan Engel tersebut.
Carl Ludvig Engel, appointed to plan a new city centre on his own, designed several neoclassical buildings in Helsinki. The focal point of Engel's city plan was the Senate Square. It is surrounded by the Government Palace (to the east), the main building of Helsinki University (to the west), and (to the north) the large Helsinki Cathedral, which was finished in 1852, twelve years after Engel's death. Helsinki's epithet, "The White City of the North", derives from this construction era.
|
Helsinki Senate Square. Ada yang bisa menemukan bianglala? /
Can anyone spot a ferris wheel? |
Menuruni tangga-tangga cukup curam di sisi katedral, terdapat lapangan cukup besar dengan Monumen Alexander II di bagian tengahnya. Tampaknya ada event yang telah (atau akan) diselenggarakan di lapangan ini ditandai dengan adanya sejumlah tenda di dekat monumen. Kalau di musim panas atau saat suhu sedang menghangat, banyak mahasiswa Universitas Helsinki yang nongkrong di lapangan ini untuk kongkow bareng teman atau belajar sendirian di tengah buku-buku dan laptop.
Karena kemiripan gedung-gedung neoklasikal ini, di abad 19 Helsinki seringkali menjadi latar tempat syuting film Hollywood sebagai pengganti Uni Soviet pada era Perang Dingin, kala itu tidak diperbolehkan merekam film komersial di wilayah USSR. Sejumlah film yang terkenal adalah
The Kremlin Letter (1970),
Reds (1981), and
Gorky Park (1983).
Helsinki's neoclassical buildings were often used as a backdrop for scenes set to take place in the Soviet Union in many Cold War era Hollywood movies, when filming in the USSR was not possible. Some of them include The Kremlin Letter (1970), Reds (1981), and Gorky Park (1983). Because some streetscapes were reminiscent of Leningrad's and Moscow's old buildings, they too were used in movie productions. At the same time the government secretly instructed Finnish officials not to extend assistance to such film projects.
Toko suvenir tidak sukses kami temukan sepanjang perjalanan dari stasiun hingga Senate Square. Aneh sekali, padahal ini kan pusat kota yang pasti ramai turis. Eh, barangkali kami saja yang silap melewatkan satu-dua toko yang nyempil di antara gang. Atau karena sekarang memang sudah jam 7 malam (langit masih terang!) yah layak saja sih tokonya pada tutup. Aku dan Mama singgah sebentar di salah satu kios McDonald's tak jauh dari Senate Square untuk bekal makan malam nanti.
Kami akhirnya sukses bertemu pedagang suvenir di dalam stasiun! Puji Tuhan banget, ini berkat salah satu resepsionis hotel Clarion yang bilang bahwa di Stasiun Helsinki juga terdapat kios suvenir. Letaknya hampir mojok di dalam bangunan stasiun, berderetan dengan beberapa kios kelontong dan majalah. Puji Tuhan lagi, dia menjual snowglobe koleksiku! Harganya sih standar Eropa ya... jadi aku dan Mama tidak berpikir dua kali untuk membeli keperluan suvenir seperti magnet, gantungan kunci, dan pajangan piring untuk rumah Manado.
Tak jauh dari kios yang ini, ada lagi kios suvenir yang lebih mojok lagi ke dalam. Suvenirnya berupa bibit bunga. "Bu, apakah bibit ini bisa bertumbuh di negara tropis seperti Indonesia?" aku bertanya pada pemilik kios. Ibu Pedagang tersenyum hangat, "Wah justru menurut saya bunga ini lebih cocok di daerah tropis! Silakan dicoba sendiri." Harganya kalau tak salah 5 euro per 3 jenis bibit. Mama yang sedang punya proyek merapikan taman di rumah jadi semangat memborong bibit bunga di sini.
|
Yang bukan penduduk aja bahagia kok ada di Finlandia :) /
Even this not-a-citizen was happy simply by being in Finland |
Oh iya, satu fakta lagi tentang Finlandia. Ini pun baru aku ketahui setelah salah seorang teman kantor memberi tahu lewat DM Instagram. Finlandia adalah negara dengan sistem pendidikan paling bagus di dunia.
***
Demikianlah Readers cerita seru kami di Helsinki yang juga menjadi tanda selesainya rangkaian ulasan perjalanan Keliling Eropa tahun ini. Terima kasih banyak sudah setia mengikuti tiap seri ulasan dari Prancis, Belanda, hingga Finlandia. Terima kasih untuk doa-doa manisnya bagi kesehatan dan kebahagiaan Mama :)
|
Terima kasih! / Thank you! |
Di bawah ini adalah daftar lengkap jadwal perjalanan kami dan total biaya yang dikeluarkan, mulai dari visa sampai harga karcis dan makanan di Eropa. Tapi belum termasuk pengeluaran pribadi seperti persiapan beli baju hangat dari Indonesia dan belanja suvenir/oleh-oleh di tiap negara ya. Alasannya, karena kebanyakan pembelian suvenir tidak memakai struk belanja (belinya dari kios kecil pinggir jalan) dan aku kelupaan untuk mencatat. Biasanya ingat kok, suwer deh.
Rp43,9 juta untuk berdua adalah angka yang masih besar, disebabkan keinginanku pribadi untuk memastikan kami nge-trip senyaman mungkin: tidur di hotel nyaman, makan di restoran enak, transportasi mudah dan praktis. Tentunya jumlah ini bisa ditekan kalau Readers mencari hostel sederhana, membawa bekal dari rumah dan cukup sarapan roti dari minimarket, serta sering jalan kaki kemana-mana. Ingat: kuncinya adalah cari tiket pesawat murah/promo dari 1 tahun sebelum, dan perbanyak riset untuk tahu tempat wisata murah/gratis dan moda transportasi terbaik di kota tujuan.
Terima kasih sudah mampir ya. Sampai jumpa di ulasan perjalananku yang selanjutnya. Tuhan memberkati!
ITINERARY and EXPENSES LIST