October 03, 2017

Pendakian Wayag - Raja Ampat Trip Part 1

Siapa yang tidak kenal Raja Ampat? Terletak di utara kota Sorong-Papua Barat, kabupaten ini terdiri dari 610 pulau. Konon katanya, baru 400 pulau yang tereksplorasi sedangkan 210 sisanya masih 'perawan'. Dari ratusan pulau ini, empat di antaranya merupakan pulau besar (Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo) dan hanya 35 pulau yang berpenghuni. Readers yang pengen segera menyusul pelesir ke Raja Ampat sebaiknya berkunjung di bulan Agustus-Februari, saat cuaca sedang bersahabat.


Wayag, Raja Ampat

Tanggal 22-24 September 2017 yang lalu, kesempatan untuk mencicip sepotong surga di timur Indonesia itu datang. Awalnya aku berbulat tekad tidak akan menginjak Raja Ampat sebelum mahir berenang, atau bahkan diving. Soalnya, Raja Ampat ini diakui oleh Konservasi Internasional sebagai highest marine biodiversity dimana 553 spesies corals (out of 798 known species) berada di sini. Angka ini mengalahkan daerah-daerah lain di wilayah emas Coral Triangle yang terdiri dari Indonesia, Papua Nugini, dan Filipina.

Namun setelah ada berita kapal yang menabrak terumbu karang Raja Ampat, aku jadi semakin yakin untuk menyambangi destinasi ini secepat mungkin. Aku tak mau kejadian "rusak"-nya Bali dan Bunaken terjadi, sementara aku belum sempat mencicipi keindahannya yang termasyhur itu. Jadilah ketika Bang Supriadi a.k.a Adi mencetuskan trip ini, aku langsung menjadi peserta pertama yang bergabung 😤

12 anggota Trip Raja Ampat berpose di depan area homestay.
Ki-Ka: aku, Kak Novi, Bang Devits, Mama bang Larry, Bang Supriadi, Bang Andre, Mas Udi, Mbak Sita, Bang Larry, Mas Adi, Mbak Erna, dan Mbak Endang

Peserta trip Raja Ampat ini pada dasarnya berasal dari inner circle-nya Bang Adi: paduan suara ICC (aku, Kak Novi, Bang Andre, dan Bang Larry yang kemudian mengajak mamanya dan Bang Devits) serta rekan-rekan sekantor (Mas Udi, Mbak Sita, Mas Adi, dan Mbak Erna dari KPP Saberdu dan Mbak Endang dari KPP LTO 2). Semakin banyak peserta trip memang semakin baik selama tidak melebihi kapasitas boat: 15 orang termasuk guide dan 2 orang ABK. Hal ini penting mengingat segala biaya trip (sewa mobil, boat, homestay) akan lebih ringan jika dibagi beramai-ramai.

Nah, mari kita simak cerita keseruannya!


Rabu, 20 September 2017
Saat 8 peserta trip sudah berada dalam pesawat menuju Makassar-Sorong, aku malah merutuki nasib ketinggalan pesawat di Bandara Halim Perdana Kusuma. Flight jam 22.30 WIB, tapi aku baru diturunkan Xtrans Shuttle Bandung-Pancoran di BKN jam 22.15 WIB. Perjuangan selanjutnya kurasa layak dijadikan film dokumenter: berlari-lari mencari ojek sepanjang Jalan Mayjen Sutoyo, drama penolakan dari sekian banyak ojek online, memelas belas kasihan dari sekumpulan bapak-bapak di warung kaki lima, hujan-hujanan di atas motor yang ngebut, hingga akhirnya tertunduk lesu di pintu departure HLP setelah dikabari bahwa pesawat sudah mengudara. Mantap.

Kalau kata Kak Novi, kasusku ini sudah kepalang rugi. Mau tetap berangkat rugi, karena melewatkan satu hari di Raja Ampat; mau skip tidak berangkat juga rugi, karena sudah bayar 3 juta untuk biaya trip. Akhirnya aku memilih 'makan hati' tidak ikut pesiar satu hari, daripada sama sekali tidak mencapai Raja Ampat.

Puji syukur, Tuhan masih sayang padaku. Aku dibantu oleh petugas check-in counter Batik Air di HLP untuk melakukan reschedule; gratis tanpa biaya apapun. Puji Tuhan! Sempat juga terpikir untuk membeli tiket baru ke Sorong (penerbangan CGK-SOQ jam 9 pagi) seharga Rp1,6 juta (padahal isi rekening saat itu pas-pasan tinggal Rp1,7 juta 😆).

Jadilah jam 11 malam aku balik kanan ke rumah kos di daerah Senen, mensyukuri waktu satu hari yang diberikan Tuhan untuk beristirahat sepuas-puasnya. Rasa pegal dari Bandung masih menempel, Jendral!


Kamis, 21 September 2017
Aku terbangun jam 12 siang dengan kondisi tubuh yang segar bugar. Membayangkan betapa saat ini ke-11 rekanku sudah menghirup udara bersih Sorong, aku tetap bersukacita. Toh wangi pengharum kamar dan empuk kasur juga tak kalah memikat hihihi.


Jetty di Pulau Mansuar, tempat timku bermalam

Gimana kabarnya para travelmates-ku? 8 orang dari Jakarta sedang menyeberang dari Pelabuhan Waisai ke homestay di Pulau Mansuar. Sisa 3 orang lain dari Manado baru akan menyusul sore nanti. Setelah makan siang di homestay, ke-8 orang ini diajak mengunjungi Cape (Tanjung) Kri di pulau tetangga "Kri" yang bisa dicapai dengan perahu (mesin ya, bukan dayung) selama 15-20 menit.

Cape Kri menjadi populer berkat Dr. Gerry Allen, Ichthyologist/ahli perikanan asal Australia, yang  pada tahun 2012 menemukan 374 spesies hewan di spot ini dalam satu kali penyelaman (single tank). Pantas saja ya lokasi ini tercatat sebagai rekor dunia. Sebenarnya tak afdhol memang jika ke Cape Kri tanpa mencicipi diving spot-nya. Bagi kita-kita yang tak bisa menyelam, jangan sedih, dari tepian pantai pun kita sudah bisa menyaksikan keindahan karang dan biota lautnya yang beragam kok. 


Jumat, 22 September 2017
Pesawatku mendarat dengan mulus di Bandara Domine Eduard Osok - Sorong tepat pukul 07.37 WIT. Ya ampun! Aku masih tak percaya akhirnya menginjak wilayah timur Indonesia, mencicipi kawasan waktu GMT + 9 (eh, sudah pernah ding waktu di Jepang dan Korsel). Tak menunggu lama, aku langsung dijemput oleh salah satu anggota tim Pak Brian, owner trip organizer kami selama tur Raja Ampat. Nanti aku akan merekomendasikan Pak Brian ini kepada readers sekalian di akhir rangkaian trip review ya. Pelayanan mereka oke banget, termasuk kepadaku yang bisa dibilang 'anak hilang' ini. Meski sempat cemas akan diabaikan, atau at least terkatung-katung menunggu, aku begitu sigap diantarkan dari bandara hingga naik ke atas ferry di Pelabuhan Rakyat Sorong. Top service.

Perjalananku masih panjang, readers. 2 jam menaiki kapal ferry dari Sorong ke Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat. Dilanjutkan 1,5 jam perjalanan menggunakan speedboat dari Pelabuhan Waisai ke homestay di Pulau Mansuar, Kabupaten Raja Ampat. Meskipun demikian 3,5 jam di atas lautan tidak terasa membosankan. Di atas ferry, aku mengobrol dengan seorang remaja backpacker yang lagi nge-trip dengan 10 kawannya. Begitu di speedboat, aku digabungkan dengan turis-turis asing independen yang tidak menggunakan jasa trip operator. Ada enam jumlahnya, 5 orang turun di Lumba-Lumba Resort dan 1 orang turis Jerman bernama Ralph turun bersamaku di Pulau Mansuar. Jam 2 siang, speedboat kami merapat di pulau yang sejak dari kejauhan memang terlihat ramai dengan pondok-pondok kayu.

Ralph ini jelas kelihatan seorang professional diver, ditinjau dari banyaknya barang bawaan. Satu ransel raksasa, satu koper raksasa, satu tas jinjing, dan satu tas bundar yang usut punya usut adalah drum. Drum! Buset deh. Ngeliat orang bawa ukulele atau gitar saat nge-trip sih udah biasa, tapi bawa drum? Luar biasa. Pondok si Ralph berada persis di sebelah pondokku, tak heran kalau kami kemudian banyak mengobrol.

*

Cerah ceria banget ya paras-parasnya
Lalu dimana teman-teman yang lain? Nah, hari ini ke-11 travelmates-ku menjelajah ke wilayah Kepulauan Wayag yang jauhnya 4 jam dari Pulau Mansuar. Readers nggak asing dong dengan destinasi satu itu? Kepulauan Wayag sudah tentu merupakan salah satu, jika bukan yang paling, ikon terkenal dan utama di Raja Ampat. Kalau readers melihat foto Raja Ampat dengan sekumpulan bukit dan gugusan karst gagah menjulang di tengah birunya laut, sudah dapat dipastikan itu adalah Wayag. Ah, aku kehilangan satu hari yang berharga.


Rute perjalanan yang mereka tempuh hari itu adalah Desa Selpele - Puncak Wayag 2 - Pantai Pulau Waigeo. Seharusnya sih mereka juga menuju Puncak Wayag 1 yang konon punya rute tempuh lebih mudah dibanding Puncak 2. Biasanya dalam paket Tur Raja Ampat, kedua destinasi (Puncak 1 dan 2) masuk dalam paket Keliling Wayag Sehari.

Besar kemungkinan, sih, Bapak Guide timku sudah jatuh iba melihat para tamunya yang kecapekan pasca mendaki Puncak 2. Selain itu, alasan waktu juga menjadi concern kenapa mereka tidak diajak ke Puncak 1. Hehehe. Cukuplah, guys... naik satu puncak saja aku sudah cemburu setengah mati melihat hasil foto-fotonya :(

Desa Selpele

'Penyambutan' oleh warga setempat :)

Sebelum menuju titik awal pendakian, teman-teman wajib 'singgah' dulu ke Desa Selpele. Di desa ini, kita akan minta izin/permisi ke para Tua-Tua Adat di Selpele dan membayar "uang masuk" Wayag. Normalnya, fee tersebut sudah termasuk dalam paket trip, jadi tak usah khawatir kena tagih lagi ya. Setelah keliling Wayag pun kita akan berhenti di Selpele lagi untuk "pamitan". Adat-istiadat seperti ini wajib dijaga dan dilestarikan agar kita tidak bertingkah semena-mena di 'daerah asing'.

Selain untung "sungkem", sudah jadi kesepakatan bersama juga bagi setiap pengunjung Wayag untuk membawa satu warga lokal Desa Selpele turut serta dalam tur. Hal ini agar kalau (amit-amit) terjadi sesuatu pada rombongan, warga setempat bisa segera tahu dan memberi pertolongan pertama secepatnya.

Sempat bagi-bagi snack untuk anak-anak kecil lucu ini!



Tak ada yang menyangka, keindahan Wayag yang kami pandang setiap hari di foto profil grup WhatsApp rupanya mesti ditebus dengan perjuangan yang nggak nanggung-nanggung: cliff climbing! Begitu speedboat mencium tepi Pulau Wayag, tidak ada pasir pantai ataupun dermaga yang bisa kalian injak. Pengunjung harus langsung meloncat ke dinding karst yang cukup tajam dan curam.



Pastikan kalian memakai sendal gunung atau sepatu mendaki yang proper ya, Readers. Jangan sendal jepit, apalagi bertelanjang kaki. Yah... walaupun para guides a.k.a warga lokal Raja Ampat nampak begitu lincah memanjat dengan barefooted. Siapkan ransel dengan bawaan seringan mungkin: air minum dan kamera. Beban di pundak + punggung adalah hal terakhir yang kalian inginkan sebagai 'kawan' pendakian Wayag. Oh ya, bagi yang tidak terbiasa panjat sosial gunung, boleh membawa sarung tangan untuk melindungi kulit dan kuku kalian dari goresan batu karst. Sarung tangan terutama penting buat yang suka manicure. 💅


Selamat datang di Wayag!

Salah satu peserta trip adalah ibunda dari Bang Larry yang sudah berusia 59 tahun. Beliau tidak mau kalah dengan anak-anak muda di sekitarnya, dan sukses menaklukan Wayag. Yah, walaupun akhirnya sempat ada drama kecapekan dan pingsan... tapi tetap saja, pencapaian itu sangat membanggakan. Aku sendiri tidak yakin apakah bisa lanjut terus hingga puncak top view of Wayag yang begitu terkenal itu. Mama-nya Bang Larry keren banget!

This is what you get after the hard-time climbing ;)


Pendakian Puncak Wayag 2 memakan waktu 15 hingga 30 menit tergantung kemampuan fisik pengunjung. Jika lokasi sedang ramai pengunjung, bisa lebih lama lagi karena harus saling mengantri. Usai foto-foto di Puncak 2, Bang Adi dkk. turun kembali dengan perjuangan yang lebih menegangkan. Pijakan-pijakan batu karst yang sempit dan bersisi tajam memang membutuhkan konsentrasi maksimal.

Next stop: pantai bagian barat Pulau Waigeo sekaligus pusat konservasi Wayag. Biasanya, di pusat konservasi ini, petugas akan meminta setiap pengunjung menunjukkan pin Raja Ampat yang telah kita beli sejak dari Pelabuhan Waisai. Meski namanya "pin", bentuk yang sebenarnya adalah kartu plastik biasa. Kartu ini dikenai harga Rp1 juta untuk turis asing, dan Rp500 ribu untuk WNI. Jangan sampai jadi 'penyelundup' yah dengan tidak membeli "pin" Raja Ampat ini!

Pantai Waigeo

Seakan belum cukup diganjar pemandangan super kece dari Puncak Wayag 2... teman-temanku ini berkesempatan emas bertemu bayi ikan hiu! Waaaah! Senangnya, apalagi Bapak Guide mengizinkan mereka ikut ngasih makan bayi hiu dengan ikan-ikan teri (karnivor!). "Eh, di film-film itu kan hiu suka memangsa manusia!" Readers tak perlu khawatir. Selama kita tidak sedang terluka dan berdarah (yang bisa memancing radar penciuman hiu), aman-aman saja kok berada dekat-dekat mereka. Pengalaman menarik banget kaaan? 😍

Tapi... entah kenapa tidak ada yang merekam Baby Shark Dance di tengah-tengah keseruan itu. Hmm. Coba ada aku... "Baby shark doo doo doo doo~!" 🎵🎶

Bayi Hiu!

Bahagia banget sih :')

Anyway, dari blog tetangga aku baru mengetahui perbedaan Puncak Wayag 1 dan 2. Jika Puncak 2 harus dipanjati, Puncak 1 justru cukup di-trekking-i saja. Jalur trek-nya pun rimbun dengan pepohonan di kanan-kiri. Hanya saja, karena lebih landai dan panjang, trek memakan waktu 30-45 menit hingga mencapai puncak. Pemandangan di atas? 11-12 kok dengan Puncak 2. Jadi, readers tinggal pilih, mau yang memicu adrenalin, atau yang berlama-lama di jalan?

*

"Erliiiin!" suara Bang Larry memecah lamunanku yang asyik bersantai di pondok penginapan, berayun-ayun di atas hammock sambil mendengar merdunya deburan ombak. Waaah, akhirnya kawan-kawanku telah kembali dari petualangan Wayag. Mereka langsung memberondongku dengan pertanyaan dan cecar, Kok bisa-bisanya ketinggalan pesawat? Hahaha. Sudahlah, masa lalu biarlah masa lalu. Yang penting sekarang, aku sudah bergabung dengan 11 orang yang lain, siap menjalani sisa dua hari di Raja Ampat. Yihaaa!

***

Yuk kita saksikan video 1 menit hasil karya Bang Adi yang sungguh sangat membuatku cemburu pengen gabung tur Wayag hari ini. Cekidot!





NB: untuk memudahkan teman-teman memahami jalur perjalanan kami, berikut aku kasih Peta Wilayah Raja Ampat. Letak Pulau Mansuar (homestay kami) ada di atas Pulau Batanta, di Selat Dempir. Kebayang kan jauhnya ke Kepulauan Wayag (4 jam sekali jalan)? Belum lagi ke Pulau Misool, butuh waktu 20 jam! 

Peta Wayag

0 testimonial:

Post a Comment