August 24, 2015

Hello Cambodia: Surviving in Phnom Penh

Sudah seminggu berlalu sejak kepergianku ke Kamboja, dan ternyata cukup banyak yang menagih cerita (dan oleh-oleh) tentang Kamboja. Oleh sebab itu, tanpa berlama-lama lagi mari kita langsung memulai cerita Kamboja trip!


SABTU, 15 AGUSTUS 2015

Aku dan Aldo Aribama Siahaan (travelmate semasa di Toraja, Belitung, Lombok, Bromo, and many more) tiba di Phnom Penh International Airport pada pukul 07.35 waktu setempat, alias GMT + 7 alias sama saja dengan WIB. Hal pertama yang kami lakukan? Mencari tempat makan tentunya! Hahaha, berhubung aku tidak punya ringgit, kami pun tidak sarapan dulu di KLIA dan sekarang baru terasa perut berbunyi keroncongan. Setelah mencoret nama-nama restoran dengan menu yang bisa ditemukan di Indonesia, diputuskanlah untuk makan di BBQ Chicken dan menghabiskan $5,5 untuk Olive Luxury Chicken Set yang cukup mengenyangkan. Kami tidak memesan minuman demi penghematan, hahaha, maklum Kamboja menggunakan dollar Amerika yang saat ini harganya hampir mendekati Rp14.000,- Di sini kami sekalian bertanya tentang transportasi ke pusat kota, dan para pegawainya menyarankan untuk menyewa tuktuk saja dengan ongkos $7, daripada taksi yang seharga $12.

Phnom Penh (yang dibelah Sungai Mekong) dilihat dari angkasa

Setelah makan dan cuci muka sekelak, kami langsung mencari tuktuk yang katanya banyak bertebaran di bandara. Benar saja, kami diserbu beberapa driver yang heboh menyodorkan secarik kertas bertuliskan "airport tuktuk" yang membuat kami berkesimpulan mereka adalah tuktuk resmi dengan harga yang resmi. Alhasil, kami tidak menawar mati-matian untuk harganya yang sebesar $9 itu (which we regretted so much later on). Kami memang sempat menawar $7 kok, sesuai yang disarankan tadi, tapi mereka tetap menunjuk-nunjuk lembaran kertas itu, saying that it was the official price for tuktuk to town center. Lagipula tidak ada lagi tuktuk selain rombongan tadi, apa boleh buat. Mari kita cussss!

First time riding the tuktuk!

Kerajaan Kamboja (Kingdom of Cambodia) adalah negara berbentuk monarki konstitusional yang merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah berkuasa di abad 11 dan 14. Negara ini dipimpin oleh Raja Norodom Sihamoni yang baru saja berulang tahun bulan lalu. Di sekitar istana dapat ditemukan berbagai karangan bunga dalam rangka perayaan ulang tahun Raja. Mereka menggunakan bahasa lisan dan tulisan Khmer yang sepintas sangat mirip dengan Thai. Yah, kira-kira seperti bahasa Melayu antara orang Malaysia dan Indonesia lah. Mayoritas penduduk Kamboja memeluk agama Buddha Theravada yang sekilas seperti perpaduan agama Buddha dan Hindu, serta mengandalkan sektor agrikultur, pariwisata, dan industri tekstil untuk perekonomiannya.

Kamboja adalah negara-berlaju-kemudi-sebelah-kiri pertamaku, yeay!

Berdasarkan itinerary, kami pun menyambangi Royal Palace straight from the airport. Alasannya, istana ini akan tutup pada pukul 10, lagipula semakin pagi semakin baik mengingat panasnya matahari di Kamboja. *Benar sekali, readers! Kurang dari 6 jam berada di Phnom Penh, kulitku sudah menghitam.* Baru saja menginjakkan kaki, yeah literally menapakkan kaki ke tanah dari tuktuk, kami sudah dihampiri driver tuktuk lain yang menawarkan mengantar ke tempat tujuan berikutnya. Astaga. Aku maklum sih, kedua driver ini pasti sudah berkongsi setiap kali yang satu tiba mengantar turis dari bandara ke Royal Palace. Aku dan Aldo tetap pasang muka besi alias bergeming mendengar penawarannya. Pokoknya mari melihat istana terlebih dahulu! Tiket masuk ke Royal Palace adalah $6,5 for each person.

Salah satu bangunan yang akan menyambut kita memasuki area Royal Palace
Royal Palace adalah sebuah kompleks kerajaan yang berwarna keemasan dan dihuni raja-raja Kamboja sejak tahun 1860. Dalam bahasa Khmer, istana ini disebut Preah Barum Reachea Veang Chaktomuk. Pengunjung dapat menikmati keindahan kompleks istana raja dengan arsitektur bangunan megah khas Kamboja yang bersih dan terawat. Royal Palace mempunyai beberapa bangunan yang masing-masing mempunyai karakteristik yang khas dan mempunyai desain yang sangat indah. Salah satu objek andalannya adalah Throne Hall yang digunakan raja saat menerima tamu dan menggelar upacara keagamaan. Hall ini dihiasi singgasana dan perabot berlapis emas. Sayangnya, kami tidak dibolehkan mengambil gambar bagian dalam hall, jadi harus kalian sendiri yang menyaksikan keindahannya di Kamboja ya hehehe.


Silver Pagoda, memiliki ubin yang terbuat dari perak berjumlah 5329 buah. Mengagumkan.

Sarana ibadah ini tidak pernah absen terlihat di depan rumah setiap umat Buddha Kamboja

Banyak orang yang membanding-bandingkan istana ini dengan Grand Palace-nya Thailand, dan katanya sih masih kalah mewah. Aku yang belum pernah melihat istana selain Istana Negara di Jakarta Pusat itu sudah terkagum-kagum melihat Royal Palace, wah, semewah apa Grand Palace itu ya?


Tentu saja selfie adalah agenda wajib jalan-jalan bersama Erlin!

Seperti Thailand dan Laos, Kamboja mengandalkan "gajah" sebagai salah satu simbol pariwisatanya

10 bulan nggak ketemu, sahabat yang satu ini ternyata nggak banyak berubah :p

Satu hal yang sejak tadi mengganjal adalah... kami belum menenggak air sejak dari KLIA! Astaga. Kami pun buru-buru menemui seorang pedagang di dekat taman, yang ternyata tidak bisa berbahasa Inggris. Jreng~ pelajaran pertama yang kami temukan: $1 senilai dengan 4000 riel! Selanjutnya, aku akan menuliskannya dengan "KHR" yah. Jadi untuk dua botol air minum, si ibu pedagang mengembalikan KHR 2000 untuk $1 yang kami berikan.

Di taman diluar istana terdapat beberapa papan bunga raksasa dalam rangka perayaan ulang tahun sang Raja

Entah jodoh atau gimana, eh kami bertemu lagi dengan driver gigih yang tadi! Ckckck. Karena baik dan cantik cukup terkesan melihat kegigihannya, aku pun memutuskan untuk menyewa driver itu untuk kelanjutan perjalanan. Ya sudahlah, kadangkala Tuhan memang bekerja dengan cara yang tidak terselami kan? Siapa tahu driver ini memang butuh uang kami hahaha. Kok jadi khotbah, Lin -_-

Setelah berpanas-panas di istana, saatnya memasuki tempat yang adem: Tuol Sleng Genocide Museum. Bukan hanya adem, kami bahkan dibuat merinding di tempat ber-HTM $3 ini. Dari yang awalnya penuh tawa dan selfie selama di Royal Palace, kali ini kami bahkan ga berani berbicara keras karena terlalu hanyut melihat-lihat koleksi museum. Maafkan aku yang tidak banyak mengambil gambar ya, readers. Museum ini dulunya merupakan sebuah Kamp Konsentrasi pada masa rezim Khmer Merah yang berkuasa di Kamboja pada tahun 1975-1979. Nama "Tuol Sleng" sendiri berarti "Bukit Pohon Beracun" dalam Bahasa Khmer. Begitu banyak saksi bisu sejarah berdarah Kamboja di tempat ini: tempat tidur yang dialiri arus listrik, tiang gantung untuk interogasi, bak air untuk membenamkan terdakwa yang jatuh pingsan, bahkan kumpulan tengkorak manusia yang tidak pernah dikuburkan secara manusiawi! Aduh... untunglah aku masih bisa menahan air mata :(




Sebelumnya kami sempat iseng menanyai si driver apa makanan khas di Phnom Penh. Dia malah mengajak kami ke suatu kios makan dekat museum yang menurutnya memiliki makanan khas terenak yang layak dicoba. Ternyata owner tempat itu adalah temannya! Hahaha, another perkongsian terjadi. Untung saja Aldo bisa mencegahku mengiyakan ajakan itu. Kami pun menolak dengan alasan belum lapar, ya, jangan sampai uang kami dikuras oleh mereka deh.

Kalau readers pernah googling tentang Phnom Penh pasti tahu bahwa selain Museum Genosida ini ada suatu tempat lain yang menjadi tourism spot, yaitu Killing Fields. Aku juga sangat tertarik mengunjunginya. Sayang sekali lokasi itu berada di luar pusat kota, tidak cukup waktu bagi kami yang harus naik bus ke Siem Reap jam 2 siang nanti. Semoga masih ada kesempatan selanjutnya deh.

Lebih dikenal dengan nama "Russian Market"

Sesuai kesepakatan dengan Aldo, yang tidak begitu suka mengunjungi museum (HAHA!), next destination kami adalah Russian Market alih-alih National Museum. Bukan berarti museum kedua ini tidak menarik lho ya, hanya saja kami lebih tertarik melihat oleh-oleh khas Kamboja di pasar ini.
So... aku menghabiskan total $57 (sekitar IDR 770ribu) untuk belanja! Waduh, padahal aku yang sok-sokan menomorduakan tempat ini lho hahaha. Nyatanya jiwa perempuan ini tidak bisa dibohongi. Aldo sendiri hanya menghabiskan setengah dari total belanjaku :p

Saat awal menyusun itinerary aku diberitahu bahwa pasar ini mirip-mirip Mangga Dua dan Tanah Abang. Waduh! Sudah terbayang di kepalaku betapa crowded dan standar. Hampir saja aku melewatkan lokasi ini. Ternyata pasar ini jauh lebih rapi dan bersih dari bayanganku, meski tetap saja panas dan gerah. Hahaha. What to buy here? Kamboja terkenal dengan kualitas tekstilnya, jadi pastikan kalian membeli kaos, celana, atau selendang khasnya. Dijamin kalap sih melihat betapa murah-murahnya harga barang di sini.




Bagi readers yang kurang suka belanja, aku sarankan untuk mempersingkat waktu kunjungan ke pasar ini (tapi tentu saja tetap harus dikunjungi!) dan lanjut ke next destination: Sisowath Quay. Lokasi satu ini adalah boulevard sepanjang kurang lebih 1 kilometer dengan view utama Mekong River yang berwarna cokelat susu. Strolling on a riverside under the shining sunshine... sounds romantic, eh? Enggak sama sekali, readers, hahaha... unless you bring an umbrella and two bottles of cold soda, maybe it would work. Selain jalan-jalan di tepi sungai, bisa juga berpose sejenak di depan Independence Monument. Atau sekalian mengunjungi National Museum yang kusebutkan di atas, letaknya tidak begitu jauh dari istana kok. Atau, seperti keinginan Aldo awalnya, mengunjungi pagoda untuk sekadar mencuri beberapa candid dari para biksu yang 'berkeliaran' di sana. Kalau sudah merasa capek, jangan khawatir karena di seberang Sisowath Quay ada jejeran kios, cafe, restoran tempat nongkrong para turis yang menawarkan berbagai pilihan menu.


Sisowath Quay di sisi kanan jalan. Jejeran pohon palemnya indah juga ya?

Independence Monument

Biksu di luar pagoda dekat Royal Palace

Akhirnya, tiba saatnya untuk berpisah dengan Phnom Penh. Fiuh!! It was really hard to survive in this capital city of Cambodia, bisa jadi karena kesan pertama yang kami dapat tentangnya terlanjur negatif: everyone's trying to get money from you, as much as possible. Sebagai mantan turis yang setidaknya sudah mengalami 'perjuangan' ini, let me suggest you few things of how to survive in Phnom Penh as a one-day tourist:
  1. Make sure that "$1 = KHR 4000" is planted on your mind, so you won't get confused when someone sells you something in Riel. When you pay dollars for something in Riel, count your change properly. You don't need to change your currency to Riel, it's okay to only have dollar, because it'll be accepted anywhere in Cambodia. They use the combination of dollar and Riel.
  2. Do bargain hard! My first time buying in Russian Market is also the last time I bargained easy. When they say $2, ask for $1. They say $10, ask for $5. Yeah, it's usually half the price. But don't be surprised to know that $45 can be $10 after ten minutes bargaining.
  3. Sunglasses is a must. No need to ask why.
  4. Sunblock is a must. Or not, depends on how bad you want to sustain your skin color. Or you can just wear longsleeves, it's all up to you.
  5. Don't answer any tuktuk driver who offers his ride. Just don't. Because if they know that you can speak English, or simply the fact that you understand what they said, they'll never step back until you said "Okay". Put on straight face. Go straight to the driver you already booked, or you wanted to book, and just moved to another tuktuk if you don't get the deal with the first one.
  6. If you don't mind to spend additional $1-2, please buy drink or snacks from local. Cambodia is a developing country, which I believe is poorer than Indonesia. Buying from local merchant and cadger means we're supporting their economy too.
Kami memang hanya menghabiskan setengah hari saja di Phnom Penh, karena tujuan utama ke Kamboja ini tidak lain dan tidak bukan tentunya Angkor Wat! Dari hasil penyusunan itinerary dan googling kesana-kemari, kuputuskan untuk naik bus Mekong Express yang berangkat pukul 14.45 dengan harga tiket $13 (puji Tuhan kami dapat diskon $1 saat beli online dua minggu lalu). Perjalanan akan memakan waktu 7 jam menuju Siem Reap

Leaving Phnom Penh. This is a view of Mekong River, taken from the bus

Well, thank you for the good and bad memories, Phnom Penh! Kami banyak belajar hari ini. Satu hal utama, belajar bersyukur memiliki ibukota seperti Jakarta yang masih lebih rapi dan membanggakan dari segi infrastruktur. Phnom Penh ini lebih mirip Surabaya atau Semarang sih di mataku. Semoga bisa segera menyelesaikan pembangunannya deh.

Now, let's move on to next blogpost about Siem Reap, readers! :)

6 comments:

  1. Phhom penh itu sebenarnya kece, tapi panas dan debu nya bikin gw ngak tahan #Ampun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju! Pulang dari sana kulit jadi kering + keling semua #tobat

      Delete
  2. jangan kaget deh disangka cambodian ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah betul banget non, struktur wajah Melayu dengan kulit sawo matang sih hehehe

      Delete
  3. hello, bole tanya naik pesawat apa ya? thankss

    ReplyDelete