Setelah kemarin kami mengeksplor selatan New South Wales, hari ini giliran bagian barat dengan jarak tempuh hampir 10 kali lipat yaitu 106 KM! Kami akan menikmati indahnya panorama lembah dan pegunungan Blue Mountains selama setengah hari. Salah satu destinasinya adalah sebuah formasi batu yang menyimpan legenda dari Suku Aborigin 😍
Day 4 - Selasa, 10 September 2019
Kami memulai hari keempat di Sydney dengan rutinitas 'normal': bermalas-malasan di kasur sampai Mama akhirnya bangun dan mulai sibuk di ruang makan. Aku kemudian ikut bergabung di sana, perutku mulai meminta diisi. Dari Indonesia aku membawa satu pak cereal bar dan sekotak susu, tujuannya sih agar lebih hemat dan sekalian mencegah kambuhnya si GERD. Pokoknya perut jangan sampai kosong, tapi juga tidak boleh overeating. Aku mengunyah dua bungkus cereal bars, dan Mama menikmati buah pisang dan kue coklat yang dibeli dari supermarket samping apartemen.
Saat aku dan Mama sarapan, Kakak justru bergerak ke kamar mandi. Kakak mendapat giliran mandi paling awal karena dia harus melakukan sesi make-up yang cukup memakan waktu. Sebaliknya, aku yang hanya perlu CC cream dan sunscreen ini berada di urutan mandi terakhir.
"Kakak mo pake baju apa dang?" tanya Mama begitu gadis sulungnya keluar dari kamar mandi. Kakak menggeleng, belum tahu. Itu pertanyaan yang sudah terdengar selama 2 hari belakang. Mama ingin menyesuaikan kostumnya dengan pakaian kami. Kebuntuan tema kostum akhirnya terpecahkan setelah mereka melihat aku keluar dari kamar mandi dengan sweater putih dan celana jins. Makanya jangan kaget ya melihat foto-foto kami selanjutnya tampak kompak dengan 'seragam' putih-biru 😆😍
Meski langit tampak begitu biru dan matahari bersinar cerah di luar jendela, suhu udara masih terasa sangat dingin bagiku. "Duh, kita kan hari ini mau ke pegunungan yah!" buru-buru kusiapkan mantel andalan sebagai outer. Maklumlah, aku memang anak pantai yang bahkan tidak sanggup tidur dengan suhu AC <24℃. Jam 10.00 mobil Bryan menepi tidak jauh dari apartemen kami, Regents Court di Springfild Ave. Abangku itu sudah mengambil cuti untuk mengantar kami pesiar hari ini. Asyik!
Sepanjang perjalanan, Bryan bercerita tentang lalu lintas Australia. Kita tidak akan menemukan loket pembayaran tol karena Australia sudah memakai sistem pendeteksian. Jadi ada sejumlah toll gantries yang menangkap plat nomor atau mendeteksi tag di kendaraan, lalu mengenakan tarif tol langsung ke akun pembayaran (tolling account). Sistem ini juga mampu mendeteksi dimensi kendaraan sesuai golongan tarif tol (truk, sedan, dll) Keren banget yah? Kalo diterapkan di Indonesia, pasti mampu memangkas kemacetan di pintu tol.
Selain berdasarkan jenis mobil, tarif tol juga akan berbeda pada hari dan jam tertentu. Misalnya, di Sydney Harbour Bridge tarif tol weekdays lebih mahal daripada weekend; adapun di weekend tarif tol lebih mahal AUD 0.5 saat pagi-siang dibandingkan malam hari.
'Pintu' tol di Sydney Sumber: Roads Australia |
Cerita lainnya adalah tentang drunk-driving alias menyetir saat mabuk. "Tenang aja, aku sendiri nggak pernah kok nyetir pas mabuk," Bryan mengawali dengan prolog agar menenangkan hati kami yang sudah cemas saja jika dia kecelakaan 😅 Seperti di 'film-film bule', polisi sangat memantau lalu lintas demi keselamatan para pengemudi. Jika mobil melaju melewati speed limit, dapat dipastikan beberapa menit kemudian sirine mobil polisi akan berbunyi kencang di belakang. Polisi kemudian akan meminta driver menepi dan melakukan tes nafas untuk melihat kadar alkohol. Bryan juga pernah disuruh menepi ketika tak sengaja melewati batas, kala itu dia masih beradaptasi dengan Sydney dan rambu-rambu lalu lintas. Untungnya saat itu dia tidak habis mengonsumsi alkohol.
Sekitar dua pertiga jalan telah ditempuh, Bryan menepikan mobil di McDonald's Blaxland. Meski sudah sarapan sebelum meninggalkan apartemen, perut memang sudah mulai terasa lapar. Kulirik jam di ponsel, wah sudah pukul 11.27, memang sudah saatnya makan siang! Bryan juga pasti kelaparan setelah fokus mengemudi selama satu jam lebih. Kami membeli burger dan french fries, lalu menikmatinya di dalam mobil sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.
Destinasi pertama hari ini adalah suatu formasi batu di wilayah pegunungan Blue Mountain yang diberi julukan The Three Sisters. Cocok banget yah dengan kami bertiga (tapi judulnya "The Two Sisters and Their Mother" hahaha). Waktu turun dari mobil, pemandangan itu tidak langsung menyambut kami. Pengunjung harus berjalan beberapa ratus meter dulu baru menemukan viewpoint-nya. Jika ingin memandang lebih dekat, turunlah ke platform di bawah dengan menggunakan anak tangga.
"Wah asyik banget, nggak begitu ramai!" ujar Mama spontan. Beliau memang sudah pernah ke lokasi ini saat beberapa tahun lalu dinas ke Sydney. Siang itu jumlah turis di Three Sisters memang tak begitu banyak, di parkiran pun tidak ada jejeran bus jadi kami masih bisa mencari spot kosong untuk berfoto-foto. "Kalau mau trekking ke situ juga bisa lho," kata Bryan sambil menunjuk ke kejauhan, "Dulu aku sama Faldo pernah jalan sampe ke bawah situ. Lumayan capek sih." Faldo adalah adik kami yang paling bungsu, dia sudah mendahului aku main ke Sydney tahun 2018 lalu 😅 Seru banget kayaknya trekking ke lembah di bawah sana... Should I pay another visit? Hehehe.
Masih terhitung 'sepi' pengunjung |
Mau tahu versi legenda Suku Aborigin tentang Three Sisters nggak? Konon formasi batu ini merupakan wujud tiga orang saudari bernama "Meehni", "Wimlah", dan "Gunnedoo", mereka adalah anggota suku Katoomba yang tinggal di Lembah Jamison. Ketiganya menjalin hubungan dengan tiga laki-laki bersaudara dari suku Nepean, yang mana menurut aturan adat tidak boleh dinikahi. Karena sudah kadung cinta, tiga lelaki Nepean ini menculik "The Three Sisters" dan membuat pecah peperangan antar-suku. Di tengah perang yang semakin memanas, seorang dukun Katoomba memutuskan untuk mengubah The Three Sisters menjadi batu agar mereka terlindung dari bahaya. Sayangnya, dukun ini terbunuh di tengah pertempuran dan tidak ada yang bisa membalikkan sihirnya. The Three Sisters pun abadi menjadi batu di Lembah Jamison.
Three Sisters berdiri megah di Lembah Jamison |
A closer look to the rocks Sumber: Sydney Expert |
Puas menikmati keindahan Three Sisters, kami beranjak ke destinasi selanjutnya. "Ini sebenarnya bukan tempat wisata formal, tapi udah terkenal di kalangan anak muda karena media sosial," Bryan memberi penjelasan terkait tempat kedua ini. Wah, aku makin penasaran, serasa menemukan 'hidden gem' yang tidak hidden-hidden amat 😂 Saat mobil kami belok kanan dari jalan raya, kubaca tulisan di papan petunjuk jalan: "Blue Mountains National Park, Kings Tableland".
Jam 14.00 tibalah kami di tempat wisata yang dimaksud. Lincoln's Rock di Wentworth Falls adalah suatu dataran seperti lempengan batu putih besar, menghadap ke arah Blue Mountains. Sebelum diresmikan tahun 2013, orang-orang mengenalnya dengan julukan "Flat Rock", sesuai wujudnya yang hanya batu datar. Namanya berasal dari Lincoln Hall, pendaki gunung Australia yang tinggal di Wentworth Falls. Hall terkenal karena pengalamannya bertahan hidup semalaman di dekat puncak Gunung Everest, ketinggian 8700 meter, padahal sebelumnya telah diumumkan meninggal dunia oleh pihak berwenang.
Hatiku girang sekali begitu melihat lokasi ini. Terpukau, sekaligus khawatir tentang keamannya. Tidak ada pengaman sama sekali di pinggiran batu! Salah langkah sedikit bisa langsung jatuh dari ujung tebing. "Jangan foto di ujung ya, Kak, Dek!" Mama mengingatkan dengan nada cemas. Tenang saja, Ma, I do love heights but I hate making you worried 💕
Mbak.. jangan Mbak... |
Berani menantang maut? Sumber: Wanderers&Warriors |
Tidak beda jauh dengan kondisi tempat wisata di Indonesia, Lincoln's Rock pun tak kebal dari vandalisme. Aku kesal sekali begitu melihat banyaknya goresan dan ukiran di batu, ulah orang-orang bebal yang tidak tahu cara mengapresiasi alam. Bukan hanya coretan dengan spidol lho, tapi betul-betul diukir dengan benda tajam. Norak! Berkali-kali aku merutuk dalam hati. Yah inilah konsekuensi tempat wisata yang tidak dikelola serius. Memang sih free entrance, tapi jadinya tidak ada perlindungan dan pemeliharaan. Readers-ku yang baik hati, tolong jangan meniru kelakuan barbar begitu yah.
Dari foto di atas, bisa kelihatan kan "ukiran dan goresan" yang kumaksud?
Petualangan kami berakhir di sini. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore begitu mobil memasuki wilayah Sydney. Nah, untuk 'tempat wisata' terakhir ini, Kakak lah yang paling bersemangat. Bryan membawa kami ke Pitt Street Mall, ke toko sepatu rekomendasinya. Kakak dan Bryan terus membahas sepatu sejak Senin kemarin, aku sampai bosan menyimak diskusi mereka. Hahaha. Untunglah kali ini Kakak tidak pulang dengan kehampaan, ada tentengan sepatu baru di tangannya 😉
"Apa carik, Kaaak? Boleh, Kaaaak!" |
Pitt Street |
Selanjutnya kami makan malam di Do Dee Paidang, sebuah restoran Thailand di kawasan Haymarket. Enak nggak, Lin? Lumayan sih, tapi tidak mampu mengalahkan Holy Basil kemarin. Sudah kenyang, kami singgah belanja kosmetik di Chemist Warehouse, semacam toko diskonan yang menjual barang-baran drugstore dengan harga miring. Selain beli body lotion untuk diri sendiri, aku juga membelikan Mas Pacar oleh-oleh berupa... shaving foam! Hahaha. When you're with the right person, "gift" means anything you need on daily basis.
Do Dee Mee Kaw (Sup mi wonton dengan babi panggang) dan Keaw Tod (Telur puyuh goreng dibalut kulit wonton) |
Sekian sudah perjalanan hari keempat yang sekaligus menjadi hari terakhir pesiar Sydney dan sekitarnya bersama Bryan. Makasih banyak, Yen, sudah menjadi tour guide yang super kece bagi para wanita doyan foto dan belanja ini. Mari kita istirahat!
halo, terima kasih sudah berbagi wawasan yang menarik dan bermanfaat
ReplyDeletekunjungi juga website UIN Walisongo Semarang di walisongo.ac.id